Malang, PERSPEKTIF – Beberapa bulan terakhir perhatian masyarakat Indonesia tengah berfokus pada badan legislatif negara. Hal ini tak lain karena Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah merevisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) serta munculnya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Terkait UU MD3, masyarakat menganggap kemunculannya sebagai ancaman terhadap kebebasan publik dalam berekspresi dan mengemukakan pendapat. Terlebih lagi, revisi UU MD3 yang telah disepakati oleh DPR RI pada 13 Maret 2018 tersebut akan otomatis disahkan meski tanpa tanda tangan Presiden Joko Widodo. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 73 ayat 2 UU No 12 Tahun 2011.
Pada revisi UU MD3, terdapat tiga pasal yang dinilai publik akan membatasi kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat, yaitu pasal 73 yang mengatur tentang pemanggilan paksa, pasal 122 tentang kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), serta pasal 245 mengatur tentang hak imunitas anggota dewan. Pasal 73 ayat (5) misalnya, dijelaskan bahwa “Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 30 (tiga puluh) Hari sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Begitu juga dengan pasal 122 huruf K tentang MKD, “Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas: mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.”
Fajar Shodiq Ramadlan, dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya (UB), menilai pasal dalam UU MD3 multi tafsir dan merupakan sebuah upaya untuk menakuti seseorang dalam mengkritik pemerintah. “Soal pengistilahan merendahkan kehormatan DPR itu juga jadi problem bahkan pengamat pun, kalau di televisi sekalipun pendapatnya kemudian ditafsirkan merendahkan, ya dia bisa ditangkap dong,” ujarnya kepada Perspektif (5/3).
Ia menambahkan bahwa pasal tersebut merupakan upaya agar masyarakat takut mengkritik pemerintah. “Itu orang dibuat takut mengritik, itu kan sebenarnya. Untuk mengkritik pemerintah, rakyat dibuat takut untuk mengkritik,” tambahnya.
Kemudian pasal 245 ayat (1) yang mengatur imunitas anggota dewan. Fajar menilai, ketentuan tersebut akan memperpanjang aspek birokrasi. “Pasal 245 itu juga dikritik, pemeriksaan anggota DPR harus melalui pertimbangan mahkamah kehormatan dewan sebelum dilimpahkan ke presiden untuk kemudian izin bagi aparat penegak hukum, pasal 245 ini memperpanjang alur birokrasi”.
Adanya pasal yang memberikan batasan berekspresi tersebut dianggap Fajar tidak hanya untuk membuat masyarakat takut untuk mengkritik pemerintah. Ia juga mengatakan hal ini merupakan upaya untuk menghilangkan citra buruk DPR. Menurutnya, dengan menghadirkan pasal karet justru akan memperburuk citra DPR di mata masyarakat.
“Seharusnya bukan kemudian citra buruk DPR itu dihilangkan dengan mengontrol pendapat soal DPR, tetapi juga ini soal kinerja dan pribadi-pribadi anggota DPR. Bukan kemudian membuat pasal tanda kutip pasal karet itu gitu,” tegasnya.
Berbeda dengan Fajar, Ibnu Asqori Pohan yang juga dosen Ilmu Politik UB, lebih menyoroti sikap anggota DPR yang nampak tak memiliki kepekaan atas aspirasi rakyat yang ia wakili. Pohan memandang, selain tidak adanya kepekaan dari DPR, pasal yang direvisi tersebut punya motif tersendiri. “DPR RI dari sisi kepercayaan turun di mata publik. Disatu sisi disaat yang bersamaan mereka juga mengimunkan diri mereka sendiri, menebalkan posisi diri mereka dalam konteks institusi. Yang paling parahnya mereka sebagai anggota,” ungkap Pohan saat ditemui Perspektif (26/2).
Terlepas dari pembelaan DPR yang menyatakan pasal tersebut sebagai upaya untuk menjaga kehormatan mereka, secara hukum pun ketentuan di dalamnya bertentangan dengan Mahkamah Konstitusi.
“Di mana penyidikan terhadap persoalan, seperti kriminal, yang dilakukan oleh DPR RI baru bisa dilakukan setelah persetujuan presiden. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Mahkamah Konstitusi,” tambah Pohan.
Jazim Hamidi, Kepala Bidang Penelitian Fakultas Hukum UB menyatakan bahwa dengan adanya pembatasan demokrasi melalui UU MD3 menurutnya tidak sesuai dengan spirit reformasi. “Adanya pembatasan ini tidak sesuai dengan spirit reformasi, misalkan tentang kedudukan MPR, DPR DPD dan DPRD, nah menurut saya DPD harus dikembalikan dengan spirit perwakilan golongan dan organisasi profesi yang secara proposional sesuai dengan potensi yang dimilikinya,” ungkap Hamidi pada (11/3).
Pria yang berprofesi sebagai dosen Hukum Tata Negara ini turut menyinggung di era reformasi saat ini, patisipasi masyarakat serta transparansi keterbukaan sangatlah mutlak. “Partisipasi masyarakat itu ditempatkan seperti tukang jam. Pada saat jamnya rusak maka tukang jam dibutuhkan. Padahal yang namanya partisipasi masyarakat itu tidak hanya pada saat rekuitmen atau pilihan,” jelasnya.
Lain pula dengan Abdul Hakim, Ketua DPRD Kota Malang yang saat ini menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), saat ditemui di Kantor DPRD (14/3). Ia menjelaskan bahwa dalam fungsi dan penggunaan UU antara DPR dan DPRD terdapat perbedaan. “Jadi fungsi DPR, DPRD ini ada tiga, sebagai legislasi, kalo di pusat buat Undang-Undang, kalo di daerah membuat Perda, fungsi budgeting membuat anggaran dan pegawasan. Jadi hanya tiga ini. Teman-teman juga harus memahami bahwa DPRD tidak menggunakan UU MD3 ini,” ujarnya pada (14/3).
