Baca bagian kedua disini: https://lpmperspektif.com/2021/07/04/boy-dan-si-anjing-kurus/
Bagian Ketiga
‘Momen itu seperti kembang api’ adalah judul dongeng bergenre sedih yang diceritakan oleh Cip dan akan kuingat sepanjang masa. Aku bahkan merasa bahwa tuan kehilangan tidak memandang usia kepada siapa ia berkunjung. Entah kepada Boy dan aku, atau mungkin kepada Budi, Ani, ataupun Ayah. Kehilangan mungkin adalah Cip. Kuda putih yang menjadi panduanku ketika aku mencari-cari keberadaan ibu di langit sebelah mana.
Sehabis itu, Cip masih mengajakku mengobrol hingga tanpa sengaja dan aku juga tidak mengerti kenapa, keningku disentil oleh matahari yang amat panas di pagi hari yang sejuk ini. Apakah ini hari Minggu? Aku bertanya-tanya dalam hati sembari memperhatikan sekeliling mencari keberadaan Cip dan teman-teman lucunya. Tepukan di bahuku memancingku untuk menoleh, melihat ayah yang berpakaian santai dengan senyum syahdunya.
“Arma, mau ke kota bersama Ayah?” tanya Ayah sambil menyamaratakan tingginya denganku. “Ayah rasanya rindu ingin bertemu manusia salju. Arma rindu juga tidak?”
Aku diam sejenak, mendengarkan simfoni baru dari kalimat yang diucapkan ayah kepadaku. Rindu. Kata itu entah kenapa mampu menciptakan suatu debuman di jantungku seolah-olah ia terhimpit dan kesesakan disana. Aku bingung, apa yang menyebabkan dadaku merasa sesak sedemikian rupa. Aku ingat kalau aku sudah menyelesaikan tugasku maka aku tidak akan dimarahi oleh guruku, tapi kenapa sesaknya masih ada?
Mengacuhkan pertanyaan baru, aku dengan sigap mengangguk dengan semangat seiring ayah yang mengusap pucuk kepalaku. Mungkin manusia salju sudah menungguku di luar sana.
***
“Ayaaah, ayo cepat. Manusia saljunya nanti jadi air lalu hilang!” ujarku sembari menarik tangan ayah yang baru saja turun dari angkutan umum. Hilang. Kata itu ternyata mampu menciptakan efek ledakan di dadaku. Hebat sekali. Sejak tadi kata-kata kecil mampu menciptakan efek ledakan di dalam dadaku. Apa mereka terbuat dari petasan? Tapi seharusnya petasan itu cantik dan menyenangkan kan? Kenapa ini menyesakkan? Hei, rongga dadaku pun rasanya sangat penuh.
Perhatianku teralih ketika aku berdiri bersama ayah di pinggir jalan untuk menyebrang ke toko es krim di seberang sana. Aku melihat sekeliling. Orang dewasa terlihat sangat serius, ya? Mereka tampak selalu berjalan buru-buru sambil memperhatikan jam yang ada di tangannya. Raut wajah mereka pun tampak serius dan keras. Mungkin mereka kehabisan kotak tertawa, pikirku. Sama seperti yang ibu pernah bilang sehabis aku menonton Spongebob pagi itu, kotak tertawa anak-anak sebelum dewasa lebih banyak soalnya belum sering digunakan. Ketika mulai beranjak dewasa, orang-orang akan menghematnya supaya tidak kehabisan nantinya. Kalimat itu terngiang di kepalaku seiring lantunan suara ibu yang merasuki persendianku. Rasanya aneh dan penuh. Rongga dadaku sesak tapi tidak tahu kenapa. Tanya ayah pun ragu sebab ayah juga tampak sedang memiliki kata-kata yang sulit ia terjemahkan sendiri di kepala. Kelihatan air mukanya mirip dengan orang-orang bertubuh besar yang berlalu-lalang. Alisnya mengkerut, tatapan matanya lurus, raut wajahnya keras. Apa semua orang dewasa seperti itu ya?
***
Cuaca hari ini begitu terik, matahari sudah tepat berada di atas kepala, aku dan ayah memutuskan untuk duduk di sebuah bangku yang dipayungi oleh pohon berdaun banyak. Kata ayah, supaya sejuk. Dari tempatku duduk, aku melihat berbagai macam kejadian yang menimbulkan banyak tanya lagi di kepalaku. Ketika mataku menangkap seorang kakek tua yang duduk di persimpangan lampu lalu lintas dengan tangan menengadah. Aku heran, apakah dia tidak kepanasan? Kenapa tidak ada yang menemani dia disana? Memandang ke arah timur, aku melihat seorang bapak berseragam warna abu dengan perut buncit yang kancingnya hampir terlepas satu asyik berfoto di tepi jalan sambil meniup peluit dan menggerak-gerakkan tangannya seolah sedang mengatur lalu lintas. Tapi setelah gambar diambil, ia melepaskan topinya dan duduk di sebuah warung dekat jalan. Oh ya, dan kakek tua tadi, aku bingung kenapa dia menyerahkan lembaran rupiah dan recehan di mangkuknya kepada seorang lelaki yang lebih muda, meminum segelas air dari si lelaki lalu kembali duduk di tempatnya semula, menengadahkan tangannya dan beraut sedih kembali.
