Bermain ke kebun belakang telah menjadi rutinitas Abbe Bosch selama kurang lebih 2 minggu ini. Sebagai pendatang baru, ia senang mengobservasi variasi tanaman dan mencocokan dengan apa yang ada di buku. Sebesar apapun keinginan untuk turun langsung, Abbe terkekang oleh perintah ibunya untuk tidak menyentuh tanah. Ibu bilang tanah pekat akan menempel di jari kuku dan membuat kita kotor seperti pribumi. Selain itu, ia punya teman baru. Pada awalnya ia mengira anak sebaya yang berlawanan jenis itu cukup mengganggu karena suaranya yang cempreng dan hampir-hampir tidak pernah berhenti bicara. Abbe seratus persen yakin dirinya pernah berbicara kepada seluruh pekerja kebun dan mengenalnya dengan baik. Ia berpikir tidakkah anak ini kehabisan energi untuk mengoceh di tengah-tengah panasnya matahari? Ugh, Indonesia dan cuacanya sangat gerah.
***
“Siti, nak, kowe lapo? Sini. Jangan mengganggu Tuan Muda.” Suara laki-laki dewasa dengan nada khawatir dan takut di baliknya terdengar jelas manakala anak perempuan ini mengajakku berkenalan. Tangan kotornya yang penuh tanah mengulur di depanku dan belum sempat aku menjabatnya, telah ditepis lembut oleh paman pemilik suara.
Pakaiannya yang lusuh dan berbeda sekali dengan cara berpakaian anak perempuan di Belanda terlihat sangat kontras dengan apa yang kukenakan sekarang ; sepasang hem putih bersih dan celana pendek selutut yang dibalut sepatu boots. Ia tak mengenakan alas kaki apapun. Topi ini melindungiku dari sengatan matahari, sedangkan mata anak perempuan ini menyipit entah karena silaunya cahaya matahari atau kebingungan atas perlakuan paman tersebut.
“Menopo to, Yah?” tangan mungilnya ditarik perlahan untuk menuju sisi kebun yang lain, seraya laki-laki dewasa itu terlihat membungkuk hormat kepadaku
***
Sudah hampir 2 minggu aku dan Siti berteman, meskipun paman itu yang ternyata adalah ayahnya sering menegur anaknya ketika terlihat terlalu nyaman denganku. Tapi tentu saja kami tidak menggubris hal tersebut, kami anak-anak kan? Hanya ingin bersenang-senang. Jadi itulah yang kami lakukan, bersenang-senang. Seringkali aku dan Siti mencari tempat persembunyian untuk bermain dengan tanah liat, melihat-lihat tanaman dan hewan atau mendiskusikan hal-hal menarik.
“Kamu tidak sekolah?” tanyaku pada suatu hari. Kami berjongkok di bawah pohon. “Sekolah? Maksudmu diajar bu guru dan belajar dari buku?”
“Iya.”
“Aku tidak sekolah tapi aku belajar.”
“Belajar darimana jika tidak sekolah?”
“Kebun! Belajar tanaman dari bapak!”
Kemudian ia meraih tangkai pohon berserakan dan sembarangan mengukir di atas tanah kering. “Tapi aku sangat ingin belajar menulis,” sambungnya.
“Menulis? Menulis apa?”
“Tidak tahu, kan aku belum belajar membaca.”
Pundak kami naik turun saat tertawa lepas. Aku pikir Siti sangat pintar dengan kelakarnya, meskipun ia memang tidak pergi sekolah dan menempuh pendidikan apapun di umurnya yang sudah menginjak 10 tahun. “Suatu hari nanti aku ingin membangun negeriku di Belanda. Menjadi cendekiawan pintar dan menemukan sesuatu yang baru lewat penelitian.”
“Oh ya? Itu cita-citamu?”
“Bisa dibilang begitu. Bagaimana denganmu?”
“Mimpiku adalah ikut berjasa untuk memerdekakan Indonesia. Meskipun tidak ikut ke medan perang, aku ingin membantu pahlawan-pahlawan yang terluka dengan obat-obatan tradisional.”
“Kedengarannya keren. Apakah kau mau belajar di luar negeri?”
“Tentu! Aku ingin belajar cara mengobati orang dengan baik dan benar.”
“Dokter?”
