Lompat ke konten

Malam Hari Medi

Ilustrator : Sari Rimayanti

Oleh : Kendita Agustin*

Malam sudah tiba, komplek sudah sepi saat jam 8 malam, dasar perumahan. Orangnya banyak yang individu.  Udara dingin menyambut saat masuk ke kamar mandi untuk cuci muka. Udara dingin yang menerpa musim kemarau ini masih saja menggigilkan diri. Masuk kamar dengan segala skincare yang siap menerpa wajah. Semoga berkhasiat ya.
Naik ranjang, pasang bantal leher, oh lupa, nyalakan kipas dahulu. Hehe iya, udara dingin tapi tetap menyalakan kipas. Ia butuh suaranya kawan bukan udaranya. Toh selimut tetap mengahangatkannya. Selimut berwarna biru dengan motif disney frozen itu pemberian budhe nya dan berhasil menghangatkan sekali.

Sudah, bantal leher terpasang, skincare sudah ditempatnya, ambil earphone lalu buka aplikasi pemutar musik. Gratis atau premium? Entahlah, pokoknya dia mendengarkan musik yang menenangkan katanya. Halah. Haha benar kawan musik bisa menenangkan. Menemani saat sepi malam. Asik. Sinyal wifi sungguh stabil karena ditempatkan dikamarnya pas. Enak sekali. Efeknya bisa tidur subuh tidak habis-habis main ponsel.  Sudah menempatkan diri dengan nyaman, buka sosial media.

Ia, bernama Medi, sudah menjadi kebiasaan buruknya sebelum tidur harus mengecek ponsel dan segala isinya. Entah hanya untuk berswa foto atau berselancar ke akun-akun media sosialnya. Sudah hampir 10 tahun ia mengenal namanya internet. Facebook dibikinkan kakak sepupunya saat SD kelas 6 tapi hanya untuk bermain game facebook. Langganan ke warnet untuk main game online dandan-dandanan. Sekarang berubah, dia sudah paham penggunaan media sosial sesuai aplikasinya.  Baru saja membuka aplikasi pemamer foto dan membuka bundaran yang berisi foto pemilik akun. Sebuah tulisan panjang “Ah, curhat soal tugasnya” gumam Medi. Membuatnya mengingat tugas yang belum dia kerjakan. Paling-paling dikerjakan esoknya malam hari. Dasar.

Menggeser ia ke teman SMA nya. Semakin panjang tulisannya.  Sebuah curhatan soal hubungannya dengan sang mantan. Membahas karma dan sulitnya hubungan jarak jauh. Ya, Medi sangat paham akan sulitnya itu. Mendengar bagaimana teman-temannya bercerita soal pacaranya yang tidak menghubungi sama sekali. Membalas lama bahkan membatalkan janji bertemu di kota perantauan, sudah habis dilahap Medi dari cerita teman-temannya. Senang dia bisa mendengarkan. Asal tahu saja dia lebih suka mendengar ketimbang bercerita.  Tutup ia aplikasi Insta itu, membuka dia media sosial berlogo burung biru. Lebih banyak tulisan. Dipencetnya tombol love untuk sebuah cuplikan teaser film, sebuah teaser kembalinya idola kesukaannya, rupanya foto untuk album.

“Gantengnya” ucapnya dalam hati tapi wajahnya sumringah. Kemudian menekan tombol retweet untuk utas teori kembalinya idola. Haha. Sudah bosan, kembali lagi ke insta. Kali ini second account. Ah bosan isinya sama. Kembali ke first account. Kembali melihat story. Kali ini berupa foto liburan yang terlihat mewah. Fotonya di hotel dengan menu makan malam nya. Dengan pacarnya. Ah rupanya anniversary. “Selamat kawan semoga langgeng” ucap Medi.

Lagi, sebelahnya, kalimat soal pertengkarannya dengan pacar. Dia terlihat terpukul. “Ingin putus tapi tidak bisa” kalimat selanjutnya. Kenapa? Pikir Medi. Aduh, lagu potret berjudul mungkin sedang terputar di playlist Medi. Mungkin itu jawabannya. Kemudian satu kalimat dari cerita lainnya “hanya butuh kau datang” Medi termenung. “Siapa?” Ungkapnya dalam monolog. Mengenal ia pemilik akunnya. Teman yang lumayan dekat dengannya. Apa ada yang salah? Pikirnya. Pikirannya melayang, beberapa hari lalu teringat bagaimana temannya itu bercerita soal orang yang hanya datang ketika butuh. Bercerita secara menggebu dan bersemangat dengan penuh emosi. Medi hanya mengangguk-angguk dan tentunya mencerna sambil memakan nasi pecelnya.

