Di sebuah hutan yang lebat, ada dua ekor hewan mungil yang saling bersahabat. Mereka adalah Silan dan Sidal. Silan adalah landak kecil yang imut sedangkan Sidal adalah seekor kadal dengan sikapnya yang dingin dan cuek.
Suatu hari, sebuah pesta di hutan diadakan. Silan dengan semangat mengajak Sidal untuk datang ke sana. Katanya, ada Pak Burung Hantu yang akan membawakan puisi. Pak Burung Hantu ini menjadi legenda penyair di seantero hutan. Tentu Silan si penggemar sastra sangat bersemangat dan menantikan pertunjukkan tersebut.
“Sidal! Besok ada pesta di hutan! Ayo kita lihat!” ajak Silan kepada Sidal.
Sidal yang tengah merapikan kayu-kayu kering di rumahnya langsung mengangguk. “Ya!” jawabnya.
Ajakan Silan memang tidak pernah ditolak oleh Sidal. Ia pasti akan mengangguk ketika landak kecil itu mengajaknya melakukan apapun, entah itu mencari air, mencari kayu kering, pergi ke rumah Tupai, atau kemanapun Silan ingin pergi. Hal inilah yang membuat mereka bersahabatan sejak lama.
Keesokan harinya, Sidal sudah datang menjemput Silan. Walaupun Silan masih meringkuk di tempat tidurnya, Sidal akan membangunkannya hingga Silan bangun dan menunggunya untuk mempersiapkan diri. Itulah yang membuat persahabatan mereka unik. Silan yang mengajak, tetapi Sidal yang menjemput, bahkan menunggu Silan bersiap-siap. Sidal tak keberatan, walaupun suka menggerutu pada akhirnya.
“Kau selalu belum siap saat aku datang Lan,” gerutu Sidal sembari makan buah yang ada di rumah Silan.
Silan hanya terkekeh. “Ayo, Dal!” Silan sudah siap dengan berbagai bawaannya. Ia juga membawa daun kering sebagai kertas untuk meminta tanda tangan Pak Burung Hantu. Mereka sungguh tak sabar menuju pesta.
Akhirnya mereka berdua berjalan menuju tengah hutan. Dalam setiap perjalannnya, Silan selalu menceritakan apapun. Ia bahkan bercerita mengenai ibunya yang akan datang pada akhir pekan setelah pergi ke rumah neneknya. Sidal menanggapi dengan anggukan. Ia lebih suka mendengarkan dan menimpali seperlunya.
Pesta kali ini sangat ramai. Silan dan Sidal bahkan takjub ketika hampir seluruh penduduk hutan datang, entah untuk berdagang makanan atau melihat pertunjukan yang ditampilkan. Di atas panggung yang terbuat dari bekas pohon yang ditebang, beberapa katak tengah melakukan tarian dengan serempak. Suara alunan musik dari perpaduan jangkrik, kumbang, dan hewan-hewan lainnya menjadikan pertunjukan sore itu kian meriah.
“Dal, haus. Ayo beli minum!” Silan menunjuk pada sebuah pedagang minum yang dijajakan oleh Bu Cici. Bu Cici ini memiliki air yang sangat segar karena mengambilnya langsung dari bawah tanah. Bu Cici adalah seekor cacing tua yang dermawan.
“Ya!” jawab Sidal mengikuti langkah Silan menuju dagangan Bu Cici.
Setelah masing-masing dari mereka mendapatkan air minum yang menyegarkan, mereka kembali ke depan panggung untuk melihat Pak Burung Tua yang akan melakukan pertunjukan. Hari sudah semakin gelap. Para kunang-kunang melakukan tugasnya untuk menyorot panggung sekaligus menjadi cahaya untuk pertunjukan malam itu. Kian malam, pesta kian ramai. Banyak hewan dan serangga mulai berdatangan. Mungkin inilah yang dinamakan pasar malam ala hewan-hewan hutan. Tapi Silan menyebutnya sebagai Malam Sastra karena ada Pak Burung Hantu yang secara spesial hadir di acara ini.
“Sidal, Pak Burung Tua akan naik panggung!” Silan bersemangat.
“Iya, tak sabar menantikannya,” jawab Sidal lalu kembali fokus menatap panggung.
Pak Burung Tua naik ke atas panggung. Ia membawa daun kering yang mereka tahu adalah sebuah puisi yang ia tulis sendiri. Suaranya yang merdu dan sedikit serak mendominasi pesta pertunjukan yang tiba-tiba hening. Semua pengunjung nampak fokus mendengarkan puisi yang Pak Burung Hantu bacakan. Atmosfernya juga menjadi sendu kala puisi menyedihkan itu dialunkan dengan penuh perasaan. Satu tetes air mata Silan mengalir. “Puisinya mengharukan,” katanya.
Sidal mengangguk, menyetujui.
Setelah mendapatkan tanda tangan dari Pak Burung Hantu dan juga malam yang semakin larut, Silan dan Sidal akhirnya pulang. Mereka berpisah pada belokan hutan dekat batu-batu. “Dah, Sidal!” Silan melambaikan tangannya, mengucapkan salam perpisahan.