“Dokter! Aku ingin menjadi dokter suatu hari nanti saat bangsaku sudah merdeka.” Siti dan ambisinya tidak pernah gagal membuatku kagum.
***
Pertemananku dengan Siti berjalan sangat menyenangkan kecuali fakta bahwa Mama sering mengomel.
“Kamu jangan dekat-dekat dengan anak pribumi!”
“Mama, sudahlah. Abbe hanya anak-anak, biarkan dia bermain dan mengeksplorasi dunianya sendiri.” Papa terlihat tenang sambil membaca koran. Aku merasa Papa bisa melakukan lebih karena aku mulai jengkel dengan perilaku mama yang berlebihan.
“Tangan dan bajunya kotor setelah pulang dari kebun! Pasti gara-gara anak perempuan berkepang yang punya rupa jelek itu, kan?!”
“Mama jangan menghina Siti!” aku reflek membela temanku yang begitu aku kasihi. Senyum yang memperlihatkan gigi bolongnya tiba-tiba terbesit di kepalaku dan meskipun kata mama memang benar, bahwa Siti mungkin jelek dan tidak secantik Margareth, tapi aku tetap tidak rela ia diejek. Tidak didepanku.
“Abbe, kamu dihukum. Kamu tidak akan keluar rumah selama satu minggu dan menemani Papa bekerja ke luar kota.” Pernyataan mama yang datang tiba-tiba membuatku mengernyit. Hening cukup lama. Hanya ada suara lipatan koran yang dibaca Papa. Beliau tidak berusaha membelaku lagi, tidak sekalipun protes atas pemberian hukuman yang tidak adil ini. Memangnya kenapa sih kalau anak orang Belanda seperti aku berteman dengan pribumi? Aku mulai berpikir bahwa Mama memang jahat. Papa juga.
Selama aku menemani Papa mengerjakan apapun yang menjadi pekerjaannya sebagai seorang jenderal tentara, hanya ada kebosanan dan kekesalan yang tak usai. Satu minggu ini aku sama sekali tidak menginjakkan kakiku ke kebun belakang rumah, apalagi bertemu dengan temanku, Siti. Apakah ayah Siti juga mengekang ia bermain denganku sekeras ini? Kalau iya, mengapa?
Keesokan harinya setelah hukuman yang diberikan mama, aku benar-benar diawasi dan tidak sekalipun diberi izin keluar rumah. Pagi-pagi buta, bahkan ketika mataku masih belum terbuka karena kantuk, Papa sudah menggendongku masuk ke mobil untuk pergi ke hanya Tuhan yang tau kemana. Yang pasti sekarang, aku jauh dari rumah. Aku juga sempat bertemu beberapa anak sebayaku, sama-sama berkulit putih dan berpakaian rapi, tapi mereka tidak seasik Siti. Terlalu formal dan banyak membual. Tapi setidaknya penderitaanku akan berakhir hari ini sebab Papa bilang malam nanti kami akan pulang. Hukumanku juga sudah mencapai masa tenggat, yang akhirnya besok pagi aku bisa kembali bermain ke kebun belakang dan menceritakan seluruh pengalaman membosankan ini kepada Siti. Aku akan bertemu temanku lagi dan itu membuatku tidak sabar.
Namun seluruh euforia dan perasaan tidak sabar itu menghilang seketika aku sampai di kebun belakang tanpa menemukan Siti maupun ayahnya. Kakiku telah menjajaki seluruh sisi kebun dan hanya terlihat pemandangan para pekerja dengan muka lesu dan lemas, sebuah fenomena yang sempat menggangguku tapi kata Mama hal itu adalah normal. Siti dan ayahnya tetap tidak menampakkan diri mereka di hadapanku. Apakah hari ini mereka cuti? Libur? Apakah Siti sakit? Malam hari ketika aku duduk termenung di depan meja makan, terbesit pikiran untuk bertanya tentang keberadaan dua orang yang berada dalam daftar pencarianku itu. Tapi konsekuensinya adalah mama akan mengeluarkan omelan pahit lagi atau yang terburuk, aku akan dihukum. Tapi bahkan setelah mencari kesana kemari sampai menjangkau area 3 meter diluar kebun, aku tetap tidak menemukan mereka. Mungkin bertanya hal ini kepada Papa menjadi jalan paling aman mengingat beliau tidak seagresif Mama.
“Papa, apakah Papa tau dimana keberadaan Siti dan ayahnya?”
