Lompat ke konten

Benang Merah Konstruksi Gender, Ketidaksetaraan, dan Kekerasan Seksual

Ilustrator: Safira El
Oleh: Darul Adinawa*

Ada apa dengan gender dan kenapa harus ditulis di lingkup akademik kampus? Apakah relevan dengan keadaan yang saat ini kita alami? Alih-alih berbicara tentang gender, tugas kuliah dan organisasi saja sudah cukup melelahkan, begitulah kira kira asumsi saya. Sebagai seorang dalam ranah akademik, bukankah seharusnya kita terbuka atas keadaan dan pengetahuan dalam hal apapun.inimal kita tahu hal yang mendasari sehingga tidak menyimpulkan dengan sentimen atau argumen tak berdasar. Kita punya preferensi masing-masing, oleh karena itu, saya menulis hal ini sebagai pemantik saja agar lebih terbuka dan menggeser paradigma kita dalam beberapa hal. Tentu tulisan ini tidak bisa dijadikan sebuah acuan karena ini adalah opini sekaligus pengantar semata untuk kita berdiskusi.

Sebenarnya, fungsi dari sebuah tulisan hanyalah sebagai referensi –angin segar untuk stagnasi dalam kehidupan sehari hari. Kalau saya memaknainya seperti ini, kalian punya hal masing-masing dalam menafsirkanya. Selain itu, fungsi media yakni penyampaian informasi atau penyadaran belaka. Tetap saja pada akhirnya perihal apa yang akan dituliskan nanti,  akan kembali pada kalian masing masing. Peran saya di sini sebagai personal yang menulis pada media. Mungkin,e pengantarnya memang tidak formal seperti pada buku dan jurnal-jurnal yang kalian baca, saya berasumsi bahwa kalian akan membaca pembukaan secara ringan saja lalu pelan-pelan kita menuju pada inti pembahasan. 

Apa Itu Gender

Awalnya saya mengira bahwa gender adalah bagian dari kodrat dan jenis kelamin namun memakai bahasa yang keren dari bahasa inggris atau bahasa asing sebagai “gender”.  Tapi nyatanya tidak begitu adanya. Sebagai awalan, kita buka dengan menelaah definisi daripada gender itu sendiri.  Mungkin saya ataupun kalian yang kaum laki-laki, cukup enggan dengan hal ini karena ada hal lain yang bisa didiskusikan, identik dengan wanita dan dirasa kurang begitu penting. Perbedaan mendasar biologis mungkin secara tidak langsung memberikan kesulitan tersendiri untuk melihat secara utuh bagaimana keadaan gender saat ini. Ada penggalan menarik tentang manusia dan gender dari The Quarterly Journal of Social Affairs, “Saya tidak mengenal manusia, yang saya kenal hanya laki-laki dan perempuan.” 

Hal tersebut menggambarkan secara tepat bagaimana kategori laki-laki dan perempuan — identitas manusia yang paling fundamental. Dalam feminisme, Gender adalah bentukan sosial, sehingga dapat beragam dan berubah. Sedangkan jenis kelamin (seks), sifatnya biologis, alami, dan tidak berubah. Gender adalah “kerangka inteligibilitas” kehidupan sosial. Ketika jenis kelamin tertentu harus berperan sesuai gender dan seksualitas tertentu sehingga yang di luar hal tersebut diasumsikan sebagai sebuah ketidaknormalan. Kelekatan pengertian gender dan seks menciptakan sekat  bagi kemanusiaan. Menurut Judith Butler, gender bukan melekat pada eksistensi seseorang, melainkan sesuatu yang dilakukan orang tersebut. Gender lebih berarti doing daripada being. Gender adalah imitasi, tidak ada yang asli. Imitasi itulah yang telah menghasilkan apa yang dianggap asli. Sederhananya, gender merupakan atribut semata. Misal, perempuan secara kultural dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sedangkan laki-laki dikenal kuat, rasional jantan dan perkasa. Hal tersebut merupakan konstruksi sosial semata dan tidak menggambarkan secara menyeluruh realitas yang ada. 

Jika gender dan seksualitas itu dibedakan secara radikal, maka pemaknaan akan gender tidak perlu mengikuti konsep seks. Dengan kata lain, perempuan tidak harus dikonstruksi kultural atas tubuh perempuan, dan laki-laki tak perlu ditafsirkan menurut tubuh laki-laki. Formulasi radikal perbedaan seks dan gender ini mengisyaratkan sexed bodies memiliki kesempatan menjadi bermacam-macam gender, dan lebih jauh, gender itu sendiri tidak perlu dibatasi hanya dua. Jika seks tidak membatasi gender, tentu ada banyak gender, yaitu cara menafsirkan  sexed body, yang tidak dibatasi dualitas jenis kelamin. Maka gender itu sendiri adalah sebuah proses menjadi atau aktivitas, tidak sepatutnya diperlakukan sebagai kata benda atau sesuatu yang substansial sebagai penanda budaya yang statis, tetapi sebagai tindakan yang terus-menerus dan tidak pernah berhenti (Gender Trouble:142-143).