“Dah!” balas Sidal.
Saat Sidal hendak melanjutkan langkahnya, Silan berteriak memanggilnya lagi. “Sidal! Sidal!”
Kadal kecil itu berbalik. “Ada apa Lan?”
“Ayo besok pergi ke sungai! Keny bilang Bu Wader sudah menetaskan anak-anaknya!” Keny ini sejenis burung pembawa kabar di hutan.
“Ya!” jawab Sidal.
***
Keesokan harinya, sesuai perjanjian kemarin, Silan sudah berada di rumah Sidal. Kali ini Silan yang menghampiri karena jarak antara rumah Sidal dengan aliran sungai searah.
“Dal, tau nggak sih tadi aku mandi, eh kepeleset dong! Untung nggak kenapa-kenapa,” kata Silan mulai bercerita.
“Untung aja,” balas Sidal.
“Oh ya, Ibuku jadinya pulang lusa! Kalau dia bawa oleh-oleh ntar aku main ke rumahmu ya!”
Sidal mengangguk. “Main aja. Aku di rumah lusa.”
Perbincangan mereka berhenti ketika suara aliran air mulai terdengar. Mereka sudah dekat dengan sungai. Rumah Bu Wader terletak lima batuan dari batuan utama. Rumahnya di bawah bebatuan air.
“Bu Wader!” Silan menggoyang-goyangkan ranting pohon yang tertanam di air. “Bu Wader!” panggil Silan lagi.
Namun, yang keluar bukanlah Bu Wader, melainkan Pak Wader. Ia mengatakan bahwa Bu Wader sedang pergi mencari makan. Mereka kenal Bu Wader karena dulu pernah menolong mereka mengambil buah yang hanyut di sungai. Setelah hari itu, mereka menjadi dekat dengan wanita tersebut.
“Pak Wader, kemarin kata Keny, Bu Wader sudah menetaskan telurnya. Kami mau lihat anak-anaknya dong, Pak,” kata Silan dengan antusias.
Pak Wader nampak tersenyum bahagia. Di bawah air, Pak Wader mulai memanggil anak-anaknya yang baru menetas untuk muncul di permukaan, menyapa Silan dan Sidal yang datang menjenguk.
“Mereka lucu sekali Pak…” Silan terlihat gemas dengan ikan-ikan kecil yang berenang di air.
“Totalnya berapa Pak?” tanya Sidal.
“Belum dihitung sih. Mereka bergerak terus jadi susah.”
Mendengar jawaban tersebut sontak membuat mereka tertawa. Memang bayi-bayi ikan sangat gesit dan bergerak terus. Mungkin mereka sedang membiasakan diri untuk berenang di air.
Hari semakin sore, Silan dan Sidal akhirnya berpamitan pulang ketika Bu Wader datang. Mereka menyampaikan ucapan selamat kepada Bu Wader dan Pak Wader atas menetasnya anak-anak mereka. Mereka sungguh menggemaskan.
Di tengah perjalanan pulang, Silan tak berhentinya menceritakan begitu menggemaskan bayi-bayi Bu Wader dan Pak Wader. Sidal tetap mendengarkan dan menimpali sesekali.
“Dah, Dal!”
“Dah, Lan!” itu akhir dari perjalanan mereka hari ini. Di tengah jalan menuju rumahnya, Silan tak henti-hentinya tersenyum. Hari yang ia lalui dengan sahabatnya selalu terasa menyenangkan. Sidal adalah sahabat satu-satunya. Maka dari itu, ia sangat beruntung mendapatkan Sidal yang selalu mau menemaninya kapanpun dan dimanapun.
Namun, belum saja sampai rumah, Silan dikejutkan oleh suara-suara yang ada di dalam rumahnya. Silan mengintip, bersiap jika saja ada hewan lain yang mencuri atau mengambil barang-barang di rumahnya karena seharusnya rumah itu kosong. Ibunya masih di rumah Nenek sampai lusa.
Sebuah kayu kering sudah digenggam Silan kuat-kuat dan siap memukul siapapun yang ada di sana. Tangan Silan bergemetar, tetapi ia tetap memberanikan diri demi menjaga rumahnya dari maling.
“Siapa kamu?” teriak Silan dengan lantang. Dari remang-remang cahaya bulan, Silan dapat melihat sesosok hewan tengah mengambil makanan di dapurnya.
“Kamu mau maling ya!” seru Silan lagi sembari memukul hewan tersebut bertubi-tubi. “Rasakan kamu! Rasakan! Jangan maling di rumahku! Nanti kamu dimarahi Ibu!”
“Silan! Silan! Berhenti!” suara mengaduh itu terdengar familiar di telinga Silan. “Ini Ibu Nak!”
Saat itulah kayu kering di tangan Silan terjatuh. “Ibu?”
“Iya Nak, Ini Ibu!”
