Malang, PERSPEKTIF – Aksi solidaritas yang diikuti oleh elemen gabungan yang terdiri dari mantan buruh PT Indonesian Tobacco Malang, mahasiswa, dan masyarakat sipil kembali digelar pada Selasa (26/14) di depan Pengadilan Negeri Kota Malang.
Aksi ini digelar terkait dengan adanya penolakan kriminalisasi terhadap dua mantan buruh, Saiful dan Suliayati, yang dituduh melakukan penggelapan dana sosial di organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) pengurus unit kerja (PUK) PT Indonesian Tobacco.
Salah satu mantan buruh PT Indonesian Tobacco Sulistiyowati menjelaskan aksi ini ditujukan sebagai aksi solidaritas dua rekan kerjanya. Ia menyebut kriminalisasi ini terjadi karena adanya tuntutan para buruh terhadap perusahaan yang tidak memberikan hak-hak kepada buruh, seperti JHT, pesangon, hingga gaji empat bulan.
Sulistyowati juga mengungkapkan terjadinya penuntutan oleh buruh dimulai ketika perusahaan meminta beberapa buruh untuk bekerja di hari Sabtu. Padahal, pada hari itu sebagian besar aktivitas pabrik diliburkan. Sebanyak 12 buruh pun menuntut pihak perusahaan untuk menambah gaji, mengingat adanya kerja lembur di hari Sabtu.
“Harusnya kalau libur kan dibayar dua kali lipat, tapi gaji itu tidak dikasih oleh perusahaan. Orang 12 itu menuntut ke perusahaan, tapi mereka malah dikeluarkan. Ya, pastinya kita orang sepabrik bela mereka, akhirnya kita semua mogok kerja. Ternyata mogok kerja kita itu dipakai oleh mereka untuk senjata, buat nuntut kita balik,” ujar perempuan berkerudung itu.
Koordinator lapangan aksi dari Malang Corruption Watch (MCW) Fahrudin menjelaskan, kasus bermula dari proses pemberian upah oleh perusahaan tidak sesuai dengan perjanjian. Dari hal tersebut buruh kemudian melakukan aksi mogok kerja. Pihak buruh juga menuntut adanya kejelasan terkait dana Jaminan Hari Tua (JHT) yang tidak segera dibayarkan oleh perusahaan. Terkait dengan ini, Fahrudin mengungkapkan JHT seharusnya dikelola secara penuh oleh Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
Setelah mogok kerja itu, sebanyak 77 buruh dipanggil oleh perusahaan untuk menandatangani surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan mengirimkan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Fahrudin menerangkan gugatan yang dilakukan oleh perusahaan ke PHI tidak diterima seluruhnya.
“Pengadilan tidak menerima seluruhnya gugatan itu, karena memang kewenangan absolutenya ada pada PHI. Karena gugatan itu tidak diterima, perusahaan terus saja mencari kesalahan-kesalahan buruh, yang kemudian berujung pada adanya kriminalisasi itu,” paparnya. (shv/lkr)