Lompat ke konten

Ramai Dorongan Pembentukan Aturan Penggunaan Artificial Intelligence di UB, WR III: Masih Dipending

Ilustrasi: Puri

Malang, PERSPEKTIF– Pembentukan regulasi tentang penggunaan Artificial Intelligence (AI) sedang ramai diperbincangkan pada awal tahun ini di kalangan akademisi Indonesia. Minimnya respon dari Universitas Brawijaya (UB) terkait isu tersebut rupanya menimbulkan berbagai tanggapan dan pertanyaan civitas akademika. Mengawal isu ini, Tim Perspektif telah menghubungi pihak rektorat, namun jawaban pasti belum disampaikan. 

Menanggapi isu tersebut, Nino, dosen Program Studi (prodi) Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) menyatakan bahwa dirinya hanya mendengar sekilas perbincangan mengenai rencana pembentukan regulasi penggunaan AI di kalangan civitas akademik UB. Namun, untuk langkah konkretnya memang belum terlihat. Ketika ditanya kesiapan UB dalam menerapkan regulasi ini, ia justru menekankan peran UB sebagai kampus seharusnya memproduksi pengetahuan, bukan sekadar perluasan pasar saja.

“Saya tidak bisa mengatakan siap atau tidak, tinggal kita perlu kembali lagi pada tujuan sebuah universitas diselenggarakan. Kalau memang tujuannya adalah sebagai produsen pengetahuan, kita memproduksi pengetahuan yang bermanfaat buat masyarakat di sekitar kita, mungkin kita akan mencari pada etika penggunaan AI. Tapi ketika motifnya adalah untuk perluasan pasar, mencapai ranking-ranking, nanti dulu. Bisa jadi AI akan menjadi sebagai alat untuk (mencapai tujuan tersebut, red) karena motif awalnya sudah nggak etis,” ujarnya.

Menanggapi topik tersebut, RND, mahasiswa program studi Sosiologi menyebutkan bahwa dirinya belum pernah mendengar tentang regulasi yang jelas tentang penggunaan AI. Menurutnya, regulasi penggunaan AI lebih diperlukan untuk menekankan penggunaan AI itu sebagai alat bantu mencari referensi.

“Kalau menurut aku, sih, etika regulasinya lebih seimbangin aja sama kemampuan yang dimiliki mahasiswa. Soalnya juga dalam penggunaan AI, pun, nggak semua mahasiswa menyalahgunakan adanya AI, tapi juga ada yang menggunakan AI itu untuk tambah-tambah wawasan, segala macam. Tapi, ya memang regulasinya harus benar-benar tegas, sih,” ujarnya.

Selaras dengan RND, Theresia Kayla, mahasiswi Sastra Perancis,  ikut menekankan relevansi dari penerapan regulasi penggunaan AI ini. Ia berpendapat bahwa mahasiswa harus tetap menggunakan pemikirannya sendiri dalam mengembangkan ide-ide mereka. Ia juga menambahkan bahwa regulasi yang nantinya akan dibuat harapannya tidak membatasi penggunaan AI di lingkungan universitas secara utuh.

“Menurut aku perlu untuk pembatasan, ya, karena kalau misalnya dibiarkan terus-terusan apapun itu menggunakan AI jadinya kita nggak bisa berkembang. Jadi, memang harus ada pembatasan. Bukan yang nggak boleh dipakai ya, tapi sewajarnya saja jangan terlalu berlebihan,” tutupnya.

Menanggapi perihal isu di atas, Tim Perspektif sudah menghubungi Wakil Rektor I bidang akademik, Imam Setiawan. Namun, hingga berita ini ditulis, belum ada tanggapan pasti dari Imam terkait rencana pembentukan regulasi penggunaan AI di lingkup Universitas Brawijaya. Pihaknya menyampaikan bahwa isu ini masih ditunda dan perlu pembicaraan dengan pusat AI UB. (cvl/red/cns)

(Visited 54 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?