Lompat ke konten

Mengawal Implementasi dan Keberlanjutan UU TPKS

Poster Twitter Space yang diselenggarakan oleh TRACK SDGs

Malang, PERSPEKTIF – TRACK SDGs mengadakan Twitter Space perdana berjudul “Mengawal Isu Kekerasan Seksual Pasca Pengesahan UU TPKS” pada Kamis (23/6). Diskusi ini turut menghadirkan Koordinator Divisi Perubahan Hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, Koordinator Advokasi Jakarta Feminist, Executive Director Lentera Sintas Indonesia, serta Pemimpin Umum dan Redaktur Project Multatuli. 

Dian Novita selaku Koordinator Divisi Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta mengatakan bahwa pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 12 April lalu masih belum bisa diaplikasikan secara langsung oleh para penegak hukum di Indonesia. 

“Di dalam UU TPKS masih ada hal-hal yang harus dipenuhi. Seperti ada peraturan pelaksana, peraturan presiden dan pemerintah untuk memudahkan aparat penegak hukum menerjemahkan undang-undang ini. Oleh karena itu, kita terutama masyarakat sipil harus terus mengawal supaya terimplementasi karena kalau tidak segera dibahas akan percuma ada UU TPKS ini,” jelanya. 

Koordinator Advokasi Jakarta Feminist, Nailah Rizqy turut menambahkan bahwa peraturan pelaksana tersebut akan digunakan untuk penegakkan hukum, pemenuhan hak, serta pemulihan korban sehingga harus segera dilakukan agar dapat meningkatkan kapasitas penegakan hukum dan beberapa kementerian terkait sehingga dapat membentuk sebuah layanan terpadu.

Selanjutnya, Evi Mariani, Pemimpin Umum dan Redaktur Project Multatuli menyatakan bahwa dampak pengesahan UU TPKS telah menyentuh dan memberikan kesadaran kepada masyarakat secara langsung walau masih dalam skala yang perlu perluasan. Ia lalu memberikan contoh tentang kasus pelecehan seksual di kereta yang belum lama ini terjadi.  

“Seperti ada kesepakatan di tingkat publik bahwa orang yang meraba-raba paha di kereta api itu ada namanya. Namanya Tindak Pelecehan Kekerasan Seksual dan itu bisa dipidana,” tutur Evi.  

Sementara itu, Executive Director Lentera Sintas Indonesia, Rhesya Agustine menambahkan bahwa media dalam aktivitas pemberitaannya harus dapat menciptakan ruang aman yang setara tanpa ada diskriminasi gender. 

“Pedoman dalam pemberitaan yakni harus berpihak kepada korban, melindungi identitas korban, tidak judgemental, tidak memberi ruang pada pelaku, tidak menjadikan berita sebagai rekreasi seksual, mengikuti kode etik jurnalisme, harus memilih narasumber dengan perspektif gender yang baik dan tidak memberi panggung terhadap narasumber yang pernah melakukan,” jelasnya.  (aql/az/gra)

==========

Silahkan mengakses https://carilayanan.com/ untuk mencari lembaga layanan terdekat jika kalian atau orang terdekat mengalami tindakan pelecehan atau kekerasan seksual.

(Visited 149 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?