Setelah sekian lama kita merasakan sekolah secara daring, kini pemerintah mengizinkan pembelajaran sudah bisa dilakukan secara luring, walaupun di beberapa sekolah masih dapat kita temui ada yang menerapkan sistem hybrid karena beberapa alasan. Dengan dibukanya kembali pembelajaran secara luring, tentu masalah-masalah yang kerap terjadi semasa luring dulu akan menjadi sorotan kembali yang harus diantisipasi. Salah satunya adalah bullying yang hingga saat ini masih menjadi masalah serius di Indonesia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bullying (perundungan) adalah proses, cara, atau perbuatan yang menggunakan kekuatan untuk menyakiti atau mengintimidasi orang-orang yang lebih lemah darinya, biasanya dengan memaksa untuk melakukan apa yang diinginkan oleh pelaku. Bentuknya dapat berupa kekerasan fisik seperti memukul, menendang, mencubit, dan kekerasan verbal seperti memaki, merendahkan, atau mempermalukan. Di Indonesia sendiri, sebanyak 1.138 kasus kekerasan fisik atau psikis terjadi pada anak di sepanjang tahun 2021 sebagaimana dicatat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia lewat laman webnya, kpai.go.id.
Jika kita melihat kembali ke masa lalu, kasus-kasus bullying yang pernah terjadi di Indonesia kebanyakan dilakukan dengan bertemu langsung antara korban dan pelaku. Salah satunya adalah kasus mahasiswa UNS pada tahun 2021 yang meninggal akibat mengalami kekerasan dari seniornya saat mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat) resimen mahasiswa (menwa). Selain itu, kasus yang baru saja terjadi dan saat ini masih sering dibahas juga menjadi bukti bahwa sekolah luring semakin meningkatkan kemungkinan terjadinya bullying yaitu meninggalnya santri di Pondok Pesantren (Ponpes) Gontor yang diduga dianiaya oleh seniornya.
Bicara soal sekolah luring, tentunya berkaitan dengan interaksi yang semakin intens, karena kita dapat berkomunikasi dengan orang lain secara langsung. Namun sayangnya, interaksi yang intens itu juga dapat menjadi salah satu penyebab mengapa bullying bisa terjadi. Hal ini disebabkan karena pelaku memiliki akses yang lebih terbuka untuk mengeksekusi korbannya.
Terdapat beberapa konflik yang mungkin sering kita jumpai di sekolah yang ternyata bisa menjadi pemicu terjadinya bullying. Pertama, pembentukan circle (kelompok pertemanan). Saat ini, istilah circle sangat populer sekali di kalangan pelajar sebagai gambaran pertemanan yang kuat. Sebenarnya hal ini sangat wajar terjadi sebagai aplikasi dari teori similarity (kesamaan) yang menyebutkan bahwa ketika orang saling tertarik satu sama lain dikarenakan memiliki kesamaan dalam suatu hal baik itu sikap, nilai, atau kepribadiannya. Mereka cenderung untuk selalu bersama bahkan membentuk sebuah kelompok baru. Pembentukan circle akan menjadi penyebab bullying ketika mereka mengeksklusifkan dirinya dan mulai merendahkan orang di sekitarnya.
Kedua, bertemu secara luring menjadikan kita lebih mengenal teman. Dari mana dia berasal, bagaimana ciri khasnya, hingga logatnya waktu berbicara. Perbedaan-perbedaan itulah yang terkadang secara tidak sadar dapat memicu bullying. Misalnya, ada yang menjadikan logat bicara salah satu teman sebagai bahan candaan karena dianggap lucu. Mungkin bagi pelaku hal tersebut hanya sekadar gurauan, tetapi bagi korban bisa saja membuatnya rendah diri.
Ketiga, di lingkup universitas biasanya bullying diawali dengan senioritas. Seringkali kita jumpai kasus bullying muncul ketika acara yang berkaitan dengan penerimaan mahasiswa baru, seperti Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) atau diklat organisasi. Hal ini biasanya dilakukan karena mereka merasa memiliki kekuasaan untuk memerintah para mahasiswa baru. Memang benar, bahwa senior lebih dulu masuk dan lebih mengenal kehidupan kampus, tetapi mereka menyalahgunakan kekuasaan tersebut untuk berlaku semaunya. Bahkan, ada yang menggunakan kekerasan ketika para mahasiswa baru tidak mau mengikuti perintah seniornya dan berujung pada kematian seperti kasus mahasiswa UNS yang telah disebutkan di atas.
Setelah membaca semua pernyataan di atas, memang sekolah luring lebih beresiko pada terjadinya kasus bullying. Alih-alih berdebat soal lebih baik sekolah luring atau daring, akan lebih baik lagi jika kita bisa menemukan cara untuk mengantisipasinya supaya jumlah kasus tidak terus meningkat di setiap tahunnya. Maka dari itu, baik dari siswa maupun sekolah harus bersama-sama membangun lingkungan sekolah yang ramah dan menolak segala bentuk tindakan bullying.
Upaya yang bisa dilakukan siswa ketika melihat tindakan bullying adalah jangan menjadi seorang bystander. Bystander adalah orang yang tidak menolong seseorang karena dia beranggapan ada orang lain yang akan menolong. Dengan kata lain, kita hanya melihat orang tersebut ketika dia sedang membutuhkan pertolongan. Apakah dengan melihat saja tindakan itu akan berhenti dengan sendirinya? Kalau kita merasa tidak cukup mampu atau merasa ikut terancam untuk menolong, setidaknya jadilah teman cerita untuk korban dan bujuk dia untuk melaporkan. Selain itu, bantulah dia untuk mencari tenaga profesional.
Sekolah juga perlu untuk menyediakan ruang aman bagi siswa yang mengalami bullying untuk bercerita. Seringkali ketika siswa hendak melaporkan kejadian seperti ini, guru menyangkal dan menganggap hal tersebut sebagai candaan semata. Akan lebih baik lagi jika di setiap sekolah membentuk suatu unit khusus untuk menangani kasus-kasus bullying dan semacamnya disertai dengan unit konseling, sehingga para siswa yang mengalami masalah bisa mendapatkan dua bantuan, yaitu dari sisi hukum dan psikologis.