Begitu banyak wadah dalam menuangkan pikiran dan perasaan, tak terkecuali tulisan. Sebagaimana kita ketahui bersama, tulisan pun terdiri dari beragam bentuk dan jenis, salah satunya puisi. Jika kita cek Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), puisi berarti “ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait”. Namun, menurut saya, definisi ini ‘ditantang’ oleh perkembangan zaman dan arus teknologi informasi dewasa ini. Puisi-puisi tak lagi lahir hanya dari mesin ketik dan terbatas pada harmonisnya irama, kepaduan rima, atau rapinya bait. Dalam platform yang begitu beragamnya, karya puisi mengejawantah berbagai bentuk: divisualisasikan dengan gambar, termaktub dalam takarir, teruntai dalam utas cuitan, dan lain sebagainya.
Berdasarkan pengamatan saya pribadi, kreator dan karya puisi ‘jenis baru’ tersebut cukup banyak digandrungi. Sebut saja Fiersa Besari, yang berhasil menelurkan buku pertamanya, Garis Waktu (2016) dari tulisan-tulisannya yang berceceran di media sosial Twitter dan Instagram. Ada pula Nadhiffa Allya Tsana, yang melejit lewat berbagai karya di bawah nama pena Rintik Sedu, bahkan sempat berkolaborasi dengan Sapardi Djoko Damono melalui buku kumpulan puisi Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang (2020). Keduanya hanya contoh dari sekian banyak kreator dan karya serupa yang berlalu lalang di era sekarang, di mana media sosial dapat dibilang menjadi motor utama dalam dinamikanya.
Seiring dengan banyaknya wadah berkarya (plus jayanya kreator yang berkarya melalui wadah tersebut), wajar apabila seseorang tergerak untuk melakukan hal yang sama. Platform yang menyediakan fitur-fitur variatif, dan sumber inspirasi yang bisa datang dari mana saja, rasanya cukup untuk menjadi elemen pendukung seseorang untuk mulai menulis puisi. Modal utamanya tentu saja pengalaman pahit keinginan yang cukup besar, dan rasa tidak malu—apabila ‘keberanian’ dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan.
Sayang seribu sayang, tunas-tunas penyair muda tanah air Indonesia kerap kali patah sebelum bertumbuh. Penyebabnya bisa beragam, semisal kurangnya elemen pendukung dan modal utama seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Namun, yang saya pribadi sering temui adalah ketakutan terhadap cringe culture, ketika apapun yang kita lakukan akan dengan mudahnya dilabeli orang lain sebagai sesuatu yang menggelikan, termasuk berpuisi.
Entah ihwalnya dari mana, banyak orang yang belajar berpuisi tiba-tiba menjadi sasaran warganet julid untuk distigmatisasi dan diberi berbagai pelabelan pilu. Dugaan saya, fenomena ini merupakan efek domino dari peyorasi kata indie. Indie, yang berarti independen, sejatinya merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan aktivitas musisi yang bergerak mandiri, tidak terikat label besar, dan biasanya menjadi alternatif dari musik populer di pasaran. Namun, beberapa tahun belakangan, indie cenderung dipahami sebagai genre musik yang ‘spesial’ dan ‘harusnya-lebih-dikenal-masyarakat-menggantikan-musik-Tiktok-yang-tidak-berkualitas-itu’. Lebih lagi, banyak lirik lagu musisi indie yang memang puitis dan kaya akan gaya bahasa. Tak ayal, unsur-unsur seperti senja, kopi, dan semesta seringkali diasosiasikan dengan lagu-lagu musisi indie. Apabila pendengarnya kebetulan seseorang yang menggemari kegiatan alam bebas, berambut gondrong, dan kedapatan sering menulis puisi, niscaya lengkap sudah stigma indie yang akan melekat kepadanya.
Saya paham betul bahwasanya menikmati karya adalah perkara selera, yang mana perbedaan sudah pasti ada di antara manusia satu dengan yang lainnya. Terlepas dari oknum penikmat karya musisi indie yang banyak bercakap fafifu wasweswos dalam mengunggulkan karya idolanya, cukup disayangkan ketika terjadi stigmatisasi lebih lanjut kepada orang-orang yang tengah belajar berpuisi. Menurut saya, biarlah percakapan dalam konteks musik tersebut menjadi diskursus tersendiri, tak turut menyeret mereka yang berusaha berkembang dengan mengotak-atik sajak.
Sebab, seperti kata Pak Sapardi dalam buku Bilang Begini Maksudnya Begitu, puisi adalah mahkota bahasa, dalam artian hasil yang dicapai jika seseorang mampu bermain-main dengan bahasanya. Bagi saya sendiri, puisi menjadi medium yang efektif dalam mengekspresikan diri, terlebih ketika tak ada telinga yang cukup sabar mendengar acaknya pemikiran yang mencuat di tengah malam. Dalam untaian kata yang barangkali berbeda-beda penafsirannya, seseorang dapat menjadikan puisi sebagai obat penenang dari hal-hal yang memicu kegelisahan, seperti suara sumbang mereka yang tak sudi melihat orang lain berkembang.
Oh ya, saya memiliki kesadaran penuh bahwasanya sastra—termasuk puisi—adalah suatu disiplin ilmu yang patut disadari keberadaannya. Di dalamnya, tentu terdapat kajian yang membedah puisi secara ketat (baik dari aspek linguistik maupun aspek lainnya), dengan contoh keluaran berupa kritik. Selama tidak berada dalam lingkup keilmuan tersebut, saya rasa akan ada baiknya jika banyak apresiasi yang diberikan kepada penyair-penyair pemula, bukan stigma atau cemoohan yang justru meredakan semangat berkarya.
Sebagai penutup, izinkan saya mengutip perkataan kondang Pramoedya Ananta Toer soal menulis: “Suaramu tak akan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari”. Bagi kita yang kerap merisaukan pendapat orang lain mengenai puisi yang kita tulis, saatnya bergandengan tangan dan meyakini bahwasanya hal tersebut tak lebih bernilai dari suara yang akan tetap terdengar di hari-hari nanti. Sekali lagi, persetan dengan stigma senja-senji kopa-kopi inda-indie, mari tetap berpuisi!