Lompat ke konten

Yabe Lale, Lagu yang menjadi Lambang Tidurnya Perjuangan Kebebasan

Ilustrasi: Nazwa
Oleh: Muhammad Lutfi*

Yabe Lale, sebuah lagu pengantar tidur anak asal Bugis ini seakan membawa kita bernostalgia kepada sosok pahlawan pembebas suku Bugis, Arung Palakka. Palakka lahir sebagai seorang kaum ningrat suku Bugis yang harus merasakan penjajahan imperialisme kaum Makassar. Dengan rantai emas yang melingkar di tubuhnya layaknya selendang, ditambah dengan tombak emasnya yang garang itu, Palakka akhirnya menjadi ikon kebanggaan bagi kaum Bugis.

Jika kita telisik lebih dalam, Yabe Lale seakan-akan menyuruh anak kecil, “Tidurlah, jangan mimpi buruk!” Cukup sekali saja mimpi buruk, jangan mau selamanya mimpi buruk menghantui hidup. Mimpi buruk adalah keburukan yang menghitami bayang-bayang kenikmatan tidur. Yabe Lale juga menyuruh Arung Palakka untuk berhenti berjuang, “Berhenti, tidurlah, kamu sudah lelah!” Setelah peperangan panjang untuk membebaskan bangsanya dari belenggu penjajahan kaum Makassar, Palakka berhasil menjadi raja pembebas kaum lemah. 

Namun, sejauh manakah pembebasan itu? Sejauh dia menghendaki kemenangan atas musuh, sejauh melepas rantai belenggu perbudakan, atau sejauh berjalan bebas mencari teritorial yang bebas pajak. Masih terlalu dini bagi kita untuk merasakan hidup tentram karena di luar sana masih banyak anak kecil yang menjadi budak preman untuk dijadikan sebagai pengemis dan pengamen jalanan. Banyak janda jadi pelacur di rumah bordil, banyak pula suami kehilangan istri karena kabur bersama lelaki idaman lain, atau bapak yang lari meninggalkan keluarganya.

Ernest Ernent pernah berkata, “Bangsa adalah dia yang menghendaki bersatu, bukan dia yang menghendaki dirinya sendiri.” Ucapan Ernent menegaskan pada kita semua bahwa bangsa adalah gabungan dari berbagai masyarakat plural yang bersatu karena nasionalisme mereka pada suatu negara. Seperti Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku yang akhirnya bersatu membentuk sebuah bangsa, bangsa Indonesia.

Pluralisme yang membentuk kita menjadi sebuah bangsa tentunya disebabkan oleh adanya persamaan nasib. Nasib bahwa kita rakyat yang miskin dan tertindas, lemah dan terpuruk, serta belum mapan sejak era feodalisme hingga era neoliberalisme. Terlalu banyak anak manusia yang harus ditanggung di Indonesia. Anak-anak berkeliaran di desa-desa, sampah berserakan di mana-mana, padat penduduk, dan sulit dikontrol. Itulah potret kita, rakyat miskin Indonesia.

Bung Karno mengatakan bahwa kemiskinan bangsa Indonesia diakibatkan oleh kebodohan dan kepincangan mayoritas rakyat kita sendiri terhadap adanya pergeseran kekuasaan. Dari feodalisme, neokapitalisme, hingga neoimperialisme. Tidak ada manusia yang suka hidup dalam kondisi terjajah dan tenggelam dalam kemiskinan, tetapi toh mayoritas rakyat kita hanya bisa legowo (ikhlas, red) dan nrimo (menerima, red) dengan kondisinya sekarang.

Semenjak Bung Karno mengeluarkan manifesto marhaenisme, ajaran dari NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, red) itu sudah diterima sebagai pintu masuk pembebasan yang berujung pada revolusi represif dan ideologi politik praksis. Marxisme adalah gerbang masuk marhaenisme dan komunisme ke Indonesia. Paham tersebut mendapat dukungan dari kaum buruh, petani miskin, dan kaum miskin kota. Hal ini menyiratkan bahwa ternyata banyak kaum buruh dan rakyat miskin yang ingin melakukan revolusi di Indonesia.

