impian-impian merintih bak dedaunan terpaan angin;
dengarlah!
sebuah simfoni keseragaman
sayup-sayup himne rutinitas
dan rentet tawa matahari
melihatku mencengkam sehelai kain kebosanan
sepanjang pagi
————
nun jauh di sana
tepuk tangan berpadu rima
selarik cela diteriakkan berganti kepala;
ada banyak pilu
berbungkus koran-koran tua
menutup aurat dengan padanan kata bermakna ganda
ingin rasanya berteriak
namun sayangnya
aku lahir
tanpa mulut yang terbuka
cuma-cuma
pada akhirnya:
senyum-senyum palsu menghiasi bunga-bunga plastik yang
kehilangan harumnya
tak ada ujungnya
kalimat bersujud tanpa irama
(ku lihat anak-anak sungai promethean mencoba memeluk kekasihnya dan demikianlah:
Lampiran (Tak dibaca pun tak apa, aku hanya ingin menulis saja)
Maaf, kemampuanku hanya sampai di sini. Terbatas. Terantuk diri sendiri dalam kepala yang fragil ini.
Jika bertanya soal puisi, aku hanya bisa menjawab:
“Puisiku tak lebih dari sekedar hasil daur ulang, dari tema-tema membosankan, repetitif saja.”
***
Aku jadi mengingat percakapanku dalam mimpi. Sebuah percakapan antara diriku dengan sosok penulis yang aku kagumi:
“Dari mana kau mampu menulis, berpikir, dan merumuskan sesuatu yang menarik?”
“Dari kebodohanmu”
- Serenade adalah istilah umum yang merujuk kepada nyanyian atau alunan musik untuk memberikan penghormatan pada sore hari ↩︎