Malang, PERSPEKTIF– 59 tahun yang lalu pada 1965, generasi intelektual yang memiliki progresivitas tinggi melalui organisasi-organisasi berbasis gerakan untuk berdikari dimusnahkan dan banyak anggota dari gerakan tersebut menjadi tahanan politik. Tahanan politik 65’ (peristiwa pembantaian simpatisan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965) yang ditangkap dan dimasukkan dalam kamp-kamp konsentrasi mengalami kekerasan, penyiksaan hingga pelecehan seksual. Hal ini seperti yang ditampilkan dalam film Api Kartini, yang menggambarkan pengalaman wanita-wanita mantan tahanan politik 65’ di Kamp Plantungan di Sukorejo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.
Membahas sejarah mengenai generasi intelektual yang menjadi tahanan politik ini, pada Sabtu (14/09), Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Siar Universitas Negeri Malang (UM) bersama dengan beberapa komunitas lainnya mengadakan nonton bareng film dokumenter “Api Kartini” dan diskusi terkait hilangnya satu generasi intelektual di Indonesia yang diselenggarakan di Kedai Rupa Duta. Dalam diskusi ini, Arif Subekti, Sejarawan UM dan Dhia Al Uyun, Akademisi Hukum Universitas Brawijaya (UB) hadir menjadi pembicara. Diskusi yang diselenggarakan ini menjadi media untuk mengingat tragedi pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu.
Selaras dengan apa yang ditampilkan di film “Api Kartini” tentang peristiwa yang terjadi di Kamp Plantungan pasca 65’, Arif Subekti menyatakan bahwa tragedi tersebut harus tetap diingat dan penting untuk dikaji secara intelektual. Hal ini disampaikan selaras dengan pernyataan sosiolog, Ariel Heryanto, bahwa nasionalisme Indonesia mulai mengalami penyempitan sejak 65’.
“Dulu, jika ada masalah di negara kita punya pilihan paradigma. Setelah 65’ ideologi yang jadi pilihan untuk cari solusi cuman dua, Islam dan Nasionalisme. Entah ini by design, entah ini menemukan momentumnya,” sebut Arif.
Menyinggung dari sisi gender, Dhia Al Uyun menceritakan pengalamannya bertemu salah satu wanita tahanan politik yang menjadi salah satu tokoh di film tersebut. Dhia menceritakan bahwa salah satu wanita yang menjadi tahanan politik di Plantungan menikah dengan salah satu penjaga Kamp Plantungan untuk menjadi jalan keluar dari penyiksaan dan kekerasan dalam Kamp. Walaupun begitu, menurut penuturan Dhia wanita tahanan politik tersebut kerap mendapatkan Marital Rape atau pemerkosaan yang terjadi dalam hubungan pernikahan.
“Bahkan, beliau (wanita tahanan politik yang ditemui, red) beberapa kali terkena Marital Rape dengan komandannya. Jadi dia menikah dengan penjaga yang ada di Plantungan itu, karena dengan begitu dia akan selamat keluar. Jadi satu sisi itu strategi perempuan untuk melakukan pergerakan dan satu sisi dia mendapatkan KDRT dan Marital Rape,” ujar Dhia.
Lebih lanjut, Dhia yang juga merupakan dosen di Fakultas Hukum UB menjelaskan setelah 65’ dan memasuki orde baru terjadi domestifikasi peran perempuan. Hal ini kontras berubah mengingat pada orde sebelumnya gerakan perempuan lebih progresif dengan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan Persatuan Wanita Indonesia (Perwani).
“Paling santer domestifikasi peran perempuan. Akhirnya Dharma Wanita muncul, Persit (Persatuan Istri Tentara, red) muncul, yang awalnya vokal independensi perempuan tapi sekarang semua menyangkut peran laki-laki,” tambah Dhia
Hal ini dapat dilihat pada saat ini dimana perempuan di Persit dan Dharma Wanita memiliki posisi bergantung pada posisi suaminya. Menurutnya, peran-peran perempuan yang seharusnya menjadi tiang negara, justru tidak berjalan dan berakhir eksis untuk diatur laki-laki. (ran/hr/rnz)