Pada awal bulan Juli lalu, publik dihebohkan dengan sebuah kasus pencabulan dan pemerkosaan terhadap santriwati di salah satu pondok pesantren (ponpes) yang bertempat di Jombang. Diketahui bahwa pelakunya merupakan anak dari seorang kiai di mana ayahnya adalah pemilik pondok pesantren tersebut. Begitu kabar ini mencuat, kita bisa melihat bahwa publik sangat geram mengapa tempat seperti pesantren yang seharusnya dijadikan tempat untuk belajar agama malah menjadi tempat untuk melakukan perbuatan bejat tersebut.
Tidak berhenti sampai di situ, tersebar pula video yang menunjukkan bahwa ada provokasi dari beberapa petinggi di ponpes yang menginstruksikan para santri untuk melindungi pelaku kekerasan seksual tersebut dari kejaran polisi. Hal ini dilakukan karena mereka menganggap ketika si pelaku tertangkap polisi, keadaan tersebut akan mencoreng nama baik pesantren tersebut.
Dari sebuah video berdurasi 2 menit 20 detik yang diunggah sebuah akun bernama @PartaiSocmed di Twitter, kita dapat melihat bahwa provokasi tersebut benar adanya. “Omongan-omongan di luar sana (digunakan) untuk menjatuhkan Shiddiqiyyah. Seolah-olah kita ini tidak diajarkan dengan akhlakul karimah. Kita semua marah dengan itu. Maka dengan mereka menggunakan kekuatan dari luar, menggunakan kekuatan dari kepolisian, menggunakan media massa, (itu) untuk merusak nama baik Shiddiqiyyah. Kita harus melawannya,” ujar wanita dalam video tersebut yang disambut sorakan dari para santri.
Melihat hal tersebut, publik sangat menyayangkan reaksi para santri yang lebih membela sang pelaku ketimbang para korban yang telah menderita secara fisik dan psikis. Selain itu, mereka juga mempertanyakan mengapa kasus kekerasan seksual tersebut bisa terjadi padahal sebagai seorang santri mereka diajarkan nilai agama yang kuat? Apakah ada doktrin-doktrin tertentu yang diajarkan sang pelaku kepada para korbannya?
Jika dikaitkan dengan teori pengaruh sosial (social influence) memang kasus tersebut bisa terjadi karena ada kepatuhan (obedience) pada pengajar agama di sana. Terlebih lagi dalam ajaran Islam, seorang kyai beserta keturunannya dianggap “lebih berilmu” dan harus dihormati oleh para santri. Dikutip dari tulisan Fatimatuz dalam mojok.co, kepatuhan seorang santri bahkan mencapai di tingkat rela untuk dipekerjakan di rumah sang kyai secara cuma-cuma atau biasa disebut “santri ndalem.” Ketika santri telah memiliki gelar tersebut, maka ia memiliki kasta yang lebih tinggi daripada santri lainnya dan hal tersebut menjadi kebanggaan tersendiri.
Milgram (dalam Myers, 2013) menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan kasus kepatuhan yang mengarah ke keburukan ini bisa terjadi atau bisa disebut destructive obedience. Pertama, jarak korban dengan pihak otoritas. Ia menyebutkan bahwa pelaku akan lebih mudah untuk menyebarkan pengaruhnya pada orang yang tidak ia kenal. Dalam konteks kasus ini, pelaku memang tidak memiliki relasi apapun pada para santrinya, entah itu secara keluarga, pertemanan, atau relasi pribadi lainnya. Kedua, kedekatan korban dengan pihak otoritas. Milgram menyebutkan bahwa kehadiran fisik yang semakin intens dengan korban membuat tingkat kepatuhan meningkat. Hal ini juga membenarkan keberadaan pelaku sebagai wakil rektor di ponpes tersebut memiliki kedekatan dengan para santri dalam bidang akademis.
Akan tetapi, mengapa santri yang menjadi korban maupun santri lainnya yang mengetahui keburukan tersebut tidak berani untuk melaporkan kasus itu kepada pihak berwajib? Pastinya dalam hati nurani mereka ada perasaan bahwa tindakan tersebut tidak benar dan seharusnya melakukan sesuatu, hanya saja kembali lagi ke poin kepatuhan tadi. Entah apa yang dikatakan oleh sang pelaku, yang jelas hal tersebut malah membuat para santri semakin ketakutan untuk melawan. Terlebih lagi, sang pelaku memiliki kekuasaan yang bisa saja mengancam dirinya.
Berkaca dari kamp konsentrasi yang didirikan oleh NAZI pada tahun 1930-an sebagai penjara dan tempat intimidasi, para tentara diinstruksikan oleh atasannya untuk membunuh orang-orang yang tidak bersalah tersebut. Mereka sebenarnya tahu bahwa yang dihadapinya sama-sama manusia, punya keluarga yang menunggu di rumah, dan hal-hal yang menjadi pertimbangan lainnya. Namun, lagi-lagi kepatuhan memaksa mereka untuk melakukan tindakan yang sebenarnya mereka tidak inginkan, yaitu membunuh lawan. Apabila mereka tidak melakukan sesuai yang diminta, akibatnya akan berdampak ke diri sendiri. Entah mereka akan dihukum atau dianggap sebagai penghianat. Namun kabar baiknya, sekarang sudah ada hukum yang mengatur bahwa tentara memiliki hak untuk menolak perintah yang dianggap ilegal atau mengarah ke kejahatan yang tertuang pada International Humanitarian Law (IHL) nomor 154 tentang kepatuhan pada perintah atasan.
Kembali lagi ke konteks awal, tidak ada pembenaran apapun untuk berbagai jenis kasus kekerasan seksual dan juga bagaimana orang-orang di sekitar pelaku malah melindunginya dari jeratan hukum. Akan tetapi, yang bisa para santri lakukan adalah memiliki pemikiran kritis pada sebuah instruksi yang diberikan oleh pihak otoritas. Sebagaimana kita tahu bahwa sistem pendidikan di pesantren masih terbilang otoritatif, sehingga hal-hal berbau kepatuhan masih sering terjadi. Memang, kepatuhan adalah sebuah tindakan yang baik. Namun, jika terlalu berlebihan akan membawa diri kita ke dalam bahaya.
Semua perintah tidak boleh ditelan mentah-mentah, perlu untuk meninjau ulang apa sebenarnya motif dari pihak otoritas. Jika itu dirasa terlalu berbahaya dan tidak sesuai dengan hati nurani, lebih baik jangan dilakukan karena semua perbuatan yang kita lakukan akan berbalik ke diri sendiri.