Malang, PERSPEKTIF – Angka kekerasan seksual di kampus tidak memiliki jumlah yang pasti untuk mencatat soal berapa banyak kasus yang sesungguhnya terjadi. Salah satu faktornya disebabkan belum adanya payung hukum yang jelas mengenai kekerasan seksual.
Sebagai bentuk pencegahan kasus kekerasan seksual maka sangat diperlukan payung hukum yang jelas. Sebelum Peraturan Rektor (Pertor) Universitas Brawijaya (UB) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dan Perundungan terbit pada akhir Desember lalu, payung hukum yang ada di UB hanya meliputi Pertor No. 328/PER/2011 tentang Kode Etik Mahasiswa dan Peraturan Senat No. 318/PER/2008 tentang Kode Etik Dosen UB. Kedua Pertor tersebut dinilai kurang spesifik dalam mengatasi kasus kekerasan seksual yang ada di lingkungan kampus sehingga dibentuklah Pertor Nomor 70 tersebut.
Lucky Endrawati, salah satu Dosen Hukum Pidana UB mengatakan bahwa UB sendiri sudah melakukan upaya-upaya untuk menangani kekerasan seksual meskipun Pertor Nomor 70 saat itu belum diterbitkan.
“Upaya yang dilakukan misalnya mulai akhir Juli itu beberapa fakultas sudah ada spanduk-spanduk yang menolak atau kampus ini bebas dari kekerasan seksual atau perundungan atau bullying. Kalau kemarin saya lihat, itu merupakan komitmen dari Wakil Rektor III yang diterjemahkan di masing masing fakultas,”ujarnya.
Sedangkan menurut Abdul Hakim, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan (WR III) mengatakan bahwa Pertor mengenai kode etik sudah diperbarui dengan memasukkan aspek anti bullying dan anti kekerasan seksual.
“Dengan adanya Pertor itu, kami sudah memiliki dasar hukum yang kuat untuk memberikan sanksi kepada mahasiswa atau siapa saja civitas academica yang melanggar kode etik tersebut,” imbuhnya.
Abdul Hakim menambahkan bahwa upaya lain dalam pencegahan kekerasan seksual dilakukan dengan penempatan CCTV di tempat-tempat yang memungkinkan bisa terjadi kekerasan seksual. Pemanfaatan konseling universitas sebagai bagian dari pengawasan juga diterapkan.
Salah satu staff ahli dari WR III, Ilhamuddin, mengatakan bahwa penerapan Pertor dalam situasi daring nantinya akan diikuti dengan kebijakan yang masih perlu dipersiapkan di tahun ini, terutama terkait sosialisasi dan implementasinya.
Melalui Pertor yang telah terbit ini, Ilham berharap bahwa aka nada jaminan bagi civitas academic untuk saling menjaga dan menghargai agar tidak ada kejadian yang dapat mengarah atau menyebabkan terjadinya perundungan dan pelecehan seksual bagi civitas academic UB baik sebagai pelaku maupun korban.
Sementara salah satu mahasiswa UB sekaligus Aktivis Perempuan Resister Indonesia, Aulia Izzah, mengatakan bahwa alur dan bagaimana penanganan selanjutnya perlu dijelaskan lebih detail dalam produk hukum UB yang baru tersebut.
“Melapor ke siapa terus output-nya nanti seperti apa itu harus jelas,” ungkapnya.
Sejalan dengan Aulia, Bunga Indah Ade sebagai salah satu mahasiswa Fakultas Hukum UB menyatakan bahwa penerapan pertor harus sesuai dam bukan hanya di atas kertas saja.
“Pertor itu mampu dan akan berguna jika pada pelaksanaan lapangannya bisa sesuai, tapi sekarang kembali pada kenyataan lapangan apakah hanya dengan pertor korban akan terlindungi. Ini kembali lagi bagaimana UB akan melaksanakan pertor tersebut, akankah hanya dijadikan formalitas perundangan seperti pertor lainnya ataukah pertor ini bisa mengubah sistem di UB sehingga akan banyak bantuan layanan untuk korban,” jelasnya. (dmr/shf/rns)