Lompat ke konten

Banalitas Budaya dalam Saranjana: Kota Ghaib

Sumber: Meta mata blog
Oleh: Gratio Sani Beribe*

Judul Film: Saranjana: Kota Ghaib

Rumah Produksi: Dari Hati Film

Tanggal Rilis: 26 Oktober 2023

Sutradara: Johansyah Jumberan

Produser: Johansyah Jumberan, Victor G. Pramusinto

Rumah produksi Dari Hati Film merilis karya terbarunya berjudul Saranjana: Kota Ghaib pada 26 Oktober 2023. Film ini mengangkat mitos lokal masyarakat Kalimantan Selatan mengenai sebuah kota tak kasat mata bernama Saranjana yang sempat mencuat ke khalayak media sosial lewat unggahan di X dan TikTok @Anaklombokk. Kisah seorang kurir bernama Indra yang menerima kiriman paket dengan alamat Kota Saranjana membuat publik bertanya-tanya mengenai kebenaran hal tersebut dan menyulut rasa penasaran yang luas. 

Film Saranjana: Kota Ghaib bercerita mengenai Signifikan, sebuah grup band asal Jakarta yang sedang menggelar konser di Kota Baru, Kalimantan Selatan. Usai tampil di konser tersebut, sang vokalis, Shita (Adinda Azani) melihat penampakan seorang pria dengan busana khas Suku Banjar di hotel tempat mereka menginap. Shita yang penasaran kemudian mengejar pria tersebut dan berakhir dengan ia yang pingsan, tak sadarkan diri. Beruntung, Shinta kemudian ditemukan oleh manajer band dan dibawa ke kamar hotel. Namun, tak lama kemudian Shita dirasuki roh dan keluar dari hotel menuju dermaga. Dari situ, ia lantas hilang bak ditelan bumi.

Melihat kejadian tersebut, anggota band yang lain serta pihak panitia konser kemudian berusaha mencari keberadaan Shita. Berangkat dari penelusuran yang dilakukan, mereka meyakini bahwa Shita berada di sebuah kota gaib bernama Saranjana. Namun, mereka hanya mempunyai waktu tujuh hari untuk dapat membawa pulang Shita dari tempat tersebut. Berbagai aral-rintangan kemudian berusaha mereka lewati mulai dari mencari mandau sakti, menyebrangi lautan dan rawa, sampai mendaki gunung yang dipercaya terkoneksi dengan Kota Saranjana. Perjalanan ini tak dilalui mereka dengan mudah, tapi penuh dengan teror horor yang memenuhi durasi film. 

Film Horor Tak Sekedar Hantu-Hantuan

Film Saranjana: Kota Ghaib awalnya terlihat cukup potensial dari tema yang diangkatnya. Penonton dengan ekspektasi yang tinggi menunggu corak baru dalam genre horor Indonesia. Budaya-budaya Kalimantan Selatan dengan hantu-hantu lokal seperti kuyang senantiasa ditunggu penonton untuk menyudahi karakter-karakter hantu seperti kuntilanak, pocong, dan genderuwo. Namun dalam eksekusinya, film ini sangat mengecewakan. 

Sutradara, penulis naskah, dan produser masih terjebak untuk memandang bahwa film horor yang penting ada sosok hantunya. Mereka lupa jika dalam film horor, ada kata “film” yang mendahuluinya “horor” sehingga aspek-aspek seperti alur penceritaan, akting, permainan karakter tokoh, sampai sinematografi perlu dieksekusi sama matangnya. 

Hal yang paling mengecewakan dari film ini adalah performa akting dari para pemain yang jauh dari kata bagus. Terlihat tokoh-tokoh utamanya seperti Shita (Adinda Azani) dan Fitriah (Betari Ayu) masih belum maksimal namun jauh lebih baik jika dibandingkan dengan Rendy (Luthfi Aulia), Vey (Ajeng Fauzia), dan Dion (Irzan Faiq) yang masih gagap dalam melakoni beberapa adegan dan terkesan masih menghafal-hafal. Akhirnya, beberapa dialog dan lakon yang dimainkan oleh mereka terlihat sama sekali tidak natural. Apalagi jika kita memperhatikan akting para extras talent, tentunya jauh lebih buruk dari tokoh utamanya.