Orang dewasa handal berpura-pura ya? Seperti ibuku.
“Arma, kenapa manusia saljunya gak dimakan?” tanya ayah saat melihat es krim yang kusebut manusia salju mulai meleleh dan melingkupi tanganku. Aku pun baru sadar saat tanganku terasa sangat dingin dan lengket. Manusia salju yang kubeli kali ini bukan warna putih melainkan berwarna-warni dengan taburan bintang di atasnya. Kata ayah, manusia salju ini disebut galaksi dari dunia mimpi. Dan menurutku, manusia saljunya mirip dengan warna-warni yang muncul saat Cip datang. Ah, Cip? Aku ingin menemui kuda keren itu nanti. Tapi apakah dia datang lagi ya? Mungkin dia mampu menjawab pertanyaanku kali ini.
***
“Arma, ada sup ayam.” panggil ayah.
Aku meloncat kegirangan dan meninggalkan tumpukan pensil warna yang kubentuk menjadi sebuah domino. Aku bergegas membawa mangkuknya setelah memperhatikan bentuknya. Agak aneh. Apa benar ini sup ayam?
Aku duduk di tepi jendela, di tempat yang sama ketika aku bertemu dengan kuda putih, temanku Cip. Aku mengambil sendok dan menyicip kuah supnya dengan semangat. Rasanya lumayan tapi terasa sangat berbeda. Apa sup ayam kali ini tidak memiliki mantra yang sama seperti yang dibuat ibuku? Karenanya, dadaku malah makin sesak oleh rasa yang tidak aku tahu. Seperti ada balon berisi air yang meledak di dalam perutku dan tak berhenti. Seperti petasan yang bermain-main di sekitaran jantungku.
Ah rasa macam apa ini?
Aku menumpukan kepalaku berharap-harap Cip datang. Kuda putih itu, aku ingin bertanya banyak. Sangat banyak.
Tuk tuk tuk
“Armaaaaaa!”
Aku mendongak. Suara nyaring itu menggema ditelingaku seiring dengan suara hentak sepatu kudanya. “Cip!”
“Mau berkeliling? Ayo naik. Kita ke bulan besar itu! Katanya ada atraksi manusia salju berwarna-warni disana!”
Cip menggigit ujung bajuku kemudian menaikkan aku ke badannya. Aku merasa sangat senang. Angin menari-nari diatas rambutku dan tawa Cip menggelegar ketika aku hampir terpeleset dari punggungnya. Ia mengajakku menonton manusia salju yang sangat cantik dengan syal di lehernya. Wajah orang-orang disini tak ada yang seperti orang dewasa di jalan tadi. Mereka tampak tersenyum lebar dan tertawa keras. Harmoni lagu-lagu disini bahkan mampu mengiringi langkah mereka yang bernada bahagia. Namun kata mereka matahari hampir muncul sehingga Cip membawaku turun dari bulan yang mulai mengempes dan mengantarku pulang.
“Cip? Rindu dan hilang itu apa? Mereka teman dekat ya?” tanyaku saat Cip mengantarku dengan gagah. Cip bergumam sebentar kemudian mengangkat suara. “Ya, benar. Mereka bersanding sebagai teman dekat. Arma, ingat Boy dan anjing kurus yang kuceritakan kemarin? Kau tau ketika Boy tak hentinya mencari anjing itu? Menurutmu kenapa dia mencari anjing itu?”
Arma menggeleng dan Cip tersenyum. “Ia merasa rindu. Rindu kepada ia yang telah hilang. Maka ia mencari untuk menuntaskan rindunya. Hanya saja, ia tidak menemukannya kan? Makanya ia harus mencari bahagia yang lain supaya rindunya lenyap bersama apa yang hilang.”
Arma mengangguk paham dengan mulut berbentuk huruf O. Tepat di tepi jendela, ketika Cip menggigit ujung bajunya dan memasukkannya ke dalam kamarnya lagi, Arma mengangkat suara untuk bertanya, terakhir kalinya untuk malam ini.
“Cip, orang dewasa itu, apakah benar-benar dewa? Mereka mampu berpura-pura, melakukan banyak hal, tahan untuk tidak tersenyum atau tidak tertawa, seperti penyihir sakit. Cip, sebenarnya orang dewasa itu apa? Apa – apakah menyenangkan menjadi dewasa?”
Bersambung.
Pingback: Penyihir, Topeng, dan Pohon Apel Merah – LPM Perspektif