Lompat ke konten

Kampung Warna-Warni Jodipan: Dahulu Dibanggakan, Kini Diacuhkan Pemerintah Kota

Kampung Warna Warni dari sudut jembatan kaca (PERSPEKTIF/Ferry)

Di tepi Kota Malang, tersembunyi di balik tembok-warni, terhampar suatu dunia yang tak hanya memikat mata, tetapi juga mengundang kita untuk meresapi kehidupan di setiap sapuan warna. Ini adalah kisah Kampung Warna-Warni Jodipan, terungkap melalui obrolan akrab dengan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang menjadi pelopor dan penjaga kehidupan di sini.

Ketika pertama menjajaki pintu masuk, ada sebuah kebenaran yang ingin diungkap, mitos sepi pengunjung yang menyelimuti kampung ini. Namun, ketika melangkah melalui lorong-lorong berwarna cerah, kita segera menyadari bahwa kampung ini adalah panggung bagi kisah hidup sehari-hari. Dengan ratusan pengunjung setiap harinya, kampung ini justru pulih dan berdenyut dengan kegiatan.

Tanpa Suntikan Dana Pemerintah

Salah satu spot Kampung Warna Warni (PERSPEKTIF/Ferry)

Di tengah alunan keberhasilan, sorotan masyarakat yang penuh kekaguman, dan panggilan dunia yang memeranjatkan, kehadiran bantuan pemerintah terasa begitu samar. Tempat-tempat wisata lain mungkin menikmati berlimpahnya suntikan dana miliaran, namun di kampung ini, pemeliharaan dan perawatan dilakukan secara mandiri. Kampung Warna-Warni bukanlah sekadar destinasi visual, melainkan bentuk ketangguhan yang melukiskan bahwa di balik keindahan yang kita saksikan, ada kegigihan merajut kehidupan tanpa bergantung pada derasnya bantuan.

Pasca awal pembangunannya, selama satu tahun Kampung Warna-Warni masih dibantu secara finansial oleh PT Inti Daya Guna Aneka Warna (Indana) dalam balutan program Corporate Social Responsibility (CSR). Di tahun-tahun berikutnya, pembiayaan perawatan dan pemeliharaan dihimpun dari jumlah tiket masuk yang terjual. Agus, selaku pihak Hubungan Masyarakat (Humas) Pokdarwis mengungkapkan besaran biaya yang harus ditanggung memakan jumlah yang besar.

“Tukang catnya itu per orang sehari ongkosnya 100 ribu, yang ngecat ada 6 orang. Hitungannya tiga bulan pengecatan kira-kira, ya sudah kelihatan biayanya sebesar apa. Catnya saja habis 12-15 juta,” ungkap Agus saat diwawancara pada Sabtu (30/9).

Meski biaya yang ditanggung begitu besar, pemerintah tampak acuh untuk memberikan bantuan perawatan dan pemeliharaan. Padahal, destinasi wisata Kampung Warna-Warni telah memiliki nama yang besar di kancah internasional. Pengunjung Warga Negara Asing (WNA) berdatangan dari hampir semua negara, mulai dari Asia, Eropa, Amerika Serikat, hingga Afrika. 

Sumber Kehidupan Warga Pinggiran

Warna warni rumah Kampung Jodipan (PERSPEKTIF/Ferry)

Dana yang dihasilkan dari gemerlap kehidupan di Kampung Warna-Warni bukan sekadar angka di neraca keuangan, melainkan sentuhan kemanusiaan yang menjalin kehidupan di kampung ini. Keajaiban pengelolaan dana terlihat dalam setiap sapuan kuas yang merawat warna-warni kampung. Dari ujung tembok hingga tikungan sungai, setiap senti tempat ini dikelilingi oleh warna yang tak hanya menjadi tanda keindahan visual, tetapi juga cermin dari kepedulian kolektif. 

Bagi masyarakat yang hidup di sana, Kampung Warna-Warni lebih dari sekadar destinasi wisata, melainkan sumber kehidupan. Lembar demi lembar tiket yang terjual disalurkan tidak hanya untuk perawatan dan pengecatan semata, tetapi juga kesejahteraan warga. Jumlah uang yang terkumpul digunakan untuk membayar biaya tarikan sampah dan retribusi lain, warga hanya perlu mentaati satu syarat: Dilarang membuang sampah sembarangan di sungai.