Kemudian ini percakapan yang berbeda di hari yang sama. Soal temannya yang tidak mengajak jalan-jalan tapi mengajak lainnya. Ehmm, iya, dia tahu dari instastory.

“Mungkin dia bingung” balas Medi membuat temannya itu berhenti mengoceh, “maksudmu?”

“Kamu kan kadang terkesan tidak ingin diganggu, jadi dia bingung kapan mau mengajakmu main dan kapan untuk tidak mengajakmu main”

“Hah?!”
“Iya kan?”

“Tapi aku santai-santai saja, mau mengajakku main atau tidak, toh aku akan ikut dengan senang hati”
“Atau ketika mereka mengajakmu main, kamu selalu menolak jadi mereka lelah mengajakmu dan menganggap kamu tidak mau diganggu”
“Tapi..”
“Benar?”

Sedikit berpikir teman Medi itu. “Iya bisa jadi aku tidak menyadarinya” wajah teman Medi itu nampak murung. “Bicara saja,” ucap Medi lalu pergi.

Beberapa hari kemudian ia mendengar bahwa mereka sudah menyelesaikan kesalahpahaman masing-masing dari mereka. Nice.

Medi buyar dari ingatan itu ketika melihat seorang wanita paruh baya, yakni iubunya memperingatkan dirinya untuk meletakkan ponsel dan segera tidur. Gadis 20 tahun itu hanya meringis “hehe iya sebentar” kemudian terkaget karena lampu dimatikan tiba-tiba. Ya, dinyalakan lagi sih akhirnya.

Lanjut ke aplikasi pemutar video, youtube. Beberapa rekomendasi video menantinya, mulai dari sekedar video lucu, video penampilan idolanya, video dangdutan  hasil pencarian ayahnya, video cara memelihara ikan cupang dan memandikan kura-kura hasil pencarian adiknya, hingga video serius bahasan negara. Mengintip sebentar Medi ke trending youtube. Bmm ada bahasan ikan asin yang nangkring. Heran.

Hal yang harusnya privasi jadi konten publik. Dampaknya panjang. Sampai ranah hukum dan psikologi seseorang. Orang-orang ini kenapa ya? Hmm ada lagi trending prank katanya. Eh ada soal squisy-squisy digunting-gunting. Sayang sekali padahal mahal. Penontonnya banyak sekali. Berjuta-juta. Itu orang semua? Pikir Medi.

Setelah menonton beberapa video yang membuatnya tertawa dalam diam, Medi memutuskan menutup semua media sosial dan melihat jam di ponselnya. HEEH?! Sudah pukul 2 pagi. Gilaaa. Sudah-sudah besok harus berangkat pagi ke terminal. Kembali ke perantauan.

Medi baru sampai kosan pukul 18:00 setelah dua kelas ia lalui dan beberapa perdebatan soal tugas dengan temannya. Pembagian tugas yang sudah adil tapi pengerjaannya sangat tidak adil. Apa-apaan dia harus mengerjakan bersama satu teman lainnya saja. Kan sudah dibagi. “Kurasa mereka cukup dewasa untuk tahu kewajiban kampus kan?” omel Medi kepada satu temannya. “Apa kita terlalu ambis?” Medi bertanya disambut tawa temannya. “Bukaaan, itu kewajiban masing-masing mahasiswa,” balas temannya.

“Yasudah”

Medi mengambil ponsel, membuka aplikasi pemamer foto. Ditariknya layar ke kiri menampilkan story. Diketiknya sesuatu. “Sungguh tidak dewasa…”. Sebentar, Medi jadi ikut-ikutan begitu? Tidak boleh. Bicarakan pelan-pelan saja,.

“Secara langsung?” pikir Medi.

“Harusnya, susah? Ya iyalah”

Setidaknya untuk saat ini tidak menimbulkan asumsi dari orang yang bukan dituju.

Yah, berkecamuk deh pikiran Medi.

Penulis MERUPAKAN MAHASISWa ilmu komunikasi 2016, UNIVERSITAS BRAWIJAYA. saat ini aktif di divisi sastra lpm perspektif

(Visited 141 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?