Sebagian besar hal di dunia ini terbagi menjadi serba dua, seperti wanita-pria; suami-istri; baik-buruk; hingga susah-gembira. Dari pembagian tersebut, kebanyakan manusia berebut menjadi gembira dan menolak menjadi susah. Alasannya sederhana, gembira itu menyenangkan, sedangkan susah itu menyakitkan. Dalam bidang psikologis, dua hal berlawanan ini lazim disebut dengan emosi. ‘Kamus Serba Tahu’, Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknai emosi sebagai keadaan dan reaksi psikologis sekaligus fisiologis yang meliputi kesedihan; kegembiraan; kecintaan; dan keharuan. Misalnya saja saat seseorang mendapatkan hal yang telah diinginkannya sejak lama, maka ia cenderung akan memberikan reaksi secara psikologis yang berupa gembira di dalam hatinya, lalu secara fisiologis ia akan bereaksi dengan tertawa; meloncat kegirangan; memeluk seseorang; dan sejenisnya.
Tak ada masalah dalam jenis emosi seperti gembira, sebab yang menjadi masalah adalah jenis emosi yang sebaliknya. Ketika seseorang hatinya disakiti, maka kecenderungan reaksi psikologis yang dilakukan adalah bersedih atau bahkan marah. Sementara reaksi secara fisiologisnya biasanya berupa menangis; mengurung diri; mogok makan; hingga ada beberapa yang nekat melakukan bunuh diri. Dua kondisi yang berlawanan ini disebut oleh Safaria & Saputra (2009) dalam Manajemen Emosi sebagai emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif didefinisikan sebagai setiap emosi yang memberikan dampak menenangkan atau menyenangkan, sedangkan emosi negatif diartikan sebagai setiap emosi yang memberikan dampak menyusahkan atau tidak menyenangkan.
Pada dasarnya, baik emosi positif maupun negatif sama-sama memberikan dampak yang tidak baik jika dilakukan secara berlebihan atau melampaui batas. Misalnya saja saking senangnya, akhirnya mengajak teman-teman untuk pesta minuman keras dan sejenisnya. Namun kemungkinan dampak yang tidak baik untuk emosi positif memang relatif kecil. Berbeda dengan dampak dari emosi negatif yang memang cenderung tertuju pada hal-hal yang berbahaya, mulai dari menyakiti diri sendiri hingga menyakiti orang lain. Oleh sebab itu, dibutuhkan kemampuan untuk mengelola emosi yang oleh Safaria & Saputra dinamai dengan istilah manajemen emosi.
Mengamini pendapat Safaria & Saputra, Daniel Goleman (1996) dalam Emotional Intelligence mengungkapkan bahwa kemampuan mengelola emosi dibutuhkan untuk mengatasi emosi secara mandiri agar emosi terekspresikan dengan tepat. Artinya, setiap emosi yang diekspresikan oleh manusia tersalurkan dengan tidak berlebihan, pas sesuai porsinya. Menangis karena sedih boleh-boleh saja, tetapi tidak dengan menangis seharian penuh hingga kehabisan air mata. Menangis karena ditinggak pergi kekasih hati sah-sah saja, namun tidak dengan menangisinya tak henti-henti seolah hanya dia sumber kesedihan dan kebahagiaan. Ada banyak cara mengelola emosi negatif itu dengan cara yang lebih kreatif, satu di antaranya adalah dengan cara menulis. Istilah kekiniannya adalah writing is therapy.
Menulis menjadi satu di antara cara meluapkan emosi negatif yang ‘aman’⸻selain kreatif. Biasanya, seseorang malu untuk mengungkapkan kesedihannya dengan menangis di hadapan orang banyak lantaran sang kekasih mengkhianatinya habis-habisan. Bisa jadi juga ia takut ekspresi kesedihannya dengan cara menangis akan membuatnya dianggap lemah, mudah putus asa, dan tak mampu menyelesaikan masalah. Namun malu dan rasa takut tersebut dapat dikelola secara kreatif menjadi sebuah tulisan. Karya tulis tak akan membuatnya malu atau
takut, sebab menghasilkan karya adalah sebuah kebanggaan. Menulis juga menjadi cara yang ampuh untuk menyembunyikan emosi negatif dari orang banyak (jika memang tulisannya tidak ingin dibaca orang), sebab hanya penulis sendiri yang mengetahuinya.
