Universitas Brawijaya (UB) baru-baru ini dihebohkan dengan kasus kekerasan seksual yang tertangkap oleh publik lewat sosial media. Salah satunya adalah press release yang dikeluarkan oleh Eksekutif Mahasiswa (EM) mengenai Surat Pemberhentian Tidak Hormat Menteri Sosial dan Masyarakat, Adam Dhanniswara Mahindra yang menjadi pelaku pelecehan seksual terhadap staf kementriannya sendiri. Dalam surat yang dikeluarkan pada Kamis (29/9) tersebut, kejadian kekerasan seksual sudah terjadi sejak bulan Maret berdasarkan pengakuan korban kedua. Perlakuan tersebut terjadi berulang kali hingga para korban bersama sanksi membuat laporan pada 15 September 2022. Bisa dibayangkan, bagaimana hubungan korban dengan pelaku yang berlangsung penuh ketakutan. Beberapa dari pembaca mungkin bertanya, mengapa Surat Pemberhentian Tidak Hormat tersebut baru dikeluarkan setelah banyak bulan terlewat?
Kita perlu menyadari banyak korban kekerasan seksual tidak punya cukup keberanian untuk mengakui apa yang dialaminya. Terlebih dalam kasus tersebut, pelaku adalah seorang Menteri EM yang memiliki kekuasaan tinggi di kampus. Selaras dengan ini, hasil riset Pusat Pengembangan Sumberdaya Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan menyatakan jika relasi kuasa sering terjadi pada kasus kekerasan seksual yang mana pihak dominan lebih banyak mengetahui kondisi korban (nasional.kompas.com). Belum lagi konstruksi sosial di Indonesia, yang selalu menempatkan perempuan menjadi pihak yang dinomorduakan. Korban kekerasan seksual juga cenderung tidak percaya diri karena ketakutan bila pengakuannya tidak dipercaya sehingga sering kali membuat mereka memilih bungkam.
Kasus yang terjadi di EM, tidak hanya menjadi satu-satunya. Sebelumnya pada 21 Juni 2022 lalu, Eksekutif Keluarga Mahasiswa (EKM) PSDKU UB juga mengeluarkan Surat Keputusan Pemberhentian Secara Tidak Hormat kepada Dafa Rizky Syamsuddin selaku Menteri Diplomasi (lpmperspektif.com). Bahkan hal ini telah menjadi fenomena nasional dengan adanya kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Ketua BEM FISIP Universitas Riau (Unri). Mengutip kumparan.com, jajaran petinggi BEM FISIP Unri menyepakati untuk menonaktifkan sementara pelaku dan akan mengembalikan posisinya jika terbukti tidak bersalah. Masih banyak lagi kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan organisasi mahasiswa. Maraknya kasus yang terjadi di lingkungan organisasi kampus kembali menciptakan pertanyaan, di mana tempat aman yang jauh dari kekerasan seksual? Mengingat lembaga eksekutif yang menjanjikan ruang aman bahkan bisa juga menjadi pelaku.
Baca Juga:
Penanganan Kasus Pelecehan Seksual oleh BPH EKM PSDKU Harus Melibatkan Pihak Profesional
Melihat kasus-kasus di atas, maka patut dipertanyakan, bagaimana proses recruitment para petinggi kampus selama ini. Di UB, biasanya seleksi calon-calon Menteri beserta jajarannya dilakukan sendiri oleh presiden bersama wakilnya. Tidak adanya pengawasan dan monitoring dari pihak lain juga menjadi salah satu kekurangan hal-hal seperti ini terjadi. Mahasiswa lain tidak tahu-menahu mana Menteri yang memang baik dengan berbagai penilaian attitude dan program kerjanya. Masalah ini juga seharusnya menjadi hal serius untuk dievaluasi oleh organisasi-organisasi mahasiswa UB.
Fenomena kekerasan seksual adalah gunung es yang menunggu untuk diselami. Terlebih di lingkungan institusi pendidikan. Selalu ada yang mencoba menutupi dengan dalih menjaga nama baik kampus. Dari kasus yang telah menimpa EM UB, pencabutan jabatan rasanya kurang memuaskan. Bagaimana dengan perasaan korban yang bisa saja masih bertemu dipelataran gedung. Saat ini kami masih menunggu aksi birokrat kampus untuk memberikan efek jera pada pelaku. Publik perlu tahu, upaya advokasi apa saja yang sudah diberikan kepada korban. Apakah korban sudah siap kembali berkuliah seperti biasa, atau justru trauma yang dialaminya belum kian mereda?
==============
Jika ingin melaporkan kasus kekerasan seksual dan perundungan kepada ULTKSP FISIP, silahkan klik tautan .