Lompat ke konten

Sastra Komoditas

Oleh: Romi Arifin*

Sastra yang sudah secara definisi merupakan sebuah medium pengungkapan rasa manusia atau mungkin manifestasi kondisi kehidupan masyarakat, menjadi sebuah alternatif manusia di era modern untuk melepaskan dan menyampaikan perasaan melalui sebuah kata-kata atau Bahasa. Terkhusus masyarakat generasi muda yang lebih ekspresif, tidaklah sulit menemukan karya-karya sastra saat ini dengan adanya internet dan media sosial karya sastra menjadi semakin masif baik dalam hal meningkatnya minat kepenulisan, keterbacaan, dan penyebaran. Oleh karena itu, pada saat ini sedang marak yang dinamakan sastra cyber. Sastra cyber berawal dari konsep sastra digital, yang didalamnya mencakup segala bentuk kesastraan yang diciptakan dan difasilitasi media komputer dan dapat diakses secara daring (Sulaiman 2020). 

Karya-karya sastra yang saat ini menjadi semakin dihargai dan memiliki banyak peminat menimbulkan sebuah dilema baru dari para pegiat sastra, pegiat seni dan para pembaca itu sendiri. Dilema ini terkait nasib sastra saat ini dan kedepannya. Apakah sastra harus tetap idealis atau menjadi sastra yang mengikuti perkembangan zaman dan pasar. 

Mengutip tulisan Sapardi dari artikel yang diterbitkan m.adicita.com. Sapardi menulis bahwa Sastra dalam zaman kita ini telah menjadi barang dagangan. Penerbit adalah perusahaan yang dalam kegiatannya harus selalu memperhitungkan untung-rugi. Tampaknya, dalam perhitungan itu, menerbitkan karya terjemahan lebih menguntungkan daripada menerbitkan karya asli. Sapardi dalam artikel ini cukup mengeluhkan mengenai kondisi sastra saat ini yang meniru dan mengulang, sehingga dalam tulisan di akhir artikel ini Sapardi menulis, “Jika sastra hanya meniru dan mengulang apa yang sudah ada dalam kehidupan kita, menghadirkan yang sudah hadir, keabsahannya sebagai cara untuk mencerminkan apa yang tidak tampak tentu saja menjadi luntur. Untuk apa pula membaca sastra jika disuguhkannya sama saja dengan yang kita kenal sehari-hari” (Anon n.d.). Sastra yang jika dilihat dari perjalanan sejarahnya, merupakan awalnya adalah sebuah manifestasi kritis kehidupan nyata manusia. Sebut saja buku sastra layaknya Multatuli yang menulis buku berjudul Max Havelaar, yang merupakan karya fiksi kritis penjajahan bangsa Belanda di Nusantara atau mungkin Pramoedya Ananta Toer yang menulis empat buku series atau biasa dikenal tetralogi pulau buru. 

Sastra yang saat ini dinilai sudah banyak kehilangan jati dirinya menjadi sebuah fenomena yang dapat menjadi bahan diskusi kritis. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa dengan kondisi modern yang tidak menentu dan komodifikasi dan kapitalisasi yang terus berjalan di dunia, menuntut banyak sastrawan harus adapatif dan menjadi masyarakat resiko yang tanpa kepastian dan selalu berusaha mencari kepastian dalam profesi sastrawan. 

Sastra yang saat ini menjadi sebuah barang komoditas seperti yang dituliskan oleh Sapardi Djoko Darmono dan Sastrawan pada zaman modern ini ditekan untuk mengikuti kemauan pasar. Sastrawan yang pada zaman modern ini semakin menghadapi ketidakpastian, terutama ketidakpastian dalam hal pendapatan dari karya-karyanya, ditambah dengan munculnya sastra cyber yang melalu media sosial dan internet berakibat pada banyak sastrawan-sastrawan lahir. Hal ini membuat ketidakpastian sastrawan-sastrawan muda pada saat ini, yang membuat banyak sastrawan mencoba mencari kepastian dalam hal pendapatan dari karya-karya sastranya. Salah satu dari jalan atau usahanya adalah memproduksi karya-karya sastra yang sesuai dengan kemauan pasar, yang dengan begitu sedikit menjawab permasalahan risiko sosial para sastrawan. Oleh karena itu, sastrawan muda pada khususnya menghadapi suatu tantangan besar mengenai dilemma ini. Dalam konteks Indonesia, ancaman terbesar adalah hegemoni rezim neoliberal dimana pemuda harus menghadapi hambatan struktural yang semakin besar dan berlapis dalam transisi dari dunia pendidikan ke dunia kerja (Sutopo and Meiji 2014).

Daftar Pustaka

Anon. n.d. “- Adicita.” Retrieved June 8, 2023 (https://m.adicita.com/artikel/578-Ke-Mana-Perkembangan-Sastra-Kita).

Sulaiman, Zoni. 2020. “Peluang, Tantangan Dan Ancaman Sastra Cyber Di Era Masyarakat Modern.” Caraka: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Serta Bahasa Daerah 9(3):164–69.

Sutopo, Oki Rahadianto, and Nanda Harda Pratama Meiji. 2014. “TRANSISI PEMUDA DALAM MASYARAKAT RISIKO: ANTARA ASPIRASI, HAMBATAN DAN KETIDAKPASTIAN Oki Rahadianto Sutopo Nanda Harda Pratama Meiji.” Jurnal Universitas Paramadina Vol. 11:1–23.

(Visited 153 times, 4 visits today)
*) Penulis adalah mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Brawijaya angkatan 2021, pimpinan divisi Litbang LPM Perspektif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?