Pengembangan karakter tokoh dalam film ini juga sama bermasalahnya dengan akting para pemain. Di awal film, kita langsung dihadapkan dengan pertikaian antara Shita dan Rendy yang sebelumnya tidak pernah kita ketahui latar belakangnya apa. Hal ini membuat penonton menjadi kurang bersimpati dengan para tokoh dan ceritanya sehingga film tak lagi menjadi menarik untuk ditonton lebih lanjut. Sosok Vey yang terasa hanya pelengkap saja dalam film ini dan tidak mempunyai peran apa-apa dalam cerita. Serta Dion yang tiba-tiba berubah pembawaannya menjadi serba sensitif terhadap perilaku Rendy yang memang arogan.  

Alur penceritaan film Saranjana: Kota Ghaib dapat dikatakan mudah tertebak. Hal ini karena alur film Saranjana: Kota Ghaib punya banyak kesamaan dengan film-film serupa seperti KKN di Desa Penari serta Keramat 2. Babak pertama film ini terkesan terburu-buru sampai adegan Shita yang hilang ke Kota Saranjana. Ini membuat penonton tak punya cukup waktu untuk memahami para tokoh dan menjadi tertarik dengan ceritanya. Penonton lalu dihadapkan dengan kejanggalan-kejanggalan dalam alur film seperti Fitriah, Rendy, Vey, dan Dion yang tiba-tiba paham bahasa Banjar padahal mereka berasal dari Jakarta. Makam dan mandau sakti juga begitu mudah ditemukan oleh mereka tanpa ada petunjuk sebelumnya. Kejanggalan-kejanggalan tersebut menunjukan ketidak-konsistenan pembuat naskah film.

Sinematografi mungkin menjadi salah satu aspek yang paling baik diantara yang lain. Gambar-gambar yang menunjukan keindahan alam Kalimantan Selatan cukup bisa memanjakan mata. Namun, penggunaan Computer Generated Imagery atau CGI masih kurang matang untuk menggambarkan ke-metropolitan-nya Kota Saranjana. Hal ini menunjukan bahwa film Saranjana: Kota Ghaib memang terburu-buru untuk dieksekusi, padahal terlihat secara persiapan akting, naskah, dan juga pembiayaan masih kurang matang. 

Banalitas Budaya Kalimantan Selatan

Saranjana: Kota Ghaib mempertunjukan tema dan alur film yang kental akan nuansa budaya Kalimantan Selatan dan agama Islam. Hal itu ditunjukan lewat mitos lokal yang menjadi nyawa film ini, penggunaan pakaian adat dan bahasa Banjar, serta hantu-hantu lokal yang turut dihadirkan Johansyah selaku sutradara cum penulis naskah. Johansyah juga menempelkan nilai-nilai Islam lewat karakter manajer band yang taat beribadah sampai klaim bahwa Saranjana merupakan sebuah kota modern bercorak Islam. Dengan ini, Saranjana: Kota Ghaib membawa warna baru dalam semesta genre horor di perfilman Indonesia yang masih sangat dominan dengan narasi budaya Jawa. 

Namun dalam perspektif yang berbeda, penggunaan budaya Kalimantan Selatan dan agama Islam dalam film ini menunjukan banalitas budaya dan agama lewat industri perfilman. Banalitas budaya sendiri berangkat dari pemikiran Adorno (1992), seorang cendekiawan mazhab frankfurt, yang mendikotomikan budaya menjadi dua jenis yaitu budaya adiluhung (tinggi) dan budaya populer (rendahan) sebagai ciri kehidupan modern. Budaya adiluhung dianggapnya mempunyai nilai yang luhur, filosofis, dan estetik. Sedangkan budaya populer berciri tidak bermutu, banal, dan hanya mengulik permukaan semata. Menurut Adorno, budaya populer muncul akibat pengaruh kapitalisme yang melahirkan industrialisasi budaya demi mendapat keuntungan materil sehingga nilai-nilai filosofinya hilang. 

