Lompat ke konten

Aksi Hari Buruh 2023 Tolak Upaya Pemiskinan Pekerja Perempuan

Massa Aksi Menyuarakan Orasinya (PERSPEKTIF/Agmelia)

Jakarta, PERSPEKTIF – Memperingati Hari Buruh Internasional 2023, pekerja rumah tangga dan buruh perempuan melakukan aksi bertajuk “Tolak No Work No Pay, Bersatu Sahkan RUU PPRT” pada Senin (1/5). Unjuk rasa ini diawali dengan long march dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) menuju Istora Senayan. Peringatan Hari Buruh Internasional tahun ini dilakukan sebagai bentuk perjuangan melawan kapitalisme yang merupakan bentuk konkret dari upaya pemiskinan perempuan. 

Emelia Yanti Siahaan, Sekretaris Jenderal Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) mengatakan, pemerintah Indonesia saat ini tidak melayani dan menampung aspirasi rakyat, tetapi melayani kepentingan korporat dan kepentingan asing.

“Ketika negara dalam keadaan kritis, ketika industri terguncang, buruh yang akan selalu jadi korban. Mereka (pemerintah, red) tidak berani mengambil keputusan memotong gaji mereka. Pernah dalam sejarah Indonesia pemerintah mengeluarkan peraturan yang memotong gaji pejabatnya? Pernah tidak? Mengapa harus upah buruh yang selalu dipotong dan itu yang terjadi?,” ucapnya.

Emelia juga menyinggung mengenai Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker). Ia menyatakan kebijakan ini akan melahirkan aturan-aturan turunan yang tidak berpihak kepada buruh. UU Ciptaker, kata Emelia, digunakan pemerintah dan korporasi untuk melegitimasi segala upaya untuk merampas hak buruh. 

Salah seorang anggota GSBI, Mulyadi menuturkan instrumen hukum yang merugikan kelangsungan hidup buruh sudah banyak terjadi di daerah-daerah Indonesia. Ia juga menyampaikan keresahannya terkait hak pekerja perempuan.

“Hak kami bukannya belum terpenuhi, tetapi dirampas. Omnibus Law melegalkan kontrak tersebut dan melarang wanita untuk hamil. Apabila pekerja perempuan terikat oleh kontrak kerja semasa kehamilan, maka kontraknya tidak akan diperpanjang,” jelasnya.

Mulyadi mengungkapkan, upah yang diterima oleh dirinya dan teman-teman buruh sendiri belum layak. Upah mereka masih harus dipotong oleh tagihan asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan berbagai hal lainnya. 

“Sekarang, di Karawang, saya kesulitan untuk menabung dengan upah lima juta. Terlebih lagi dengan dua anak. Apalagi dengan keinginan untuk membeli rumah, tidak bisa,” tambahnya.

Untuk langkah kedepan, Mulyadi menyampaikan bahwa GSBI akan melakukan konsolidasi terkait UU Ciptaker dengan buruh dan Serikat Pekerja (SP) lainnya karena dirasa kebijakan tersebut merupakan hasil ciptaan kapitalis. 

“Harapan kami untuk pemerintah adalah mengeluarkan peraturan dan undang-undang berdasarkan kebutuhan rakyat, bukan berpihak kepada kaum elitis dan pengusaha,” ungkapnya. 

Aksi ini juga mengutarakan lima tuntutan lain yakni mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), memberhentikan sistem no work no pay (buruh dibayar hanya berdasarkan jam kerja yang mereka miliki, red), mencabut UU Cipta Kerja, membayar upah buruh dengan layak, dan memberhentikan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. (anp/mag/uaep/gra)

(Visited 168 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?