Malang, PERSPEKTIF – “Terlepas dari proyek strategis nasional, ini kebutuhannya apa? Apakah ini untuk mengisi kekosongan listrik di wilayah Malang dan Batu atau untuk pariwisata?” pertanyaan tersebut dilontarkan Koordinator Sindikat Aksata, Khairul Ihwan terkait rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) kawasan Gunung Arjuno-Welirang yang terletak di perbatasan Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, dan Kota Batu, Jawa Timur.
Sudah dua tahun lamanya, Khairul Ihwan dan 29 temannya membentuk Sindikat Aksata, sebuah komunitas yang berjejaring di masyarakat bawah terkait permasalahan lingkungan dan fokus untuk mengawal pembangunan proyek PLTP kawasan Arjuno-Welirang. Komunitas ini dicetuskan oleh para alumni Sekolah Ekologi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur tahun 2019.
“Jadi awalnya hanya fokus di satu isu akhirnya meluas karena memang menurut kami berbagai masalah yang dihadapi masyarakat khususnya di Malang dan Batu perlu kawan dan didampingi,” ujar pria yang akrab disapa Sem ini.
Menurut Sindikat Aksata, tidak ada urgensi pembangunan PLTP di daerah sekitar Gunung Arjuno-Welirang. Sehingga mereka khawatir jika resiko kerusakan yang dihasilkan lebih banyak daripada keuntungan yang akan didapatkan masyarakat terkait proyek ini. “Kami tekankan adalah daya rusak dan daya berbahaya yang muncul setelah pembangunan pembangkit listrik panas bumi,” jelas Sem.
Kekhawatiran mereka bukannya tanpa alasan. Mengingat proyek ini sudah ditetapkan menjadi Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) pada 11 April 2017 lewat Keputusan Menteri (Kepmen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1748 K/30/MEM/2017. PT Geo Dipa Energi, anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ditunjuk untuk melaksanakan pembangunan PLTP Arjuno-Welirang. Perusahaan ini merupakan satu-satunya BUMN di bidang panas bumi yang mendapatkan penugasan atas WKP yang diberikan pemerintah melalui proyek-proyek pembangunan dan pengembangan.
PT Geo Dipa Energi bersama dua perusahaan lainya mendapat guyuran dana US$ 120 juta oleh World Bank untuk kegiatan eksplorasi di empat wilayah kerja panas bumi Indonesia. Usaha ini dilakukan untuk meningkatkan pembangunan energi terbarukan panas bumi melalui Government Drilling, suatu program pemerintah yang ditujukan untuk mengurangi resiko pada hulu pengeboran. Arjuno-Welirang sendiri mempunyai potensi menghasilkan 200 MW pasokan listrik dan perusahaan plat merah ini menetapkan target 150 MW seperti yang dikutip dari dunia-energi.com. PLTP Arjuno-Welirang akan siap beroperasi dan dieksploitasi oleh PT Geo Dipa Energi pada tahun 2023.
Ditunjuknya PT Geo Dipa sebagai pelaksana pembangunan PLTP Arjuno-Welirang tak bisa dilepaskan dari reputasinya beroperasi di WKP lain. Salah satunya PLTP Dieng, Jawa Tengah. Pada tanggal 12 Maret 2022, unit 28 PLTP tersebut mengalami kebocoran pipa dan menewaskan satu orang karyawan, puluhan lainnya luka-luka, serta delapan diantaranya dilarikan ke rumah sakit. Ihwal ini kemudian menjadi perhatian khusus Sindikat Aksata dalam mengawal proyek PLTP Arjuno-Welirang.
“Kalau memang itu energi bersih dan terbarukan atau hijau dan aman, mengapa setelah kami cari tahu ada terjadi kebocoran gas, kematian manusia atas hal itu, serta kerusakan sumber daya air yang ada di sekitar pembangkit listrik,” ujar Sem.
Meskipun pembangkit listrik panas bumi menghasilkan emisi karbondioksida yang lebih rendah satu sampai tiga persen dari energi fosil, tapi dampak negatifnya terhadap lingkungan sekitar wilayah eksploitasi menjadi ancaman yang nyata. Ghoni Musyahar dan kawan-kawannya dalam artikel Pemanfaatan Geothermal dan Dampaknya terhadap Lingkungan yang diterbitkan oleh Jurnal Cahaya Bagaskara tahun 2019 memaparkan beberapa dampak negatif dari pembangkit listrik tenaga panas bumi.
Proses pembangkit listrik panas bumi akan membawa berbagai campuran gas berbahaya seperti karbon dioksida, hidrogen sulfida, metana, dan amonia. Selain gas, metode ini dapat menghasilkan limbah cair yang mengandung bahan kimia beracun seperti merkuri, arsenik, boron, dan antimon. Bahan-bahan ini jika dibuang secara serampangan dapat menimbulkan pencemaran tanah dan air. Pengeboran panas bumi ini juga dapat merusak stabilitas tanah hingga menyebabkan amblas atau terjadi pengangkatan tektonik.
Maka dari itu, Sem berpendapat pembangunan PLTP Arjuno-Welirang sangat berpotensi melanggar hak asasi masyarakat sekitar. Misalnya hak masyarakat untuk mendapatkan udara yang bersih akan terganggu oleh gas-gas yang muncul dari pembangkit listrik tersebut. Begitu juga hak masyarakat untuk merasa aman akan selalu terusik dengan suara bising yang dihasilkan dari proses operasi PLTP. Ia juga menyinggung kembali perihal ancaman jatuhnya korban jiwa akibat kebocoran gas akan melanggar hak hidup seseorang.