Budaya Kalimantan Selatan dan agama Islam yang ditunjukan dalam Saranjana: Kota Ghaib mengalami proses banalitas karena Saranjana sendiri merupakan legenda masyarakat Kalimantan Selatan yang sudah ada sejak abad ke-17 seperti yang dituturkan oleh Mansyur, akademisi Universitas Lambung Mangkurat kepada kompas.com. Kota Saranjana merupakan daerah maju yang menjadi cita-cita Pangeran Purabaya dan anaknya, Gusti Busu dari Kerajaan Pulau Laut di Kalimantan Selatan. Cita-cita kedua orang inilah yang menjadi memori kolektif masyarakat di Pulau Laut. Kemudian hal tersebut dituturkan turun-temurun sampai generasi sekarang yang akhirnya berwujud mitos. 

Meskipun hanya mitos, tapi Kota Saranjana mempunyai nilai filosofis yang tinggi dalam masyarakat Pulau Laut tentang kesejahteraan dan ketentraman hidup yang ada di tempat mereka tinggal. Maka dari itu, mitos mengenai Saranjana sebelumnya merupakan budaya adiluhung. Namun, dengan Saranjana yang dijadikan film, malah membuat mitos ini kehilangan nilai filosofisnya karena dijadikan komoditas semata oleh pembuat film. Dapat diketahui, pembuatan film Saranjana: Kota Ghaib tak bisa lepas dari pengaruh ke-viral-an mitos masyarakat Kalimantan Selatan ini di media sosial sehingga Dari Hati Film dengan cepat – bahkan terkesan terburu-buru – untuk mengangkatnya sebagai tema film horor. Tentunya karena melihat potensi keuntungan yang besar. 

Eksekusi yang terburu-buru karena mengejar waktu viral membuat pendalaman terhadap budaya-budaya Kalimantan seperti urung dilakukan sehingga hanya sekedar menjadi tempelan belaka. Bahkan ada beberapa hal yang sampai mengarah kepada pelecehan budaya. Ambil contoh pada adegan pencarian mandau sakti, kelompok pencari Shinta yang terdiri dari para anggota band dan pihak panitia dengan “lancang” membongkar makam rawa yang menjadi tradisi khas warga Desa Negara. Padahal, warga Kalimantan Selatan mempunyai nilai penghormatan kepada arwah yang sudah meninggal. Begitu juga dengan aksi pencurian mandau, terkesan begitu mudah dilakukan. Padahal mandau, dalam kepercayaan masyarakat dayak, merupakan benda keramat yang disahkan dengan sumpah untuk melindungi pemiliknya sehingga tidak dapat digunakan sembarangan.

Berbagai bentuk pengabaian terhadap nilai sakral budaya Kalimantan Selatan menjadi tanda bahwa film Saranjana: Kota Ghaib menyebabkan pergeseran makna dari budaya yang bernilai tinggi, menjadi budaya populer yang ditampilkan sekedar mengundang penonton demi keuntungan ekonomi. Film ini yang pada awalnya menjadi alternatif dari dominasi budaya Jawa di jagad perfilman Indonesia, malah dieksekusi tidak hati-hati sehingga menyebabkan banalitas terhadap budaya yang mereka angkat sendiri. 

Saranjana: Kota Ghaib hanya salah satu film horor Indonesia yang terjebak dalam arus industri budaya sehingga telah banyak mem-banal-kan budaya lainnya. Wirawan Sukarwo (2022) dalam riset berjudul Industri Budaya dan Banalitas Spiritual pada Hantu menemukan bahwa terjadi pergeseran konsep hantu di Indonesia yang awalnya menjadi kontrol sosial dan penjaga moral masyarakat, kemudian bergeser sebatas komoditas industri media. 

Konsep budaya dalam industri perfilman kemudian mulai tercabut dari kekuatan spiritual dan filosofis yang melekat dalam masyarakat, lantas menjadi objek tontonan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Seharusnya, para pembuat film perlu melakukan riset yang mendalam sehingga dapat menempatkan budaya dengan tepat dalam cerita filmnya sehingga tidak menjadi bentuk banalitas. 

(Visited 341 times, 1 visits today)
*) Penulis adalah mahasiswa Ilmu Pemerintahan 2020 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?