“Siapa Siti dan siapa ayahnya?”
“Um, temanku. Mereka bekerja di kebun belakang.”
“Kebun belakang itu bukan milik Papa, My Son. Meskipun dekat, Papa tidak diberi tugas untuk mengawasi kebun tersebut. Jadi tidak, Papa tidak tau mereka siapa dan dimana.” Seperti bunga, hatiku rasanya seperti menguncup setelah mendengar jawaban Papa. Dilihat dari raut mukanya, beliau sama bingungnya denganku. Apakah bertanya kepada Mama adalah satu-satunya jalan terakhir? Ini adalah masalah keberuntungan saja. Coba saja, Abbe.
“Mama, apakah Mama tau dimana Sit-“
“Tidak.”
“Aku belum selesai bicara.”
“Anak perempuan pribumi jelek yang kau sebut teman itu, kan? Mama tidak tau. Berhenti mengusik! Mama sibuk berdandan untuk pesta nanti malam.” Aku hanya bisa menghela nafas. Apakah tidak ada seorang pun yang mau memberitahuku dimana Siti berada? Aku sendiri tidak pernah tahu kediaman Siti. Yang aku tahu, dia selalu datang tiap pagi dan pulang setelah senja tenggelam untuk kembali lagi keesokan harinya. Jadi aku tidak pernah khawatir. Dengan keadaan yang sekarang, Siti dan ayahnya seperti hilang ditelan bumi.
***
Hari-hari berlalu seperti biasanya, kecuali aku sudah terbiasa menghabiskan waktu sendiri tanpa kehadiran Siti. Aku juga jarang pergi ke kebun belakang setelah 1 bulan berturut-turut menunggu kedatangan Siti di tempat kita biasa bermain. Ia tidak datang. Tidak pernah. Sejak Papa membeli banyak buku-buku baru, aku jadi lebih sering berkutat dengan ratusan lembar halaman dan mengerjakan tugas dari sekolah bersama anak-anak Belanda lain. Meskipun sedikit sekali, beberapa pribumi juga bersekolah disana dan aku tidak bisa tidak mengingat Siti.
Andai saja dia bisa bersekolah disini dan belajar bersamaku. Apakah dia bersekolah di luar negeri untuk melanjutkan mimpi mulianya sebagai dokter? Ataukah dia sedang belajar obat-obatan tradisional di tempat yang jauh untuk mengobati orang-orang yang terluka akibat perang? Setelah hampir 6 bulan tidak melihat batang hidung anak perempuan cerewet itu, aku jadi berpikir bahwa ia memang pergi demi kebaikan. Mungkin dia benar benar mendapat kesempatan untuk belajar di luar negeri untuk menjadi dokter. Suatu hari nanti aku pasti melihatnya di koran berita, kan?
***
Cuaca hari itu sedikit mendung dengan suasana sendu, aku turun dari mobil setelah dijemput supir papa yang juga seorang pribumi. Sekolah hari ini cukup melelahkan karena materi yang padat dan perutku mulai mengerang, aku lapar. Saat melewati ruang tamu, aku melihat papa tengah berbincang dengan salah satu kolega yang terlihat seperti senior tentara karena nada bicara papa yang lebih sopan. Dua gelas teh hangat duduk manis di hadapan mereka, menunggu untuk disantap. Aku tidak berencana untuk membuat suara karena energiku habis sampai aku menyantap makan siang, tapi percakapan mereka di ruang sebelah yang hanya dibatasi tembok tipis menembus telingaku.
“Coba saja si Kasman masih disini. Tanan di tanah belakang milikku tidak akan selayu sekarang. ” ucap senior tentara itu sambil menyeruput teh.
“Sepertinya tidak asing dengan nama Kasman.”
“Kasman yang rajin membersihkan halaman belakang rumahmu sekaligus bekerja untuk kebunku.” Dahiku mengernyit, langkahku yang menuju dapur terhenti sebentar.
“Memangnya Kasman kemana, Sir?” Papa bertanya sesaat sebelum ikut menikmati teh hangat itu.
“Keluarganya tewas dibantai VOC.”
Seperti teringat nama seorang teman.
Tunggu. Siti? Kasman? Jadi selama ini?
Malam itu aku sadar bahwa tidak hanya Siti dan ayahnya yang menghilang, tetapi kewarasanku juga.