Ia juga beranggapan bahwa banyak orang selalu menganggap DPRD memiliki peran dan juga menggunakan Undang-Undang yang sama dengan DPR.
“Banyak temen-temen mahasiswa kalau demo ke sini kemarIn ada yang marah-marah, dikira kita ini nggak peka, nggak ini, ya memang bukan ranah kita, itu ranahnya DPR RI,” tambah Abdul.
Terkait pandangannya terhadap upaya penolakan MD3, Abdul menyatakan bahwa ia menyetujui aksi demo yang dilakukan oleh mahasiswa. Namun, Ia tidak bisa berbuat lebih karena menurutnya untuk merevisi MD3 bukan wewenang DPRD.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
Selain UU MD3, pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang telah usai sejak 2017 lalu turut mendapat sorotan dari berbagai pihak. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa pasal yang dikhawatirkan akan mengancam partisipasi aktif masyarakat dalam demokrasi dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Mulai dari pasal 263-264 yang mengatur ancaman pidana bagi siapa saja yang menghina presiden dan wakil presiden, dugaan makar dalam pasal 87, 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140, pasal 309 yang mengatur pemidanaan terhadap penyebar berita bohong dengan mengakibatkan kekacauan di masyarakat, serta pasal 284 yang mengatur perzinahan.
Pasal perzinahan, yang tertuang dalam pasal 284 ayat (1) huruf (e) disebutkan bahwa tindak perzinahan adalah “Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.” Berkaitan dengan hal ini, Jazim Hamidi beranggapan bahwa pasal zina tersebut menyisakan persoalan. Terdapat penyempitan makna atas zina yang sebelumnya didominasi pemaknaannya oleh kelompok kepentingan saat itu dan menggunakan paradigma berpikir globalisme, kapitalisme dan liberalisme.
“Didalam KUHP zina itu didefinisikan oleh kelompok kepentingan pada waktu itu. Yaitu yang ditandai oleh paradigma berpikir kapitalisme, globalisme dan liberalisme. Mereka memisahkan antara urusan dunia dengan urusan agama, sehingga zina mengalami penyempitan makna.” Ujar Jazim.
Tak jauh berbeda, Ibnu Asqori Pohan juga menjelaskan kekhawatirannya akan jeratan pasal zina terhadap masyarakat pedesaan yang tak memiliki dokumen pernikahan.
“Bisa mengancam (red: pasal zina) pasangan-pasangan khususnya mereka yang menikah tanpa pengadilan agama atau bisa dikatakan tanpa adanya surat nikah. Karena kan, di desa-desa kita, itu tidak begitu penting menikah dengan kantor agama atau adanya surat nikah. Dibanyak masyarakat kita, menikah secara siri kemudian dilakukan (hanya) dihadiri oleh para tetua desa, ustadz dan sebagainya kan sah, kalau secara agama,” jelas Pohan.
“Nah itu, salah satu kekhawatiran bagaimana nanti dengan mereka yang tidak mendapatkan atau memiliki surat. Mereka bisa di kriminalisasi dengan kata lain dengan sebutan berzina,” tambahnya.
Lain halnya lagi dengan pasal 263-264 tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Dilansir dari kompas.com edisi 4 Februari lalu, pasal tersebut, menurut Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice (ICJR) Erasmus Napitupulu akan berpotensi mengekang hak warga sipil dalam berekspresi.
“Sebelum RKUHP diketuk palu dan disahkan maka sebaiknya pasal-pasal mengenai lesse majeste yang akan mengekang hak-hak warga sipil dalam berekspresi dihapuskan. Agar pasal tersebut tidak dijadikan sebagai alat represi penguasa,” ujar Erasmus kepada Kompas.com pada Minggu (4/2).
Lain pula dengan pasal dugaan makar yang teruang dalam pasal 87, 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140. Pasal ini dinilai banyak pihak sebagai pasal karet, karena standar pemaknaan ‘makar’ sendiri tidak bisa dibakukan. Oleh karena itu, Fajar Shodiq Ramadlan juga menilai hal tersebut setidaknya hampir sama dengan kebijakan Security Act yang diterapkan di Malaysia.
”Pertama, titik tolaknya karena itu (red: pasal makar dalam RKUHP) ada pasal karet itu problematik. Yang kedua, ketika pasal karet itu digunakan untuk kepentingan-kepentingan rezim sama seperti menarik bandul ke arah kemunduran demokrasi,” jelasnya.
Lebih jauh ia memberikan perbandingan dengan National Security Act milik negara tetangga tersebut. Dalam penggunaannya, pasal ini akan berbahaya bagi demokrasi dan berpotensi terjadinya kasus ‘asal tangkap’.
“Undang-Undang semacam itu memang ada sesuatu yang mirip dengan Undang-Undang National Security Act Malaysia. National Security Act Malaysia itu, siapapun atau kelompok apa pun yang dianggap berpotensi berbahaya bagi negara itu bisa di tangkap. Lah yang memberi tafsir ini berbahaya atau tidak itu siapa,” jelas Fajar.
Pasal lainnya yang turut menjadi persolan adalah pasal 309 mengenai penyebaran berita bohong. Ketua Dewan Pers, Yosep Stanley Adi Prasetyo, seperti yang dilansir dari tempo.com, menilai hal ini harusnya berkoordinasi dengan Dewan Pers terlebih dahulu. Hal ini disampaikan saat rapat dengan panitia kerja pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Pers mengusulkan agar Pasal 771 dan 772 di bagian ketiga Tindak Pidana Penerbitan dan Pencetakan diubah dan dibuat hanya berlaku bagi non-pers. (dnt/ayu/miq/dmn)