“Manusia adalah makhluk hidup yang berakal budi,” pernyataan ini sering digunakan untuk menggambarkan manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling superior dan beradab. Namun, tulisan ini akan mempertanyakan apakah pernyataan tersebut sungguh-sungguh benar dan tepat?
Sejatinya manusia adalah makhluk hidup yang memiliki perbedaan dengan makhluk hidup yang lainnya. Hal ini terletak pada kalimat di atas bahwa manusia diberikan akal budi. Tentunya dengan pemberian tersebut manusia mendapat anugerah yang lebih baik dalam berpikir dan bertindak laku. Sayangnya, anugerah yang telah diberikan belum mampu diimplementasikan dengan baik. Contoh paling nampak bisa kita lihat dari maraknya diskriminasi terhadap teman-teman disabilitas yang masih terjadi sampai saat ini.
Meninjau data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2020 bahwa terdapat penduduk usia kerja penyandang disabilitas sebanyak 17,74 juta orang sedangkan jumlah penduduk angkatan kerja penyandang disabilitas hanya berkisar 7,8 juta orang atau sekitar 44% saja dari tingkat partisipasi angkatan kerja penyandang disabilitas. Hal ini jauh dengan tingkat partisipasi angkatan kerja nasional yang berjumlah 69%. Selain itu, jumlah penyandang disabilitas yang bekerja sebesar 7,57 juta orang, sedangkan jumlah pengangguran terbuka penyandang disabilitas sebanyak 247.000 orang.
Baru-baru ini juga media sosial dihebohkan dengan seorang anak penyandang disabilitas yang mendapatkan perlakuan kurang baik dari Grab Indonesia. Kasus ini dimuat juga dalam kompas.com yang menyebutkan bahwa perlakukan tersebut diperolehnya ketika memenuhi panggilan wawancara kerja dan hal tersebut diungkapkan ayahnya dalam postingan instagram. Bukan itu saja, beberapa kasus juga ternyata kerap terjadi seperti yang dimuat dalam detik.com bahwa pada tahun 2019, Dokter Gigi Romi Syofpa dicoret oleh Pemkab Solok Selatan dari PNS dengan alasan disabilitas. Di tahun 2016 hal yang sama kembali terjadi kepada Wuri Handayani yang ingin memasukkan berkas lamaran CPNS di Kota Surabaya harus menelan pil pahit karena menggunakan kursi roda sehingga ditafsirkan panitia syarat sehat jasmani dan rohani tidak boleh cacat fisik.
Dari berbagai kasus di atas dapat disimpulkan bahwa masih terbatasnya ketersediaan lapangan pekerjaan bagi teman disabilitas. Tentunya ini menjadi catatan bagi pemerintah bahwa sangat penting untuk memberikan ruang inklusif bagi teman- teman disabilitas bukan hanya di dunia kerja saja tapi di segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan perlu adanya evaluasi mengenai ruang inklusif bagi teman disabilitas. Adapun yang perlu dilakukan adalah sosialisasi, advokasi, dan penyuluhan mengenai urgensi ruang inklusif bagi teman disabilitas dan lain sebagainya. Serap aspirasi dari teman-teman disabilitas juga perlu dilakukan agar kebijakan yang diterapkan sejalan dengan kebutuhan yang mereka perlukan. Ruang evaluasi dan aduan terhadap diskriminasi yang dialami teman disabilitas juga hendaknya ada untuk mencegah terjadinya kasus-kasus serupa.
Selain itu, perlu diperkuatkan komitmen pemerintah untuk menjalankan ruang yang aman, setara, dan ramah tanpa ada perbedaan dengan kelompok masyarakat yang bukan disabilitas. Upaya partisipastif dari masyarakat juga perlu untuk turut serta dalam hal ini baik secara perorangan maupun kelompok dengan tidak melakukan tindakan diskriminasi. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat sekiranya dapat membuka ruang inklusif bagi teman teman disabilitas untuk mendapatkan hak yang setara.
Penulis setuju dengan pernyataan Direktur Center for Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities (CIQAL), Suryatiningsih Budi Lestari bahwa pernyataan-penyataan lantang mengenai pembangunan inklusif perlu didengungkan pemerintah. Nyatanya hal tersebut belum banyak diimplementasikan, sehingga pihak terkait perlu melakukan penyelarasan agar pernyataan yang disampaikan sejalan dengan kenyataan yang ada agar benar adanya ruang inklusif bagi teman disabilitas dapat berlangsung dengan baik tanpa adanya diskriminasi.