“Menurutku PLTP adalah tambang yang tidak terisolir seperti di Dieng Jawa tengah, seakan-akan masyarakat dipaksa untuk hidup berdampingan. Kenapa di Mandailing Natal ada lima petani yang mati karena kebocoran gas, karena tempat mereka bertani dikelilingi pipa-pipa gas yang seukuran lebih dari satu pelukan manusia. Itu sebenarnya cukup mengerikan dampaknya,” jelas Sem.
Setelah mengunjungi PLTP Dieng, ia akhirnya memahami ternyata proyek ini akan membuka lahan begitu luas karena tidak hanya dibangun satu unit pembangkit, tetapi sangat banyak. “Tiap 500 meter ada lagi, jarak satu kilo ada lagi. Jadi yang kita bayangkan ada pembukaan lahan secara besar-besaran,” tutur Sem. Maka dengan kondisi kawasan Arjuno-Welirang yang adalah hutan lindung, kelestarian keragaman hayati yang terkandung di dalamnya akan mendapat ancaman serius.
“Apalagi kawasan Arjuno-Welirang merupakan wilayah pegunungan yang banyak warga menggantungkan hidupnya di sana, mungkin dari sektor pertanian, perhutanan, dan wisata alam,” tambahnya.
Masalah lain yang muncul akibat rencana pembangunan PLTP Arjuno-Welirang adalah tidak adanya partisipasi masyarakat. Sem bercerita, selama ia turun ke lapangan untuk menemui masyarakat, sama sekali tidak ada usaha pemerintah untuk terbuka menjelaskan pembangunan pembangkit listrik panas bumi kepada masyarakat setempat. Bahkan, katanya, masyarakat sendiri tidak mengetahui istilah seperti panas bumi maupun geothermal. Apalagi jika membahas soal Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi.
“Sampai saat ini sosialisasi secara gamblang belum ada. Di wilayah ring satu pun belum ada sosialisasi akan ada pembangunan PLTP, padahal di tahun ini menjelang pembangunannya,” tutur Sem.
Melihat pengetahuan masyarakat dan partisipasinya yang masih minim terkait PLTP Arjuno-Welirang, Sindikat Aksata aktif turun ke masyarakat untuk memberi pengetahuan dan memunculkan kesadaran tentang pembangunan PLTP dan dampaknya nanti terhadap sekitar. “Caraku kampanye tidak pernah menyebut geothermal, tapi panas bumi. Aku tidak pernah menyebut ekstraktif, tapi tambang karena ini sifatnya menambang, menyuntik air ke dalam tanah untuk mendapatkan uap dari panas bumi tersebut,” jelas Sem.
Tanggapan yang mereka dapatkan beragam. Ada masyarakat yang sama sekali tidak tahu, ada yang meng-iyakan begitu saja, dan ada yang sudah tegas menolak. Kebanyakan warga mulai terpantik kesadarannya ketika mereka membahas dampak PLTP terhadap sumber air bersih. Masyarakat tegas menolak jika sumber air yang menopang kehidupan mereka terganggu. Mengingat banyak masyarakat sekitar yang bekerja sebagai petani.
Kesadaran tersebut coba mereka rawat agar dapat mengorganisir masyarakat jika timbul permasalahan dari pembangunan PLTP. “Kita coba menjaga api-api kecil yang ada di setiap wilayah. Karena memang barang ini (PLTP Arjuno-Welirang, red) belum ada, jadi kami menyiapkan apinya, nanti tinggal membakar saja,” tutur Sem menganalogikan pergerakan Sindikat Aksata saat ini.
Kedepan, Sem dan teman-temannya akan menyelesaikan riset mereka tentang pemanfaatan Hutan Kasinan Batu serta pembangunan PLTP Arjuno-Welirang. Selain itu, mereka juga sedang mempersiapkan sebuah film dokumenter tentang PLTP di Dieng Jawa Tengah untuk memberikan informasi dan pengetahuan terkait dampak pembangkit listrik panas bumi. “Kami akan blusukan lagi. Tidak hanya warga, tapi juga mahasiswa dan kelompok sosial lain untuk mendukung. Kami sedang mengumpulkan orang dari luar,” tambahnya.
Sem mewakili Sindikat Aksata berharap agar pemerintah yang terkait dengan proyek PLTP Arjuno-Welirang baik daerah maupun nasional untuk melihat kembali kebutuhan masyarakatnya. Menurut mereka, ada yang lebih penting daripada pasokan listrik terbaru seperti kesejahteraan para petani. Masyarakat juga harus diajak bicara oleh pemerintah terkait proyek ini.
“Pemerintah daerah dapat menolak karena kepentingan warga. Utamakan keselamatan masyarakat. Masalah proyek strategis nasional kalian punya kewenangan untuk mempertimbangkan hal itu, jangan takut,” tegas Sem.
Melihat kondisi Malang dan Batu yang sedang santer melakukan pembangunan, ia mengingatkan manusia tidak hidup bahagia hanya dengan beton saja, tetapi membutuhkan lingkungan yang hijau, serta udara dan air yang bersih. “Pemerintah harus sensitif terhadap lingkungan, jangan terlalu bodoh amat. Ada generasi muda, generasi manusia yang akan datang dan berhak untuk melihat lingkungan yang lestari,” tutup Sem. (gra/fjr/uaep)