Lompat ke konten

TAM

Ilustrator: Nabila Nur Fauzia Doviana
Oleh: Nabila Nur Fauzia Doviana*

A demon in Chinese myth.

He was greedy of eating and drinking, craving for money and property.

Ever gratifying his lusts, and making a grand display, he was insatiable, rapacious in his exactions.

He had no idea of calculating where he should stop

Kesadaran itu menghampirinya. Sama mengejutkannya seperti cuaca di sore itu yang tiba-tiba saja berawan dan berpetir. Ada saat-saat dimana sesuatu muncul ke permukaan saat kau menyadari bahwa dirimu sudah terlalu dalam tenggelam, ada saat-saat dimana rasa sakit menghampirimu setelah lukanya tergores untuk waktu yang lama.

Ia pernah berada di tingkat dimana ia merasa hampa atas segalanya.

Seorang iblis

Sebuah kalimat yang rancu.

Ia tidak pernah merasa seperti itu. Ia baik-baik saja, lebih dari itu ia merasa sangat baik. Ia memiliki segalanya, semua yang ia inginkan akan menghampirinya. Ia, pada awalnya—sebelum kesadaran itu datang, akan menganggap kalau hal itu terjadi karena ia memang ditakdirkan seperti itu; a social butterfly, all-rounder, pusat dunia. Apapun kau menyebutnya. Ia adalah kesempurnaan itu sendiri.

Aku baik-baik saja, aku masih sempurna.

Ia mengatakan itu berkali-kali, di benaknya. Kalimat itu berlarian kesana kemari hingga akhirnya kalimat itu memenuhi kepalanya, memadat, dan membuat pandangannya mengabur.

Tangannya masih gemetar, kali ini disertai dengan tawanya yang menggema di ruangan itu. Setelah dua puluh tahun ia akhirnya kembali merasakan sensasi itu. Dahulu, gemetar itu menandakan kalau ia telah gagal dalam menyikapi suatu hal, kalau ia telah meruntuhkan titian yang sedang ia bangun untuk mencapai kesempurnaan. Dahulu, gemetar itu akan diiringi dengan wajahnya yang membiru, atau bagian tubuhnya yang patah.

Namun, akhir-akhir ini gemetar itu selalu diiringi dengan tawanya, dan ketidakberdayaan manusia lain dihadapannya. Ia mengusap cairan lengket yang menuruni dahinya, meninggalkan noda merah yang acak disekitar wajahnya.

Peluhnya bercucuran dan membuat potongan rambut cepaknya semakin lepek. Ruangan itu pengap dan gelap. Satu-satunya sumber cahaya adalah dari ventilasi yang berada tepat di belakangnya. Lembar-lembar kertas putih berserakan dimana-mana, beberapa telah berubah menjadi merah, dan beberapa lagi bahkan sudah hancur dalam genangan merah yang mulai membanjiri ruangan itu—cairan itu bergerak secara perlahan, seakan-akan memastikan tak ada satu inci pun permukaan yang terlewat.

Ia pernah melihatnya. Pemandangan yang jelas-jelas sama seperti itu. Pemandangan pertamanya. Ia pernah melihat yang lain. Namun citra mereka tak sama, suasana mereka tak sama. Dan inilah kali pertamanya ia merasakan sesuatu yang begitu sama—duplikat sempurna dari pemandangan pertamanya.

Ia kembali tertawa sebelum akhirnya mendudukan diri di meja kerjanya, ia teringat dengan awal dari semuanya. Teringat kembali dengan setitik demi setitik luka yang membentuknya, sehelai demi sehelai rasa sakit yang menenunnya menjadi sosoknya yang sekarang. Dan teringat kembali dengan kalimat seorang pria tua yang kebetulan terikat hubungan darah dengannya.

Kau harus menyingkirkan parasit

Jangan kasihani mereka

Kita lah yang harus dikasihani

Ayahnya tertawa hari itu, layaknya tawanya yang menggema hari ini. Dan perempuan yang tergeletak dihadapannya hari ini adalah perwujudan sempurna dari ketidakberdayaan ibunya hari itu.

Ia dibentuk dengan rasa haus, ia dibentuk dengan keinginan yang tak pernah bisa terpuaskan, ia dibentuk dengan segala tuntutan dan kebutuhan. Ia menyukai perasaan yang ia dapatkan ketika berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan, menyukai perasaan ketika orang-orang memujanya, menyukai ketika ia berhasil memanfaatkan parasit-parasit disekitarnya, menyukai ketika orang-orang justru bersimpati padanya.