Pola kepedulian ini terus meluas ke aspek kesehatan. Bukan hanya keindahan fisik kampung yang dijaga, tetapi juga integritas kesehatan masyarakat.  Kampung Warna-Warni mendonorkan 500 ribu untuk biaya transport bagi masing-masing keluarga. Sementara itu, bagi warga yang meninggal, tergantung pada kemampuan ekonomi keluarga. 1-2 juta rupiah diberikan kepada keluarga yang berduka. Tidak hanya itu, kocek yang dikeluarkan oleh pengunjung untuk per tiketnya telah memberi rumah baru bagi rumah warga yang tidak layak huni. Pengurus Kampung Warna-Warni mengalokasikan sejumlah dana untuk bedah rumah. 

Panggilan untuk Kepedulian Pemerintah

Sudut rumah Kampung Warna Warni dari Jembatan (PERSPEKTIF/Ferry)

Dalam proses pembangunan dan pemeliharaan, seperti yang diungkapkan oleh Agus, merupakan cerita dari dua usaha yang berbeda. Meskipun membawa warna hidup, tantangan sejati terletak pada perawatan yang teliti untuk mempertahankan mahakarya hidup ini.

Salah satu pahlawan tak dikenal dalam usaha seni ini adalah pelukis lokal yang tergabung dalam sebuah komunitas. Mereka mengemban tugas untuk menambahkan lakaran-lakaran indah pada dinding kampung. Namun, upaya kreatif ini bukannya tanpa risiko. Atap-atap rumah warga perlu mereka jejali untuk memenuhi liuk lukisan yang dikerjakan. Ini bukan hanya sapuan kuas di dinding semata, ini adalah tarian dengan struktur yang menua, balet di atap yang bisikkan kisah dari masa lalu.

Di tengah sentuhan warna-warni dan bisikan sejarah, muncul suatu doa yaitu panggilan untuk kemurahan hati pemerintah. Pihak kampung menginginkan, bukan hanya dukungan finansial dari pemerintah kota, tetapi juga empati yang sejati yang melampaui nilai numerik dana. Harapannya bukan hanya bantuan keuangan, tetapi komitmen yang jelas saat pemerintah ingin mengakui kondisi Kampung Warna-Warni. Dengan pengikut Instagram yang mencapai puluhan ribu orang, permohonan ini terdengar keras dan jelas — bisakah pemerintah, dengan semua sumber daya yang dimilikinya, mengabaikan tempat budaya yang berwarna ini?

Jembatan kaca, lambang konektivitas yang dibangun selama tujuh tahun, menjadi saksi dari ketahanan komunitas. Namun, tampaknya tidak terlihat oleh entitas yang seharusnya menjadi pelindungnya.

“Pemerintah ini kami harapkan bisa membantu, bukan besarannya yang penting tetapi kepeduliannya bahwa pemerintah itu mengayomi dan mewadahi kegiatan Kampung Warna-Warni dan melindungi aset-asetnya. Kayak jembatan kaca itu. Tujuh tahun dibangun, untuk perawatannya pemerintah satupun tidak ada yang peduli, padahal kan ini rawan,” ujar Agus.

Pertanyaan muncul tentang perhatian selektif pemerintah, seringkali hanya muncul setelah malapetaka terjadi. Keselamatan jembatan kaca menjadi metafora untuk kerentanan desa. Mengapa pemerintah ragu untuk bertindak secara preventif? Pemerintah, menurut penuturan warga, tampaknya menjadi tuli bahkan ketika dihubungi secara langsung.

Dalam kain kanvas Kampung Warna-Warni, di mana setiap sapuan menceritakan sebuah kisah, penduduk desa menginginkan lebih dari sekadar warna di dinding. Mereka menginginkan pemerintah yang melihat, peduli, dan aktif berpartisipasi dalam melestarikan warisan budaya dan struktural sebuah desa yang telah menjadi mercusuar kreativitas dan ketahanan. (sr/fkm/fnh/gra)

(Visited 383 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?