Lompat ke konten

Bukber Itu Ajang Silaturahmi, Bukan Pamer Lanyard dan Kesuksesan

Ilustrasi: Fizza Aqilla
Oleh: Nabila Muthiarahma*

Bulan Ramadhan baru saja berlalu, meninggalkan kisah-kisah yang penuh warna dan beragam pengalaman. Setiap tahun, bulan Ramadhan selalu memberikan momen yang berkesan, salah satunya adalah acara buka bersama (Bukber). Bukber tak hanya sekadar ritual makan bersama, tetapi juga merupakan ajang untuk mempererat hubungan antar sesama, serta reuni bagi teman-teman yang jarang bertemu karena kesibukan sehari-hari.

Namun yang menjadi ironi, dalam suasana kebersamaan tersebut, bukber seringkali disalahgunakan sebagai ajang pamer oleh sebagian orang, terutama mereka yang telah mencapai kesuksesan dalam karirnya. Di era media sosial yang segalanya dipamerkan, bukber menjadi momen untuk menunjukkan kekayaan atau kesuksesan, memicu rasa iri di antara sesama.

Sebuah momen bukber yang beredar menunjukkan orang-orang sedang pamer kekayaan, mulai dari ponsel yang digunakan hingga kendaraan yang dibawa. “Segera tayang episode pamer pencapaian, pamer gaji, pamer iPhone, pamer outfit berkedok bukber,” tulis salah satu akun X, dikutip dari Viva, Kamis (4/4).

Tak hanya pamer-pamer yang disebutkan barusan, muncul juga kontroversi terkait penggunaan lanyard selama bukber. Lanyard, yang seharusnya hanya menjadi alat pengenal fungsional untuk membawa kartu identitas, berubah fungsi menjadi simbol status sosial bagi sebagian orang. Perbedaan pandangan mengenai lanyard ini dapat mengganggu hubungan sosial dan menciptakan perseteruan, meskipun seharusnya bulan Ramadhan menjadi waktu untuk berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan.

Namun demikian, ketika kita menghadapi situasi semacam ini, penting untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang yang ada. Penggunaan lanyard sebagai identifikasi dalam konteks pekerjaan atau berbagi cerita tentang pencapaian pribadi seharusnya bukan menjadi pemicu ketegangan, asalkan kita mampu menempatkan mereka dalam konteks yang sesuai. Misalnya, penggunaan lanyard untuk mengidentifikasi jabatan atau keanggotaan dalam suatu organisasi dapat memberikan pemahaman lebih lanjut tentang latar belakang seseorang, juga bertukar cerita tentang pencapaian pribadi yang bisa menjadi momen inspiratif bagi yang lain. Namun, hal terpenting di pembahasan ini adalah menjaga agar tidak ada niat untuk memamerkan diri atau merendahkan orang lain dalam prosesnya. Lebih dari itu, mencari pemahaman dan menghargai perbedaan pandangan merupakan kunci utama untuk menjaga suasana harmonis dalam bukber.

Sebagai individu, penting bagi kita untuk memahami esensi dari bukber sebagai momen yang lebih dalam daripada sekadar pertemuan santai. Bukber seharusnya menjadi waktu refleksi dan silaturahmi, yakni momen kita merenungkan pencapaian dan keberkahan yang telah diberikan, serta memperkuat ikatan batin dengan sesama. Saat kita berbagi makanan dan cerita di meja bukber, tidak etis menjadikan momen ini sebagai kesempatan untuk mempertontonkan diri atau mencitrakan status sosial. Di sisi lain, seharusnya momen berbagi meja ini diniatkan sebagai momentum untuk saling menghargai dan merayakan persahabatan serta solidaritas. Kehadiran lanyard atau pembicaraan tentang prestasi pribadi mungkin saja muncul dalam obrolan, tetapi yang terpenting adalah niat kita yang tulus untuk memperdalam ikatan sosial dan spiritual dalam suasana yang penuh kebersamaan.

Dilansir Alinea.id (4/4) psikolog sekaligus Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani Sani Budiantini Hermawan menegaskan bahwa kegiatan bukber seringkali terdistorsi menjadi ajang pamer di media sosial. Meskipun awalnya bertujuan untuk mempererat hubungan sosial, acara tersebut tak jarang diarahkan menjadi ajang pamer harta, hidangan mewah, atau pakaian mahal. Sani menekankan bahwa perilaku semacam ini sebenarnya mencerminkan motif masing-masing individu, yang seringkali terpengaruh oleh dorongan untuk menunjukkan keberhasilan dan status sosial. Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai insan mulia untuk merenungkan kembali motivasi dan tujuan kita dalam setiap interaksi sosial, termasuk saat menghadiri bukber. Dengan memfokuskan perhatian pada nilai-nilai kebersamaan, rasa syukur, dan kedekatan batin dengan sesama, kita dapat membuat bukber menjadi momen yang lebih berarti dan bermakna bagi diri sendiri serta orang lain.

(Visited 110 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswa Psikologi 2023 FISIP Universitas Brawijaya dan staff magang Divisi Markom LPM Perspektif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?