Cerita pendek ini terinspirasi dari tulisan dan pengalaman ibu saya.
Menikmati sore di taman kota, di pojok jalan thamrin, jakarta pusat yang selalu ramai. Alunan musik sejenak membius telinga dan pikiran ku. Hampir setiap hari, aku menghabiskan waktu di kedai kopi ini hanya untuk menunggu kemacetan ibu kota terurai.
Jakarta, tempat dimana kepentingan seringkali berbenturan, jalanan yang padat, serta tempat orang-orang yang tergesa-gesa berkumpul. Untuk aku yang tinggal dipinggiran ibu kota, lebih baik untuk berhenti sejanak sebelum saya berjuang untuk pulang. Lampu-lampu taman mulai menyala, jakarta menjadi kota yang penuh cahaya saat malam, the city of light katanya. “ what im to you” karya Norah Jones tiba-tiba saja membuatku lupa untuk kembali pulang.
Jam menunjukan pukul 10.00 malam. Bayangan tempat tidur yang nyaman sudah menggangguku, saatnya untuk pulang. Kepadatan ibu kota nampaknya sudah berkurang, menembus jalan kota dengan mengemudi dengan hati- hati di malam yang gerimis.
Sebagai ibu kota negara, Jakarta menjadi magnet yang menarik banyak orang dari seluruh Indonesia untuk datang dan mempertaruhkan nasibnya. Jakarta menawarkan keagungan dan kesedihan dalam setiap bagiannya. Aku bukan orang yang suka memperolok-olokan keadaan, tetapi setiap hari aku melihat banyak orang yang berjuang demi mendapatkan 1 rupiah untuk bertahan hidup, ketika orang lain menghabiskan berjuta-juta rupiah hanya untuk ketiadaan.
Kemacetan yang gila, banjir tahunan, polusi, dan kepadatan populasi itulah Jakarta. Media-media yang mencari rating, mengais- ngais berita tak penting. Informasi bertebaran tidak tau kebohongan atau kebenaran, sampai-sampai yang jelas saja bisa menjadi bias. Itulah hiruk pikuk jakarta. Berpegang teguh pada diri sendiri adalah kunci untuk bertahan di rimba ibu kota.
Jakarta yang bising, aku tinggalkan, kota yang paling aku cintai, tempat memberiku kesempatan, mengejar impianku, meningkatkan kualitas hidup sebagai manusia, mengajariku bagaimana bertahan hidup tanpa kehilangan kemanusiaanku.
aku tinggal di pinggiran kota Jakarta, di tempat yang tenang dan damai. Di sebuah rumah kecil,penuh dengan orang yang penuh kasih dan perhatian. Dan sekarang hampir tengah malam, aku masih duduk di halaman belakang rumah, dikelilingi oleh bunga-bunga ibu yang sedang mekar, menghirup aroma mawar yang samar, aku menikmati saat ini dan aku merasa sangat beruntung.