Dan ia bersembunyi di balik fakta itu. Wanita itu yang menyadarkannya, beberapa jam yang lalu, sembari berteriak dan melemparkan semua bukti kelicikannya selama ini.

Kau menjijikan

Wanita itu pintar, ia tidak seperti parasit lain yang menghampiri kehidupannya dan menyetujui setiap perkataannya tanpa berpikir panjang. Wanita itu sedikit memacu adrenalin dalam dirinya, dan membuatnya menebak-nebak apa akhir yang cocok bagi parasit spesialnya itu.

Wanita itu tiba-tiba saja mendatanginya beberapa jam yang lalu. Melemparkan berlembar-lembar kertas itu tepat ke arahnya. Dan memakinya, mengatakan kalau ia tak lebih dari sekedar parasit menjijikan yang memanfaatkan semua orang disekitarnya demi mendapatkan apa yang ia mau.

Untuk sesaat ia memperhatikan lembaran-lembaran itu. Beberapa terlalu kecil untuk ia baca dan beberapa lagi bahkan sangat jelas hingga ia tak butuh dua kali untuk mengetahui apa isi kertas tersebut; Perdagangan anak dibawah umur, penerimaan suap, penggelapan dana, perselingkuhan, pelecehan.

TAM. Kau representasi sempurna dari mitologi favoritmu itu.

Dan ia menyadarinya, kalau masih ada celah dari kesempurnaannya. Dan celah itu adalah perempuan dihadapannya. Ia lengah, tanpa ia sadari ia menciptakan sendiri celah itu. Ia terlena, dengan perangai perempuan itu. Itu diluar kesadarannya, ketika ia menceritakan banyak hal mengenai dirinya. Itu adalah kali pertamanya ia merasakan sebuah perasaan yang berbeda.

Ia membutuhkan perempuan itu.

Tidak, ia membutuhkan kesempurnaan yang ada di diri perempuan itu

Ia lagi-lagi terkekeh, kekehannya tersendat-sendat dan seakan mencekik tenggorokannya sendiri. Ia benci sebuah celah. Ia benci bagaimana celah tersebut terbuka lebar dan menganga diantara mereka. Wanita itu sudah bukan lagi sosok sempurna yang ia impikan, ia gagal menciptakan kesempurnaan dari wanita itu.

Lagi-lagi sebuah ingatan menghampiri benaknya, mengingatkannya kembali tentang siapa mereka sebenarnya, tentang sudah seberapa jauh ia terlena akan sebuah perasaan semu yang menguasai dirinya selama beberapa lama.

Kau tahu apa itu TAM, nak?

Sebuah mitologi mengenai Iblis yang haus akan segalanya?

Tidak, tidak. TAM bukanlah Iblis, ia hanya sebuah parasit. Orang-orang disekitar kita adalah TAM, nak. Mereka haus akan segala hal yang ada dalam dirimu.

Apa yang harus dilakukan pada sebuah celah? Sebuah kelemahan? Sebuah ketidaksempurnaan? Tentu saja menutupinya, itu adalah hal yang ia lakukan. Dengan begitu, ia menyeret perempuan itu. Ia masih bisa mendengar rintihan tertahan dan pekikan dari perempuan itu, dan ia menyukainya.

Ia menyukai bagaimana tubuh perempuan itu terjerembab di lantai dingin ruangan pribadinya. Dan ia menyukai bagaimana iris hitam perempuan itu diliputi oleh kabut ketakutan, serta bibir merahnya yang membisikan kalimat-kalimat permohonan. Dan ia menyukai suara tercekat dari tenggorokan perempuan itu dan bagaimana celah sepanjang sepuluh senti tergores di leher jenjang perempuan itu—memberikan sebuah kecacatan di leher putih perempuan itu yang sempurna.

Ia tersenyum kecut, menyapu rambut hitamnya ke belakang, sebelum akhirnya membisikan sesuatu. Sebuah kesadaran, sebuah keyakinan, bukan untuk orang lain tapi untuk dirinya sendiri. Ia berbisik ke arah kehampaan, ke arah udara berdebu yang mengelilingi mereka.

“Kau salah ayah, bukan mereka TAM-nya, bukan mereka parasitnya. Itu Kita

(Visited 104 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Tahun 2020. Saat ini aktif sebagai anggota Divisi Sastra LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?