Malang, PERSPEKTIF – Kekerasan seksual menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dapat didefinisikan sebagai segala bentuk perilaku baik verbal maupun non-verbal yang berkonotasi seksual dan dikehendaki secara sepihak. Berdasarkan Catatan Tahunan 2020 Komnas Perempuan, kekerasan seksual yang dialami perempuan pada tahun 2019 mencapai angka 4896 kasus dengan rincian 2807 kasus terjadi di ranah personal dan 2089 kasus terjadi di ranah publik/komunitas.
Wida Ayu Puspitosari, Dosen Gender Studies Sosiologi Universitas Brawijaya (UB) menjelaskan bahwa fenomena kekerasan seksual dapat dialami oleh siapa saja dan dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia bagaikan fenomena gunung es, karena jumlah sebenarnya tidak diketahui secara pasti akibat banyaknya korban yang memilih untuk tidak melaporkan kekerasan yang terjadi pada dirinya.
“Kekerasan seksual ini karena adanya ketimpangan relasi antara korban dan pelaku. Saya tidak mengatakan laki-laki dan perempuan ya, karena yang namanya korban itu bisa siapa saja,” jelasnya.
Hal ini juga disepakati oleh Yuyun Riani, dosen Ilmu Komunikasi UB yang menjelaskan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, terdapat kelompok yang rentan menjadi korban yaitu pada perempuan dan anak-anak.
Korban dan Penilaian Masyarakat
Insky Johana Sheren Rottie, mahasiswa Ilmu Komunikasi UB 2019 mengungkapkan bahwa melekatnya budaya patriarki di masyarakat menjadi faktor mengapa perempuan sering menjadi korban kekerasan seksual.
“Ini tuh terikat dan terkunci budaya yang menganggap perempuan itu lemah, sungkan, jadi perempuan tidak bisa mendominasi. Ini menjadikan korban kekerasan seksual kebanyakakan adalah perempuan,” ungkapnya.
Sementara itu, Wida mengatakan bahwa kebanyakan korban perempuan terjadi akibat adanya normalisasi terkait kekerasan seksual dan budaya patriarki yang ada di masyarakat Indonesia.
“Karena dalam budaya patriarki seperti di tempat kita, laki-laki apabila dikatakan sebagai korban kekerasan itu sifatnya tabu, walaupun mereka juga berpotensi menjadi korban. Itu juga hal yang serius yang perlu kita perhatikan. Jangankan laki-laki, perempuan saja pada lingkungan kita banyak yang tidak lapor,” ujarnya.
Normalisasi kekerasan seksual yang ada di masyarakat juga dapat memunculkan sentimen yang menyalahkan korban,
“Sentimen yang muncul biasanya adalah menyalahkan korban. Belum lagi dibumbui dengan norma agama dan moral budaya yang sifatnya mengekang. Jadi mulai dari masyarakat sendiri lalu didukung dengan media, didukung dengan standar moral, didukung lagi dengan norma agama,” jelasnya saat diwawancara daring via Zoom Meeting (13/8).
Ia juga menambahkan bahwa kondisi mayarakat Indonesia yang menganggap seksualitas adalah hal yang tabu dibicarakan di ranah publik membuat fenomena kekerasan seksual semakin sering terjadi. Padahal, seksualitas merupakan hal yang lumrah dan perlu dipahami oleh setiap orang. Pilihan untuk tidak membicarakan di depan umum, terbuka dan secara intelektual menjadikannya semakin tabu, meskipun semakin seksualitas dianggap tabu, maka akan semakin banyak manusia yang kehilangan kemerdekaan atas tubuhnya.
Menurut Yuyun, media menjadi salah satu unsur yang membentuk pandangan yang beredar di masyarakat. Media massa memiliki jangkauan yang masif sehingga audiens bisa terpapar berkali-kali. Informasi tersebut kemudian akan terlihat pada perilaku. Misalnya, stigma penyalahan terhadap korban yang didukung dengan headline berita yang menunjukkan tone negatif bagi korban.
“Misalnya karena judul menarik perhatian, justru menjadikan perempuan digambarkan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual,” ucapnya.
Jalan Terjal Penghapusan Kekerasan Seksual
Rancangan Undamg-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sendiri berawal dari usulan Komnas Perempuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait dasar hukum kekerasan seksual pada tahun 2012. Selama empat tahun diusulkan, RUU ini akhirnya diterima pada Program Legislasi Nasional Prioritas 2016. Tetapi hingga saat ini, pembahasan di DPR masih belum menghasilkan titik terang. Terakhir, DPR malah mencabut RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020.
Hal ini dianggap sebagai kemunduran. Wida menyatakan bahwa ketika kekerasan seksual semakin marak, urgensi RUU PKS ini sejalan dalam memberikan keadilan terhadap korban kekerasan seksual.
“Kalau ada landasan hukum itu enak, tinggal bikin implementasinya seperti apa, advokasi, penanganan, rehabilitasi, traumatic healing-nya seperti apa begitu. Kalau selama ini tidak ada hukumnya jadi banyak orang menormalisasi itu, karena dia merasa tidak terjerat hukum. RUU ini juga bisa memberikan semacam kesadaran kolektif kepada masyarakat kita bahwa yang sifatnya kekerasan seksual itu serius, tidak main-main. Pengajaran untuk bisa mengerti kalau kita berperilaku dengan orang koridornya seperti apa agar kita tidak dilecehkan oleh seseorang juga dijelaskan di RUU ini,” pungkasnya.
Salah satu mahasiswa Fakultas Hukum 2016, Chusnus Tsuroyya, menyatakan bahwa kenaikan jumlah kasus kekerasan seksual pada 2020 menjadi salah satu tanda bahwa pengesahan RUU PKS menjadi hal yang penting untuk dilakukan, sehingga perlakuan pemerintah terhadap RUU PKS ini harus dikawal dengan serius. (mth/rns)