Lompat ke konten

Diskusi Mengenang Dua Tahun Tragedi Kanjuruhan: Jalan Panjang Mengurai Keadilan

Diskusi Umum "Tragedi Kanjuruhan: Belum Terurai Namun Dianggap Usai" di Gedung A FIB Universitas Brawijaya (30/09) (PERSPEKTIF/Haidar)

Malang, PERSPEKTIF – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB) bersama Aksi Kamisan Malang mengadakan acara nonton bersama dan diskusi umum bertajuk “Tragedi Kanjuruhan; Belum Terurai Namun Dianggap Usai” pada Senin (30/09). Acara tersebut dilaksanakan dalam rangka memperingati dua tahun Tragedi Kanjuruhan, juga sebagai upaya untuk menolak lupa dan menuntut keadilan bagi 135 korban jiwa dalam tragedi tersebut. 

Acara diawali dengan pemutaran film dokumenter yang menggambarkan kronologi Tragedi Kanjuruhan yang terjadi dua tahun lalu. Setelahnya, acara dilanjutkan dengan diskusi umum yang menghadirkan beberapa pemateri, seperti Arief Setiawan (dosen Hubungan Internasional UB), Rizal Pratama (perwakilan keluarga korban sekaligus anggota Yayasan Keadilan Tragedi Kanjuruhan (YKTK)) dan Bhayoganta Maulana Mahardika (antropolog yang berfokus pada studi olahraga). 

Pada sesi diskusi, para pemateri dari berbagai latar belakang turut memberikan berbagai pendapat terutama terkait ketidakpuasan penanganan Tragedi Kanjuruhan yang sudah berlangsung selama dua tahun ini. Arief Setiawan mengkritik negara karena dianggap lalai dan enggan mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan secara sungguh-sungguh. Menurutnya, kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dilegitimasi sedemikian rupa. Ia juga menuturkan akan pentingnya memorialisasi dan advokasi dalam tragedi ini. Kini, tugas paling utama yang dikemukakannya dalam pengusutan Tragedi Kanjuruhan adalah dengan merawat ingatan. 

“Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa,” ucap Arief mengutip Milan Kundera 

Pendapat lain juga dituturkan oleh Rizal Pratama, selaku penyintas, keluarga korban, sekaligus anggota YKTK. Dirinya membagikan kisahnya selama dua tahun berjuang mencari keadilan. Rizal menceritakan bagaimana pihak kepolisian dan aparatur negara yang tidak mau mengakui kesalahan, serta prosedur hukum yang tidak transparan. Selain itu, Rizal juga mengaku mendapatkan berbagai upaya penggembosan dari pihak Kepolisian, salah satunya adalah tawaran untuk menjadi polisi ketika dirinya sedang berupaya memperjuangkan keadilan bagi keluarganya. Menanggapi tawaran tersebut, Rizal pun menolak. 

Sepurane, Pak. aku moh dadi polisi. Wong aku wes kelangan ayah ambek kedua adikku. Yo aku berharap keadilan bisa ditegakkan seadil-adilnya,” ujarnya pada pihak Kepolisian saat itu. 

Tak hanya keadilan yang dicari, Rizal juga berharap agar tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Duka Sepak Bola Nasional untuk menghormati para korban yang telah kehilangan nyawanya dalam Tragedi Kanjuruhan. 

Sementara itu, Bhayoganta Maulana Mahardika selaku pemateri yang fokus pada isu sepak bola juga tak luput memberikan pendapatnya. Ia menyoroti berbagai isu di dunia sepak bola yang mengarah pada tragedi seperti di Kanjuruhan. Ia mengkritik upaya komersialisasi berlebih yang dilakukan oleh liga dan berimbas pada kapasitas stadion dan pengelolaan penonton yang tidak memadai. Kritik terhadap aparat juga dikemukakan terkait kekerasan yang sering kali terjadi secara berulang tanpa ada evaluasi yang berarti. Baginya, peran masyarakat sipil sangat penting dalam menjaga isu ini tetap hidup, dengan menunjukkan kepedulian dan merawat ingatan.

“Jadi hal-hal seperti itu (merawat ingat, red) harus terus dilakukan, tidak harus menunggu satu tahun,” tungkasnya. 

Ia juga menutup pernyataannya dengan berpesan kepada audiens untuk terus menjaga sense of memory terkait Tragedi Kanjuruhan. (ran/hr/ahi)

(Visited 21 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?