Lompat ke konten

DOB Ancam Kelestarian Alam dan Hak Orang Asli Papua

Para pemateri dalam diskusi Pusaka Bentala Rakyat

Malang, PERSPEKTIF – Pusaka Bentala Rakyat menggelar diskusi bertema “Pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) dan Pembangunan: Bagaimana Perlindungan Hak Orang Asli Papua dan Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Papua?” secara virtual pada Selasa (19/7). Acara ini dilaksanakan menanggapi kebijakan hukum dalam revisi Undang Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) dan Undang Undang Daerah Otonomi Baru (UU DOB) yang diproses secara kilat tanpa ada konsultasi dan minim partisipasi masyarakat.

Diskusi ini turut menghadirkan Bivitri Susanti selaku Ahli Hukum Tata Negara, Emanuel Gobay selaku Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Yosehi Mekiuw selaku Akademisi Universitas Musamus Merauke, dan Ciska Abugau selaku Ketua Pokja Perempuan Adat Majelis Rakyat Papua (MRP).

Bivitri membuka diskusi dengan berpendapat bahwa Papua merupakan studi kasus yang luar biasa panjang sejak Indonesia merdeka sampai sekarang. Menurutnya, hal tersebut terjadi karena apa yang terjadi di Papua, Aceh, bahkan IKN (Ibu Kota Negara) seringkali dilihat hanya dari produk hukumnya tanpa melihat pengalaman orang yang mengalami. 

“Saat ini pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) dianggap sebagai tindakan administrasi biasa, banyak sekali politisi dan para ahli luput melihat kepentingan ekonomi politik di belakangnya. Konstitusi memang memberikan ruang tapi bahaya kalau konstitusi yang membuat kerangka besar diterjemahkan oleh penguasa yang menggenjot Sumber Daya Alam dan tidak peduli pada HAM,” ujarnya.

Sementara itu Emanuel mengungkapkan dalam UU Otsus dan UU DOB masyarakat yang melakukan penolakan dan menyampaikan pendapatnya kerap kali mendapatkan tindakan represif (pembungkaman ruang demokrasi, red) oleh kepolisian.

“Terlepas dari itu, kebijakan Otsus maupun DOB kalau kita lihat kepentingan dibalik kedua kebijakan ini jelas ya bahwa ada murni kepentingan lahirnya investasi di tanah Papua. Dari data yang kami dapat khususnya investasi dalam eksploitasi tambang itu di Papua ada kurang lebih 56 digit di Provinsi Papua dan 19 digit di Papua Barat. Ini baru di sektor tambang dan belum bicara di sektor sawit dan HPH (Hak Pengusaha Hutan). Kami punya pertanyaan besar, apakah izin itu diberikan sepengetahuan masyarakat adat atau tidak?” tanya Emanuel.

Sependapat, Yosehi yang mengangkat dari sisi lingkungan mengungkapkan kerusakan lingkungan sangat berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat adat Papua. Ia juga menambahkan hutan, tanah, dan rawa bagi masyarakat adat Papua adalah harta, harga diri, dan masa depan.

“Ketika ada proses yang terjadi, sebenarnya saya secara pribadi bertanya dan merenung yang berbicara tentang DOB dan Otsus mereka ini anak adat atau tidak? Apakah harga diri mereka ada atau tidak sebagai anak adat yang punya wilayah adat, masyarakat, punya marga besar, punya suku?” ucapnya.

Terakhir, Ciska mengatakan bahwa persoalan di tanah Papua tumpang tindih, tidak menyelesaikan masalah yang akar dulu. Jadi ketika masalah yang satu belum selesai, datang lagi masalah lain. 

“Bangsa Papua tidak akan dibantu oleh bangsa lain untuk menjadi kuat, cerdas dan menemukan cara kerja kreatif untuk keluar dari aneka masalah yang kita alami. Maka Bangsa Papua harus membantu dirinya sendiri untuk keluar dari berbagai masalah yang ada,” tuturnya dengan tegas. (uaep/gra)

(Visited 126 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?