Sudah hampir dua tahun Covid-19 mewabah di Indonesia. Pandemi ini pun masih belum menemukan titik terang kapan akan berakhir, terlebih korban meninggal dunia juga semakin meningkat dari hari ke hari. Banyak evaluasi selama satu tahun kebelakang, namun yang juga perlu untuk dipandang serius adalah persoalan lingkungan yang terjadi akibat pandemi virus corona. Kebanyakan masalah lingkungan terjadi akibat bertambahnya angka limbah medis. Tingginya pasien terjangkit virus, berbanding lurus dengan angka kenaikan limbah medis. Hal ini terjadi lantaran adanya himbauan untuk memakai masker dan alat pelindung diri (APD) pada masa pandemi. Meski pemerintah telah mengeluarkan himbauan untuk menggunakan masker kain agar dapat dikenakan berkali-kali, namun pada kenyataanya kebijakan tersebut belum mampu menekan angka limbah medis yang tinggi.
Persoalan pandemi dan lingkungan memang menjadi dua masalah besar yang harus diselesaikan tanpa mengesampingkan salah satunya. Selama masa pandemi, tidak hanya rumah sakit yang menghasilkan limbah medis. Masyarakat secara umum juga turut menyumbang limbah medis. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mencatat pertambahan limbah medis sebanyak 30% sampai 50%. Per Oktober 2020, jumlah limbah medis di Indonesia sebesar 1.662,75 ton. Angka tersebut berasal dari 2.852 rumah sakit, 9.909 puskesmas, 8.841 klinik, serta limbah rumah tangga dan perorangan lain.
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Ahli Lingkungan Indonesia (IESA) Lina Tri Mugi Astuti, melalui tirto.id (1/4) menyampaikan dari 2.852 rumah sakit hanya 96 yang memiliki insenator, ditambah lagi sebagian sudah tidak layak pakai. Kabar tersebut semakin memperburuk keadaan, karena semakin banyak rumah sakit yang tidak mampu mengatasi limbah medisnya sendiri.
Jenis limbah medis yang sering ditemui di masyarakat antara lain masker medis, sarung tangan, hazmat, jas hujan, face shield, perban, tisu, bahkan alat suntik dan set infus. Dari berbagai limbah medis tersebut, semuanya merupakan jenis limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Kementerian kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), secara khusus memberikan pedoman pengelolaan limbah medis B3. Limbah medis harus dimasukkan ke dalam tempat khusus dan dipindahkan dengan kendaraan khusus. Namun pada praktiknya, masih terdapat banyak pelanggaran prosedur, di antaranya temuan limbah medis di Teluk Jakarta, di tempat pembuangan akhir (TPA) Bakung Bandar Lampung, dan TPA lainnya.
Limbah medis memiliki sifat infeksius, yang artinya dapat menginfeksi orang lain. Dewi Adhitya (2019) menyampaikan, dalam hal ini orang-orang yang berisiko terinfeksi dari limbah medis di antaranya: petugas kesehatan, pasien, petugas kebersihan, petugas pembuangan limbah, masyarakat di area pembuangan limbah, serta lingkungan secara umum.
Regulasi terkait penanganan limbah medis tertulis melalui Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor Se.2/menlhk/pslb3/plb.3/3/2020. Aturan tersebut mengatur terkait penanganan limbah yang berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan serta dari limbah rumah tangga. Penanganan limbah medis pada fasilitas kesehatan seharusnya dimusnahkan dengan incinerator bersuhu minimal 800 derajat celcius. Sedangkan penanganan melalui rumah tangga dapat dilakukan dengan memilah sampah, serta merobek atau memotong masker sekali pakai.
Meningkatnya jumlah limbah medis berbanding lurus dengan dampak yang dihadapi, baik oleh masyarakat maupun lingkungan. Dampak langsung yang membahayakan mungkin bisa dirasakan dari limbah medis berupa benda tajam, seperti jarum suntik. Jarum suntik bekas biasanya dihasilkan dari rumah sakit atau puskesmas. Jarum suntik bekas tak jarang dibuang sembarangan yang dampaknya bagi manusia dapat menyebabkan Tetanus jika jarum tersebut berkarat. Selain itu dapat menyebabkan infeksi lain seperti HIV, Hepatitis B, Hepatitis C, dan virus menular lain. Sementara limbah rumah sakit lain juga dapat menyebabkan penyakit Kolera, Tifoid, Malaria, dan Penyakit kulit.
Dampak lain juga dapat dirasakan oleh binatang. Limbah medis tajam bisa melukai binatang yang menginjaknya. Selain itu, limbah lain seperti masker juga bisa mengganggu dan melukai binatang. Beberapa kasus menunjukkan adanya binatang yang terlilit masker medis, tak jarang juga binatang memakan masker tersebut. Dampak terburuknya adalah binatang tersebut bisa mati jika tidak ditangani dengan cepat. Secara umum, limbah medis juga dapat merenggut habitat binatang.
Seperti disampaikan oleh George Leonard, seorang ilmuwan dari Ocean Conservancy dalam South China Morning Post (6/2/21), “Kebanyakan masker memiliki tali untuk dikaitkan ke telinga. Itu menjadi bahaya bagi ikan, penyu, dan burung laut karena bisa melilit. Sarung tangan medis juga dapat disalahartikan oleh binatang seperti penyu sebagai makanannya.”
Dampak lain dari limbah medis dapat terjadi pada ekosistem alam, seperti sungai, tanah, dan udara. Limbah medis bisa mencemari sungai dan merusak tanah, terlebih lagi limbah medis bisa menimbulkan bahan kimia berbahaya lain. Asap hasil pembakaran limbah medis juga dapat mencemari udara. Pencemaran air, tanah, dan udara selanjutnya juga dapat berdampak kepada aktivitas masyarakat seperti pertanian.
Beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh masyarakat awam dalam mengurangi masalah limbah medis di antaranya adalah: mengenakan masker kain, memotong masker medis, serta memilah sampah medis dan rumah tangga. Memotong masker medis selain dapat mengurangi resiko lingkungan, juga dapat menghindari penyalahgunaan oleh pihak tertentu, mengingat kebutuhan masker di masyarakat saat ini masih terus akan meningkat.