Oleh : Rinto Leonardo Siahaan*
Belum lama ini kita disibukkan dengan kebingungan dari artis muda, Maudy Ayunda. Sebagai pembaca Marx, Maudy bingung memilih masuk Harvard atau Stanford. Berbeda dengan kita jenis mahasiswa yang jadi budak proker, notabene malah bingung bagaimana mengerjakan skripsi yang cepat, agar cepat wisuda. Bagaimana tidak, wisuda adalah langkah seseorang untuk mendapatkan pekerjaan dan dianggap sebagai orang yang mapan dalam pendidikan. Begitulah konstruksinya.
Siapa juga yang tak mau lulus cepat, IPK 4.00, dan hal terbaik dari semuanya adalah fresh graduate yang langsung diterima lamaran pekerjaannya? Wisuda hari-hari ini mengalami sebuah degradasi makna. Zaman ibu bapak saya dulu, wisuda sangat jarang dilakukan dan pesertanya pun sedikit. Berbeda pada zaman sekarang, dalam sebulan kadang ada dua sampai tiga kali wisuda dengan peserta sampai seribuan orang.
Perayaan wisuda, acap kali hanya penghamburan uang. Bagaimana tidak, acara yang dianggap sakral dan pasti diunggah ke sosial media ini, melibatkan banyak pihak, salah satunya tukang rias dan tukang foto. Berapa banyak uang yang kamu habiskan demi terlihat cantik atau tampan di acara wisuda? Berapa banyak uang yang kamu habiskan untuk beli bunga ataupun menyewa jasa fotografi agar foto itu bisa diunggah ataupun dipajang di rumahmu? Wisuda berubah dari sakral menjadi ajang berfoya-foya ataupun ajang pamer. Apalagi acaranya yang mirip kondangan pernikahan di sakri-sakri kampus, memakai kebaya, atau kemeja berdasi agar terlihat elegan. Saya bertanya-tanya ini wisuda kampus negeri kenapa bersifat jawa-sentris? Bukan bermaksud primordial, kenapa kita tidak dibebaskan memakai pakaian adat masing-masing, meskipun pakaian adatnya terbuka auratnya. Tak ada masalah, toh? Sesekali wisuda jadi seperti festival budaya.
Tidak sampai disitu, ada ironi lain yang muncul saat wisuda, yaitu nilai atau predikat apa yang kamu dapat. Ada apa dengan nilai dan predikat? Wisudaan hanya jadi ajang pamer. Wisudawan/wisudawati dikatakan sebagai sarjana terbaik jika IPK-nya mendekati 4.00. Kenapa tolak ukur sarjana terbaik harus nilai? Kenapa tidak seberapa progresif dia di kampus? Seberapa banyak dia membaca buku? Seberapa sering dia melakukan pemberdayaan masyarakat? Atau, seberapa tebal skripsinya? Ya, karena kampus tak perlu itu semua. Kampus perlu kamu menaikkan akreditasinya dengan nilai dan lulusmu yang cepat, dari akreditasi program studi hingga akreditasi universitas.
Institusi pendidikan hari ini hanya berfokus pada bagaimana mahasiswa setelah lulus menjadi pekerja, dan memperluas pasar sumber daya manusia terdidik. Apalagi dengan slogan, “Sebagai sarjana berhentilah mencari kerja, tapi harus membuat lapangan pekerjaan baru”. Slogan ini menciptakan konstruksi pikiran mahasiswa untuk berorientasi pada kerja. Giroux dalam America on the Edge: Henry Giroux on Politics, Culture and Education mengatakan dalam pendidikan tugasnya tidak hanya memberikan mahasiswanya soft skill untuk masuk dalam dunia kerja, mahasiswa juga harus mampu memperjuangkan kehidupan dan memberikan kontribusi kongkret dalam menghadapi hegemoni.
Namun, sejauh ini yang paling dekat dengan wisuda adalah pengangguran. Persoalan klasik yang sangat dekat dengan wisuda ataupun sarjana muda, siapa yang tak mau dapat pekerjaan setelah lulus dan berhenti menyusahkan orangtuanya. Menurut data Badan Pusat Statistik, rentang Februari 2017 sampai Februari 2018, penganggruan dari lulusan universitas naik dari 5,18% menjadi 6,31%. Berbeda dengan data tersebut, Kemenristekdikti mencatat ada sekitar 630.000 sarjana yang menganggur di tahun 2018. Sangat miris melihat data tersebut. Institusi pendidikan yang mendorong seorang mahasiswa untuk mengejar kelulusan, hanya menghantarkan sarjananya ke pintu pengangguran. Ini bukan hanya tanggung jawab pribadi, atau kesalahan mahasiswa, ini diakibatkan oleh bobroknya sistem pendidikan itu sendiri. Karena mahasiswa dituntut dengan segala standar kampus, seperti; lulus jangan sampai lewat lima atau tujuh tahun, kalau bisa ya 3,5 tahun saja. Belum lagi UKT yang mahal.
Ibu saya pernah cerita tentang anak dari temannya, yang lulus 3,6 tahun dan meraih cumlaude dengan IPK 3,8. Yang membuat miris adalah seorang dengan hal seperti itu ternyata tidak menjaminnya untuk mendapat pekerjaan, apalagi sarjana hukum yang ramai mahasiswanya, dan pasti banyak orang Bataknya. Menarik ke belakang dari permasalahan ini, dari awal mendapat gelar mahasiswa kita tidak diberikan paradigma kritis tentang bagaimana realitas dari sistem pendidikan hari ini, sampai bagaimana dunia kerja itu. Di dalam kampus kita hanya memaknai kampus sebagai loncatan menuju dunia kerja, ya melalui ijazah. Belum lagi disiplin ilmu yang diminati oleh banyak mahasiswa pasti marketable, atau berorientasi pada pasar. Jurusanmu hadir hanya untuk memuaskan kampus akan uang masuk yang kau bayarkan tiap semester. Setelah itu, kamu yang harus mikirin dirimu sendiri. Setelah masuk kamu hanya akan disibukkan dengan tugas dan tugas. Tidak ada salahnya dengan tugas, tapi tugas-tugas itu sudah berubah orientasinya. Ia tidak lagi menjadi penguji apakah kamu memahami ilmu yang kamu pelajari di kelas. Tugas menjelma menjadi sesuatu yang tak begitu penting, yang penting selesai dan setelahnya di kelas kamu tidak tahu-menahu tentang ilmunya.
Hahaha, sangat miris dan bobroknya sistem pendidikan hari ini, khususnya perlombaan wisuda ini. Kalau saya pragmatis saja, belajar terus, kerjakan tugas, siapkan proposal magang dan skripsi, seminar, wisuda, berfoto dengan kerabat dan keluarga, cari kerja di job fair atau google, bisa juga hubungi senior satu organisasi, mentok-mentok kalau tidak dapat, ya kerja di bank atau daftar CPNS. Kerja, cari pasangan, beli rumah, kerja untuk menghidupi keluarga, dan gak perlu menghabiskan waktu sekian menit untuk membaca tulisan ini, yang sama sekali tidak membantu saya mendapatkan pekerjaan. Ya begitu, lantas bagaimana? Ah sudalah! Saya mau garap proposal dulu, kalau tak cepat lulus uang kuliah saya siapa yang bayar?!
penulis merupakan Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UB Angkatan 2016