Gender dan seks bukanlah suatu “metafisika substantif,” melainkan atribut, yang terbentuk melalui performativitas. Pemapanan makna gender dan seks itu tujuannya adalah untuk meng-alamikan heteroseksualitas, dan seksualitas untuk reproduksi. Koherensi tersebut menyembunyikan multiplisitas gender dan diskontinuitas antara gender seksualitas. Tindakan dan gestur, hasrat yang dinyatakan menciptakan ilusi tentang interior dan mengatur inti gender. Sebuah ilusi yang secara diskursif dipelihara untuk tujuan seksualitas dalam kerangka wajib heteroseksualitas reproduktif.  

Ketidakadilan Gender 

Budaya patriarki memulai riwayat penindasannya terhadap perempuan dengan stigmatisasi negatif kepada kebertubuhan perempuan. Unsur-unsur biologis pada tubuh perempuan dilekati dengan atribut-atribut patriarkat melalui cara menegaskan bahwa tubuh perempuan itu adalah hambatan untuk melakukan aktualisasi diri.

Stigmasi adalah “tidak begitu namun dicitrakan begitu.” Dalam hal ini citra atau label yang diberikan pada perempuan dan hal tersebut cukup menyulitkan. Jika melihat kebiasaan sehari-hari, perempuan seringkali dipandang sebatas aspek biologisnya. Kasarnya, pandangan kita tak jauh-jauh dari lekuk tubuh dan wajah. Selalu saja hanya citra dan bentuk luarnya. Perempuan, karena konstruksi sosialnya yang dipamerkan juga seperti itu, maka tak heran jika laki-laki memandangnya hanya dari segi tersebut. Di situ sebenarnya akar masalahnya, ada stereotype bahwa perempuan mengemban fungsi reproduksi. Padahal tidak sependek itu, hanya saja dicitrakan seperti itu. Karena posisi wanita bukan subjek melainkan objek, subjek-nya siapa? Tentunya laki-laki karena berlandaskan pada budaya patriarki. Harusnya tidak seperti itu, ada yang salah dari budaya kita. Seperti kutipan kata dari  Simone de Beauvoir,“One is not born, but rather becomes, A woman (perempuan itu tidak dilahirkan, melainkan dibentuk).” Jadi laki-laki dan perempuan itu bentukan, bukan kodrat, bukan takdir.

Kondisi sosial menanamkan nilai-nilai hingga membentuk sikap laki-laki yang berkuasa, bertanggung jawab, pengambil inisiatif dan pengambil keputusan. Sementara itu perempuan yang lemah lembut, jinak, malu-malu, pasrah, dan pasif. Inferioritas perempuan yang terbentuk melalui struktur sosial dan berakibat pada kognitifnya. Perempuan lemah itu bukan takdir, perempuan malu-malu itu bukan takdir, itu semua dibentuk oleh budaya dan masyarakatnya sendiri. Maka, ada perbedaan makna antara femininity, feminine reality dan womanhood.   

Femininity ialah keperempuanan. Contoh: “Ini cirinya perempuan, ia harus lemah lembut, malu-malu, suka menundukan kepala, dia harus dan harus yang lain-lain,” itulah femininity. Konsep umum dari ciri-ciri perempuan.

Feminine reality itu adalah praktek dari femininity tadi. Contoh:  Jika seorang perempuan duduk menyilangkan kaki, dibilang seperti laki-laki. Apa salahnya perempuan duduk seperti itu? Pantas atau tidak pantas itu ditentukan oleh konstruksi masyarakat.

Womanhood itu kewanitaan. Hubungannya dengan menstruasi, hamil, dan menyusui. Ihwal ini sifatnya biologis. Kewanitaan harusnya menjadi pembeda antara laki-laki dan perempuan. Di luar ini sebenarnya tidak ada laki-laki dan tidak ada perempuan, semuanya sama saja. Pendidikan itu tidak ada hubungannya antara laki-laki dan perempuan, sama saja. Urusan politik tidak ada laki-laki, tidak ada perempuan. Semuanya sama, kesempatan sama, peluang yang sama. 

Jika ada suatu kasus seperti, “Tidak usah sekolah, mengurus anak saja di rumah, nyapu, masak, nyuci,” itu berarti adalah tindakan diskriminasi. Keadilan gender merupakan suatu proses untuk menjadi fair baik pada perempuan maupun laki-laki. Untuk memastikan adanya fair, harus tersedia suatu ukuran untuk mengkompensasi kerugian secara historis maupun sosial yang mencegah perempuan dan laki-laki dari berlakunya suatu tahapan permainan. Strategi keadilan gender pada akhirnya digunakan untuk meningkatkan kesetaraan gender. Keadilan merupakan cara, kesetaraan adalah hasilnya.