Pertanyaan selanjutnya, menulis apa yang bisa mengelola emosi negatif dengan baik? Bukankah jenis tulisan sangat beragam?
Menulis Apa?
Sebelum media sosial sangat populer seperti saat ini, kegiatan menulis sebagai ruang ekspresi lazim disalurkan melalui buku diary, tempat menyampaikan pengalaman hidup sehari-hari dengan memanfaatkan kekuatan sihir deretan kata-kata. Kini, buku diary mulai tergantikan posisinya oleh fleksibilitas media sosial. Mulai dari buku muka, burung biru, insta kilogram, hingga status di aplikasi apa menjadi wadah generasi milenial untuk meluapkan ekspresinya sehari-hari. Menulis sebagai terapi emosi negatif memang dapat dimulai dari pelbagai pilihan
media sosial yang telah disebutkan. Jika ingin menjadi lebih kreatif dan selektif, maka bisa ditingkatkan dengan menulis quote; puisi; cerita pendek; novel, atau sebuah laporan khusus tentang peristiwa tertentu.
Menulis kumpulan quote sebagai ungkapan lain dari menangis telah dicontohkan oleh Brian Khrisna pada tahun 2016 saat menghasilkan sebuah karya yang berjudul Merayakan Kehilangan. Di dalam pengantarnya, Brian Khrisna mengungkapkan bahwa pada suatu waktu ia memang benar-benar ingin menangis dan berteriak lantang kepada dunia, hingga akhirnya ia memutuskan untuk menulis. Ia juga memberikan saran menarik bahwa hanya gegara masa lalu tidak sesuai dengan yang diingini, tidak berarti masa depan juga akan ikut menjadi suram. Satu di antara quote-nya⸻yang ia sebut sebagai sajak, namun menurut saya lebih cocok disebut sebagai quote⸻yaitu “Tak ada waktu yang cepat untuk dapat melupakan seseorang yang pernah selalu ada. Kau hanya bisa berusaha mengurangi rasa rindu itu perlahan setiap harinya hingga pada akhirnya tidak ada lagi rindu yang tersisa” (halaman
22).
Ada juga yang dapat menulis puisi sebagai jenis karya sastra yang paling padat sekaligus ekspresif dari jenis karya-karya sastra yang lain. Harapannya, puisi dapat mewakili kegelisahan emosional setiap insan yang belum menemui wadah penyaluran atau pengungkapan. Sebut saja seperti penyair Joko Pinurbo yang menulis kumpulan puisi dengan judul Kekasihku pada tahun 2004. Salah satu cuplikan puisi yang singkat, namun memikat adalah baris pertama Pacar Senja yang berbunyi Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai/Pantai sudah sepi dan tak akan ada yang peduli (halaman 1). Puisi dan terapi kesehatan mental bahkan secara khusus dipadukan secara ilmiah oleh dr. Arman Yurisaldi Saleh dengan sebutan Neuro-Poetry. Terobosan baru ini sekaligus membuka celah kerja sama antara dokter dan penyair.
Tak hanya quote dan puisi, mengelola emosi negatif juga dapat diekspresikan dengan menulis cerita pendek atau novel seperti yang telah dilakukan oleh Raditya Dika lewat Kambing Jantan; Manusia Setengah Salmon; Cinta Brontosaurus; hingga Komala Kumal. Novel-novel Raditya Dika sejatinya berkisah tentang keresahannya dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari percintaan yang kandas hingga ejekan yang tak mampu terbalas. Kabar baiknya, Raditya Dika mampu mengelola keresahan itu menjadi ide-ide kreatif yang berujung pada prestasi. Novel-novelnya difilmkan, menyutradarai film, hingga kini menjadi satu di antara youtuber kondang di Nusantara.
Akhir kata, semuanya adalah mengenai sudut pandang. Sebaik apapun sesuatu, jika sudut pandangnya buruk, tetap saja bernilai buruk. Seburuk apapun sesuatu, jika sudut pandangnya baik, tetap saja bernilai baik. Sebagaimana sebilah pisau yang akan menjadi alat penghabis nyawa di tangan seorang pembunuh dan juga menjadi alat penghasil makanan lezat di tangan seorang koki profesional. Pilihannya sederhana, ingin menjadi pembunuh atau koki?