Lompat ke konten

Berikan Gelar Profesor Kehormatan untuk Megawati, Integritas Kampus Diuji

Kritis- Dosen UPN Veteran Jakarta, Sri Lestari Wahyoeningroem, menyampaikan materi tentang polemik pengangkatan Megawati Soekarnoputri sebagai Profesor Kehormatan Unhan (PERSPEKTIF/Adam)

Malang, PERSPEKTIF ­Kaukus Indonesia Untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menggelar diskusi publik yang bertajuk “Masihkah Kampus Kita Berintegritas?” yang digelar secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting dan disiarkan secara langsung di kanal Youtube KIKA pada Senin (28/6) malam.

Pada diskusi ini dihadiri oleh tiga pemantik, yaitu Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Abdil Mughis Mudhofir; Guru Besar Universitas Padjadjaran (Unpad), Arief Anshory Yusuf; serta Dosen Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Sri Lestari Wahyuningroem. Sedangkan satu pemateri lain yang dijadwalkan hadir, Dosen UNJ, Ubedillah Badrun, berhalangan hadir. 

Pertanyaan tentang keraguan integritas kampus di Indonesia merupakan hal yang mendasari terselenggaranya diskusi publik ini. Polemik terkait pengangkatan Megawati Soekarnoputri sebagai Profesor Kehormatan Universitas Pertahanan (Unhan) turut menjadi fokus pada forum diskusi kali ini.

Dosen UPN Veteran Jakarta, Sri Lestari Wahyuningroem, mengatakan bahwa pengangkatan Megawati merupakan sebuah bentuk inkonsistensi pemerintah dalam memberikan gelar Profesor Kehormatan, setelah sebelumnya pemerintah pernah menyatakan untuk tidak mengakui gelar tersebut kepada Rhoma Irama. Sri Lestari juga menegaskan bahwa profesor itu bukanlah sebuah gelar, melainkan jabatan akademis di universitas.

“Seseorang dapat diangkat menjadi jabatan akademik profesor jika memiliki gelar akademik tertinggi dan punya tugas untuk membimbing calon doktor, menulis buku dan karya ilmiah, serta menyebarkan gagasan yang mencerahkan masyarakat. Setelah diangkat menjadi profesor bukan berarti berhenti menulis dan meneliti. Namun, akan menjadi kewajiban,” ungkapnya.

Hubungan antara jabatan politik dengan gelar akademik universitas tentunya berdampak pada kualitas akademik di Indonesia. Guru Besar Unpad, Arief Anshory Yusuf mengatakan bahwa Indonesia menempati posisi kedua di dunia sebagai negara yang paling banyak mempublikasi jurnal ‘abal-abal’. Sekitar 16.73% artikel Indonesia merupakan artikel yang dipublikasikan di jurnal tak berindeks.

Dengan fakta tersebut, Arief mengatakan bahwa setidaknya ada empat penyebab terkait rendahnya publikasi karya ilmiah di Indonesia, yaitu rendahnya anggaran riset, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), sistem insentif peneliti yang tidak optimal, dan manajemen perguruan tinggi yang sentralistik.

Pada akhirnya, dengan tegas Abdil Mughis Mudhofir menyimpulkan sekaligus menegaskan bahwa jawaban dari pertanyaan Masihkah kampus kita berintegritas? adalah “tidak”. Ketika membicarakan mengenai integritas sebuah kampus di Indonesia, beliau menyoroti dari sudut pandang filosofis dasar mengapa kampus harus ada.

Ia dengan tegas memberikan pernyataan bahwa ketika kampus justru menjadi lembaga yang berfungsi untuk memenuhi kepentingan negara dan elit ekonomi, maka sebuah kampus akan berada di posisi “tentakel birokrasi”. Tentunya, hal tersebut tidak sesuai dengan tujuan awal didirikannya sebuah kampus sebagai lembaga yang memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan dan kebenaran yang akan berdampak pada integritas kampus itu sendiri.

“Fungsi mendasar dari didirikannya kampus adalah sebagai lembaga untuk mencari kebenaran dan menyampaikannya, memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan untuk kepentingan umum, dan melayani kepentingan publik,” pungkas Abdil. (mam/laa/mim)

(Visited 105 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?