Lompat ke konten

Vonis Bebas Dosen UNRI dan Refleksinya Bagi UB

Ilustrator: Gratio

Malang, PERSPEKTIF Persidangan kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu dosen di Universitas Riau (UNRI) menghasilkan keputusan yang mengejutkan berbagai pihak. Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru pada 30 Maret 2022 memutuskan Dekan nonaktif Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau (UNRI), Syafri Harto bebas dan tak bersalah atas kasus yang menjeratnya. 

Majelis Hakim menilai unsur dakwaan baik primer maupun subsider yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak terpenuhi, sehingga Syafri Harto dibebaskan dari segala tuduhan yang menjeratnya. Putusan tersebut sontak menerima banjiran protes dan kritik dari berbagai pihak, mulai dari mahasiswa hingga masyarakat umum. 

Menanggapi putusan tersebut, Korp Mahasiswa Hubungan Internasional (KOMAHI), pihak yang mendampingi korban untuk angkat suara pada November 2021 lalu, melalui laman twitter resminya @KOMAHI_UR menaikkan tagar #PercumaSpeakUp sebagai bentuk kekecewaan terhadap kasus ini. Berbagai macam cuitan dari berbagai pihak juga turut meramaikan tagar sekaligus menyiratkan kekecewaan terkait putusan tersebut. 

“Ketidakadilan terdengar dari ruang pengadilan itu sendiri” tulis salah satu akun. Akun yang lain juga turut meramaikan, “Menangis menyaksikan vonis bebas pelaku di depan pengadilan itu sendiri.” 

Ada pula yang menulis, “Ketimpangan relasi kuasa yang membuat pelaku semakin super power dan korban yang semakin terintimidasi. Bahkan peradilan sendiri membuktikan tak mampunya memutus relasi kuasa yang ada. Pantas saja dalam kasus kekerasan seksual keadilan pada korban sulit sekali didapatkan.”

Komentar-komentar di atas menunjukkan bahwa sebenarnya masih ada tanda tanya besar dari berbagai pihak terkait putusan kasus tersebut. Pengadilan yang seharusnya menjadi tempat keadilan bisa didapatkan, justru dinilai sebagai sarang ketidakadilan bagi penyintas kekerasan seksual. 

“Kasus ini sebenarnya sebagai salah satu bad practice ya, contoh yang buruk bagaimana sistem hukum kita belum mampu memberikan jaminan terhadap korban kekerasan seksual. Dan ini nanti akan menjadi salah satu bagian dari bagaimana kemudian aparat penegak hukum akan menjadi sorotan utama dalam proses penegakan kasus kekerasan seksual,” ujar Dhia Al-Uyun, salah satu Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (18/4). 

Apakah Kampus sudah adil dan aman? 

Keputusan serta kasus ini juga memancing kembali pertanyaan dasar dari berbagai pihak, apakah kampus sudah menjadi tempat menempuh pendidikan yang aman dan adil bagi penyintas kekerasan seksual? 

Berdasarkan data yang berhasil dihimpun oleh tirto.id dalam laporan #NamaBaikKampus, menunjukkan bahwa terdapat 174 penyintas kasus kekerasan seksual yang berasal dari 79 kampus pada 29 kota di Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk penyintas yang tidak bersedia untuk buka suara. Laporan ini memperlihatkan bahwa kampus yang selama ini terlihat aman dari luar, tidak sepenuhnya benar demikian. 

Bahkan, hingga saat ini, dengan masih adanya anggapan bahwa kasus kekerasan seksual adalah sebuah aib bagi kampus, membuat beberapa korban memilih bungkam terkait peristiwa kekerasan yang dialaminya. Atau yang lebih parah, beberapa korban justru dipaksa bungkam demi tetap terjaganya nama baik kampus. 

“Kekerasan seksual yang terjadi itu bukan aib bagi sebuah universitas. Universitas akan dikatakan unggul manakala bisa menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang terjadi,” papar Dhia. 

Lebih lanjut, dosen yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Program Kajian Wanita, Sekolah Pasca Sarjana itu juga menambahkan perlunya kerjasama dari berbagai pihak untuk menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi di dalam kampus. Tidak hanya pihak internal kampus, tetapi juga dari pihak eksternal. 

Tentunya, pengesahan UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) serta adanya Permendikbud No. 20 tahun 2021 menjadi angin segar bagi masa depan penyelesaian tindak kekerasan seksual di lingkungan kampus. 

“Apalagi pasca UU TPKS. UU TPKS yang kemudian disahkan 12 April 2022 ini, memberikan banyak kemudahan dalam proses pembuktian kasus KS (kekerasan seksual),” tambah Dhia.

Sukma Nurmala, dosen Psikologi Universitas Brawijaya, turut memberikan pandangannya terkait hal tersebut. 

“Permendikbud nomor 20 tahun 2021 itu membahas tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, dan saya rasa itu bisa menjadi sarana advokasi yang baik untuk korban maupun penyintas yang selama ini tidak berani untuk berbicara ke muka publik,” ujarnya (26/4).