Tetapi paham marhaenisme nyatanya gagal dilanjutkan karena upaya untuk melakukan revolusi, mandek pasca kekalahan PKI (Partai Komunis Indonesia, red). Wacana pembebasan akhirnya hanya jadi omong kosong. Ratu adil hanya menjadi mitos dongeng anak sebelum tidur. Banyak anak-anak miskin kota yang dimobilisasi preman untuk jadi anarkis dan liberal. Menjadi manusia eksistensialis yang melakukan kerusuhan dan konfrontasi sosial. Ada juga kaum marjinal yang berani menantang dan mbalelo (membangkang, red).

Yabe Lale sendiri dinilai meredam kembalinya wacana pembebasan. Setelah menidurkan Arung Palakka, Yabe Lale kini menidurkan Marhaen dan komunisme ke dalam jantung bumi pertiwi. Arung Palakka memang pemberontak bagi pemerintah, tetapi ia merupakan pahlawan bagi kaum Bugis-Bone. Pemersatu Sulawesi yang gagah dan diingat keberaniannya dalam memimpin revolusi pembebasan manusia dari perbudakan feodalisme. 

Kisah Arung Palakka sama harunya dengan kisah Untung Suropati. Seorang pembebas rakyat miskin dari belenggu imperialisme kolonial agar dapat menjadi orang Jawa yang merdeka. Entah di mana ia kini, yang jelas kepada bumi pertiwi mereka kembali. Mandat melawan kolonialisme dan neokapitalisme memang sungguh berat. Sulit membedakan perjuangan bangsa dan perjuangan rakyat. Kadang yang berjuang tentang kebangsaan, lupa akan perjuangan kerakyatan.

Rakyat masih miskin, harga sembako kian naik. Kalau kita hidup di Eropa, harga sembako mahal itu hal wajar. Tapi rakyat miskin kita belum siap, kalau harga sembako naik langsung muncul demonstrasi. Rakyat banyak yang plonga-plongo dan belum paham keganasan wajah industrialisasi yang sudah menguasai sektor ekonomi secara keseluruhan. Adanya pembebasan oleh Palakka dan Suropati, oleh Bung Karno, oleh Marx dan Engels, tentu bertujuan untuk mencapai kemakmuran ekonomi rakyat. Supaya rakyat jadi orang yang berhasil mengatur ekonominya sendiri. Mengalahkan imperialisme orang-orang Eropa supaya tidak mengeruk habis sumber daya alam dan tenaga kerja di sini.

Bung Karno mengatakan, “Kita memang demokrasi, tapi demokrasi kita bukan demokrasi barat. Demokrasi kita adalah demokrasi ekonomi politik.” Arung Palakka telah lelah, berjuang untuk mencapai keadilan sosial. Suropati telah mati, terkubur, berjuang untuk kemakmuran sosial bagi rakyat miskin desa dan rakyat miskin kota.

Yabe Lale menidurkan mereka yang memimpin kebebasan agar berhenti berjuang. Mereka telah lelah, tulisan hanya jadi iklan. Rokok hanya jadi model hidup, bukan pemantik pikiran. Kaum penerusnya berabad-abad hanya jadi kaum globalisasi. Sehingga ekonomi, politik, dan budaya kita kalah total. Kita hanya bisa meniru apa yang industrialisasi imperialisme sudah ciptakan. Tidur saja setelah lelah bekerja, semoga mimpi buruk tidak menghantuimu.

(Visited 139 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan penulis buku: LORONG, ELEGI, ASUH, SENJA, PELAUT, BERLAYAR. Bergiat di GMDI dan Rumput Sastra.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?