Konsep perbedaan jenis kelamin(Sex) Kodrat dan Gender

Jenis Kelamin (Kodrat)Gender (Non-kodrat)
Organ biologis dan alat reproduksi Peran, fungsi dan tanggung jawab bentukan masyarakat seperti laki laki bekerja di sektor publik dan perempuan pada sektor domestik dan rumahtangga
Melahirkan Peran sosial bisa berubah, istri bisa sebagai pencari nafkah di samping menjadi istri
MenyusuiBisa saja seperti membetulkan perabotan dapur , bersih bersih rumah dan semacamnya 
Menstruasi HamilMenempuh pendidikan tinggi, menjadi pejabat, dokter, militer, teknik industri dan lainya 

Kekerasan Seksual 

Kekerasan seksual merupakan setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas. Baru-baru ini ada beberapa kejadian tindak pelecehan seksual di lingkup kampus dan beredar ramai di media sosial. Pelecehan dan kekerasan seksual tak memandang tempat bahkan di lingkup pendidikan tak menutup kemungkinan untuk hal itu terjadi.  Biasanya ada kata kata seperti “kok kamu gak teriak? kok diem aja? Berarti mau dong?” Bahkan sampai ada anggapan pada korban kekerasan  seperti “ikan asin dan kucing” yang menempatkan korban menjadi pihak yang salah dalam hal ini. Lalu jika ada kejadian seperti tadi, siapa yang disalahkan dan bagaimana harus bertindak? Jika berbicara yang salah, tentunya pelakunya yang salah.   

Laki-laki berperan penting dalam penanganan dan pencegahan kekerasan seksual. Kebanyakan pelaku pelecehan dilakukan oleh laki laki, tak menutup kemungkinan hal ini terjadi pada laki laki. Namun, kecenderungan pelecehan seksual dialami oleh perempuan. Hal yang dapat dilakukan untuk menghindari hal ini yaitu dengan pelibatan laki-laki dalam upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan melalui serangkaian sesi lokakarya atau workshop interaktif, pelatihan kepemimpinan, dan kampanye norma-norma sosial yang anti-kekerasan berbasis gender melalui media massa. Biasanya program pencegahan ini dapat diikuti oleh berbagai kelompok umur. Pada kelompok anak laki-laki usia sekolah, aktivitas yang dapat dilakukan misalnya berfokus terhadap isu-isu pelecehan seksual dan kekerasan pada saat pacaran dan semacamnya. Lalu pada kelompok mahasiswa atau usia dewasa awal akan fokus pada isu kekerasan seksual. Sedangkan kelompok dewasa dan yang berkeluarga, kegiatan pencegahan dapat memfokuskan pada isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Diskusi tulisan atau buku-buku kritik patriarki akan menambah gagasanmu agar dapat memiliki perspektif gender dan pelecehan. Paham tentang gender akan membentuk bagaimana cara kita berfikir dan bertindak dengan adil. Paham tentang gender juga akan mengikis sifat seksis, dan kognitif kita,  tidak terus menutup diri dan merasa seakan benar. Kamu tidak bisa menjadi bagian dari solusi sampai kamu mengerti bagaimana kamu menjadi bagian dari masalah. Maka, jangan lupa untuk selalu merefleksikan diri. . Jangan sampai kita sekedar paham teori namun miskin dalam praktiknya. Jangan pula paham teori, tapi masih berlaku kasar dan tidak menghargai perempuan. 

Sebagai laki-laki selayaknya kita melihat perempuan sebagai manusia yang utuh, karena laki laki dan perempuan adalah setara. Dalam kehidupan sehari-hari, laki-laki bisa memulai mempraktekannya dari hal-hal kecil seperti mengerjakan tugas domestik. Membangun relasi setara dengan teman, pasangan, dan yang lainnya. Lalu laki-laki bisa berkontribusi dengan membuka ruang untuk berdiskusi soal isu kesetaraan gender dengan kawan laki-laki, karena tidak bisa dipungkiri bahwa laki-laki akan lebih mendengarkan suara laki-laki lainnya dibandingkan perempuan. Cukup satu hal yang diperlukan yaitu menjadi manusia yang memanusiakan manusia lainnya

Kita ingin menjadi manusia yang baik dan bermoral atau kita ingin menjadi manusia yang bebas, itu sama. Kita ingin menjadi manusia yang mandiri dan otonom dan kita yang ingin menjadi manusia yang bermoral, itu hasilnya sama. Jika kamu bermoral tapi kamu tidak bebas, moralmu itu tidak ada artinya. Kamu bebas tapi tidak bermoral, kebebasan mu juga tidak ada nilainya. Bermoral tapi tidak bebas berarti moralmu tidak ada nilainya, berarti kamu hanya dipaksa, ikut-ikutan, segala yang paksaan, hanya sekedar ikut-ikutan, semua itu tidak ada nilainya soalnya semua itu bukan pilihanmu sendiri. Kebebasan yang tidak berujung moralitas berarti akan timbul kekacauan dan kerusakan. Untuk apa kamu bebas tapi hasilnya malah kerusakan. Bermoral dan bebas itu satu, bertemunya harus sama di ujung. Jadi bercita-cita pembebasan berarti bercita-cita menjadi orang yang bermoral, itu dua jalan yang bertemu di ujung yang sama.

Freedom and morality:To will oneself moral and to will oneself free are one and the same decision.” – Simone de Beauvoir 

(Visited 404 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya tahun 2020. Kini aktif sebagai anggota Divisi Redaksi LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?