Besar harapan agar payung hukum yang diberikan oleh pihak eksternal kampus tersebut dapat membuat kampus menjadi tempat yang adil dan aman bagi seluruh mahasiswanya. 

Refleksi Terhadap Universitas Brawijaya 

Beberapa kasus kekerasan seksual yang muncul ke permukaan lewat artikel yang diterbitkan oleh LPM Kavling 10 dengan judul “Petinggi Mahasiswa dan Gadis-Gadis yang ia ajak tidur” dan “Aktivis Kampus Kolektor Video dan Foto Perempuan,” perlu menjadi peringatan bagi seluruh sivitas akademika Universitas Brawijaya. 

Hal mendasar tentang apakah kampus kita sudah menyediakan ruang yang aman bagi mahasiswanya, perlu terus dipertanyakan. Dhia Al-Uyun menyampaikan bahwa selama tahun 2022 ini ia menerima 3 laporan formal sekaligus beberapa laporan non formal. Hal tentunya membuat kita harus lebih waspada. 

Meskipun demikian, mengacu pada Peraturan Rektor Nomor 70 yang dikeluarkan tahun 2020 lalu, Universitas Brawijaya (UB) membentuk Unit Layanan Terpadu Kekerasan Seksual dan Perundungan (ULTKSP) sebagai bentuk keseriusan kampus dalam menangani kasus kekerasan seksual dan perundungan. 

Dhia Al-Uyun menjelaskan bahwa Universitas Brawijaya sudah satu tahun lebih awal (ditinjau dari disahkannya Permenristekdikti No. 20 Tahun 2021, red) memiliki mekanisme yang jelas terkait dengan penanganan kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus. 

Sukma Nurmala juga menjelaskan bahwa, “Sebenarnya kalau mengaca di kampus kita (UB, red), itu juga sudah ada di Unit Layanan Terpadu Kekerasan Seksual dan Perundungan (ULTKSP). Setahu saya di Brawijaya, kalau kalian cek di websitenya Prasetya UB sudah ada 14 fakultas yang memiliki ULTKSP ini. Jadi ada sistem pelayanan dan penindakan yang berfungsi untuk menangani korban kekerasan seksual dan atau perundungan.” 

Selanjutnya, Sukma menambahkan bahwa UB juga menyediakan Layanan Konseling Mahasiswa jikalau mahasiswa merasa ragu untuk melapor langsung di ULTKSP.

Salah satu contoh wadah mahasiswa dapat melapor adalah melalui organisasi Girl Up Brawijaya. Di lingkungan UB sendiri, Girl Up mengaku belum mendapatkan laporan yang komprehensif terkait isu-isu kekerasan maupun pelecehan. Namun, sesuai dengan visi-misi serta fokus yang Girl Up miliki, Firza Putri, Vice President Girl Up Brawijaya mengatakan bahwa pihaknya siap untuk menjadi ruang aman bagi korban-korban kekerasan, pelecehan, hingga perundungan di lingkup universitas baik perempuan maupun laki-laki. 

“Girl Up menyediakan ruang aman bagi siapapun, gender apapun, dan dari golongan apapun. Siapapun kamu, kamu berhak mendapatkan ruang aman di Girl Up karena Girl Up menentang segala bentuk hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan, perundungan dan sebagainya,” Ujar Firza pada wawancara dengan Tim Perspektif (19/04). 

Firza juga menyatakan bahwa Girl Up Brawijaya siap untuk bergerak bersama korban nantinya apabila terdapat kasus kekerasan dan pelecehan di lingkup Universitas Brawijaya.

“Bersama organisasi serupa, dan bekerja sama dengan ULTKSP, Girl Up siap menjadi ruang aman dan turut andil dalam hal seperti ini. Seratus persen, Girl Up akan melindungi korban, menjadi mediator atau istilahnya perantara buat korban untuk mendapatkan ruang aman tersebut. Dari pelaporan, pendampingan, dan pemulihan istilahnya kita bisa turut andil dalam memperjuangkan hak-hak korban,” jelasnya.

Firza kemudian mengingatkan kepada siapapun korban yang mengalami kekerasan, perundungan, hingga pelecehan seksual untuk tidak perlu ragu untuk bersuara atas kejahatan yang dialami karena banyak hukum dan organisasi yang bervisi-misi serupa di lingkungan kampus yang siap menampung dan melindungi korban nantinya. 

Meskipun demikian, selain menunggu korban untuk bersuara, seluruh sivitas akademika kampus perlu terus berkomitmen untuk serius dalam menangani kasus kekerasan seksual. Selain itu, menunjukkan support terhadap korban ataupun penyintas juga penting untuk dilakukan agar mereka bisa lebih cepat terbebas dari situasi-situasi yang menekan mereka. (tnl/laa/pii/gra)

(Visited 249 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?