Silan menyipitkan matanya, benar saja. Ternyata Ibu yang ada di dalam rumah dan sedang merapikan beberapa buah. Silan langsung meminta maaf kepada Ibu. Untung saja punggung Ibu tidak apa-apa. Durinya juga tidak ada yang patah, syukurlah.
“Silan kira Ibu pulang lusa.”
Ibu mengangguk. “Memang niatnya lusa. Tapi Ibu ada urusan mendadak. Jadinya pulang tadi sore. Kamu barusan darimana?”
“Barusan pergi ke rumah Bu Wader Bu sama Sidal. Ia menetaskan banyak anak! Lucu-lucu sekali!”
“Oh ya? Akhirnya… Ibu turut senang. Masalahnya telur-telur yang kemarin kurang menetas dengan bagus karena musim dingin. Bu Wader pasti senang kalau menetaskan banyak anak!” sahut Ibu.
“Iya! Dia senang sekali. Pak Wader juga terus tersenyum melihat anak-anak mereka yang tak bisa berhenti berenang kesana-kemari.”
Malam itu Silan menceritakan banyak hal kepada sang Ibu untuk mengobati rasa rindunya. Ia juga menceritakan mengenai pesta hutan beberapa hari yang lalu saat bersama Sidal. Jika dipikir-pikir hampir semua cerita yang Silan katakan selalu ada Sidal di dalamnya. Ya, mereka seperti sahabat sejati.
“Nenekmu membuatkan pie. Besok bawakan untuk Sidal ya,” kata Ibu.
Silan mengangguk. Tak sabar memberikan pie buatan neneknya yang luar biasa enak kepada sahabatnya tersebut.
***
“Bu, Silan ke rumah Sidal ya!” Silan berpamitan kepada sang Ibu sembari membawa pie buatan neneknya yang akan diberikan kepada Sidal. Hatinya terasa senang sembari menyapa hewan-hewan lain yang ia temui di sepanjang jalan.
Namun, saat ia tiba di rumah Sidal, rumahnya tertutup dan kosong. Apakah Sidal sedang pergi?
“Kau mencari Sidal?” tanya Tita, tikus tanah yang menjadi tetangga Sidal.
“Iya Ta, kau tahu dimana Sidal?”
“Dia tadi pergi bersama Upa ke taman,” jawab Tita. Upa sendiri adalah anak tupai yang tinggal di seberang jalan.
Silan mengangguk lalu segera mencari kemana Sidal dan Upa pergi. Ia tetap membawa pie itu, berharap mereka dapat memakannya di taman bersama-sama.
Dari ujung taman, Silan dapat melihat Sidal dan Upa tengah duduk bersama. Silan hendak mendekat, namun percakapan mereka menghentikan langkah Silan.
“Kenapa hari ini tidak pergi dengan Silan?” tanya Upa.
Sidal menggeleng. “Dia tidak mengajakku keluar hari ini makanya aku tidak pergi bersamanya.”
“Kalau kau ingin ke taman hari ini, kenapa malah mengajakku bukan mengajak Silan saja? Aneh,” kata Upa bingung.
“Sedang tidak ingin saja,” jawab Sidal seadanya.
Perkataan itu entah mengapa menusuk hati Silan. Landak kecil itu berjalan perlahan-lahan mundur dengan air mata yang sedang ia tahan. Jadi, selama ini, Sidal ingin pergi jika dia mengajaknya saja? Jika tidak, maka dia tidak ingin pergi bersamanya tetapi bersama hewan lain?
Silan paham bahwa Sidal bisa pergi kemana saja dengan siapapun itu. Tetapi ketika melihat seseorang yang ia prioritaskan ternyata tidak memprioritaskannya kembali sungguh membuatnya sakit hati.
Jika dipikir-pikir, selama ini ajakan ‘Ayo’ hanya keluar dari mulut Silan saja, sedangkan Sidal hanya mengangguk menuruti. Jujur, Silan juga ingin diajak Sidal ke tempat-tempat yang ingin ia tuju. Ia juga ingin Sidal mengajaknya melakukan sesuatu bersama. Tetapi, mengapa Sidal tidak pernah mengajaknya? Hubungan persahabatan macam apa ini yang hanya salah satu pihak saja yang menganggap mereka adalah sahabat sejati sedangkan yang lainnya tidak?
Silan pulang dengan menangis tersedu-sedu. “Sidal, apakah aku tidak cukup baik untuk menjadi sahabatmu? Aku juga ingin kau mengajakku pergi ke suatu tempat dan melakukan sesuatu bersama,” batin Silan dengan sakit hati.
Nyatanya kata ‘Ayo’ yang kadang disepelekan begitu penting dan berarti. Dengan kata itu, kita bukan hanya mengajak, tetapi juga ingin menghabiskan momen penting bersama orang tersayang.
Cerpennya bagus! Sudah lama tidak membaca fabel. Permasalahan sidal dan silan ini sering terjadi di hubungan pertemanan ya. Biasanya si extrovert dan si introvert.
Tapi sayang sekali belum ada resolusi konflik antara sidal dan silan 😀 saya jadi penasaran kelanjutan hubungan keduanya. Selebihnya, good job author!