Lompat ke konten

Sejuta Rindu untuk Malaikat

Ilustrator : Labib Fairuz
Oleh: Zahira Asmara *

Cerpen ini merupakan lanjutan dari cerpen yang berjudul “Kue Manis Berkumis”, dapat anda baca terlebih dahulu melalui https://lpmperspektif.com/2022/11/13/kue-manis-berkumis/

Sepi. 

Ratna menatap sekelilingnya untuk mengetahui dirinya sedang berada dimana. Tubuhnya terasa kaku dan lehernya terasa pegal hingga dirinya merintih. Rintihannya rupanya memancing beberapa orang mendekati kasurnya. Itu tante Kristin dan Dr. Andy. Ratna kemudian sadar bahwa dirinya masih di poli jiwa.

“Ratna sudah bangun sayang?” Tanya Dr. Andy seketika melihat Ratna. Sapaan itu hanya dijawab anggukan lemah dari Ratna. “Dokter periksa Ratna dulu ya”. Dengan sigap Dr.Andy memeriksa tekanan darah dan detak jantung Ratna. “Semuanya baik, namun tubuh Ratna masih lemah. Memar yang dibuatnya tadi juga masih perlu pengobatan. Ratna bisa menginap dulu di rumah sakit satu sampai dua hari lagi”.

Tante Kristin mengangguk mengerti. “Terima Kasih Dr. Andy” Ucapnya hangat.

Dr. Andy beranjak pergi meninggalkan mereka. Menyisakan seorang tante dan keponakan kecilnya yang sedang terbaring lemah di ranjang poli jiwa. “Ratna istirahat saja, tante akan terus nungguin Ratna disini”.

***

Seuntai kabel infus melingkar di tangan Ratna. Ratna terbaring, tak berniat beranjak dari tempatnya. Membiarkan rasa nyeri bekas suntikan yang masih terasa mengerubungi tubuh Ratna.

Cengkrama kedua orang itu membangunkan Ratna. Mendorongnya untuk mendengarkan tiap kata yang mereka lontarkan. Bagaimana tidak? Karena Ratna sendirilah yang mereka bicarakan. Selalu Ratna! Membuatnya kesal dan jengkel setiapkali ia terus dibicarakan orang lain. Langkah kaki terdengar berlipat ditelinga Ratna. perbedaan suaranya dan langkah kaki mereka, mengartikan ada beberapa orang dengan jenis sepatu berbeda yang mereka kenakan. Dengan cepat Ratna mencoba mengoreksi.

Gorden biru muda yang menjadi penghalang antara sekumpulan orang itu dengan Ratna. Menyisakan bayangan dan sepatu yang dapat dilihat di bawah gorden yang tak menyentuh lantai, khas gorden desainan rumah sakit.

Tidak, bukan dua orang. Disana ada tiga orang, seorang memakai pakaian putih yang kutau itu adalah Dr. Andy dan perempuan paruh baya tidak lain adalah Tante Kristin. Dan ah, benar saja, disana ada seseorang lagi. Samar Ratna nampak seorang dengan  pakaian serba hitam, dan memakai masker, yang bisa ditebak dengan mudah oleh Ratna saat mendengar suaranya yang terdengar terhalangi penutup.

Gorden biru muda itu tergerak mengelombang, semakin menampakkan dengan jelas sepatu-sepatu mereka. Tak khayal, Ratna mengingat sesuatu, sesuatu yang sudah sangat familiar ia lihat.

“Sepatu itu?!”

Ratna mengukuhkan kesadaran dan meyakinkan diri, itu adalah sepatu orang yang selama ini ada dalam mimpinya. Selalu saat Ratna berada di rumah sakit.

“Dia.., om malaikat itu.., jadi selama ini aku tidak bermimpi?!” Ucap Ratna dalam hati.

***

Teringat masa kecilku

Kau peluk dan kau manja

Indahnya saat itu

Buatku melambung

Disisimu… malaikatku

Sentuhan hangat jemarinya di dahi Ratna membuatnya terbagun dari pingsannya. Setelah seorang dokter yang entah sudah berapa kali menyuntikkan cairan ke tubuh Ratna, menyunyiknya kembali hingga Ratna terpungkur lemah dan tidak bisa mengingat apa apa setelahnya. Setidaknya, itu yang Ratna ingat.

Kemudian nyanyian lagu itu yang selalu Ratna ingat ketika Ratna membuka mata. Lagu yang selalu dinyanyikan oleh Ibu saat menidurkan Ratna. Sentuhan tangan itu pula, yang selalu dirasakan Ratna pertama kali setelah kesadarannya hilang oleh cairan yg disuntikkan Dr. Andy pada ku.

Disampingnya, telah ada sosok laki laki bertopi ceper, kacamata hitam dan masker yang menutupi sebagian wajahnya. Entah berapa lama dia telah disini menemani Ratna. Ratna merasa tenang, nyaman seolah membiarkan tiap belaian hangat orang itu menyentuh Ratna.

Dengan berusaha mengumpulkan seluruh kesadaran, Ratna mencoba berteman dengan orang itu. Orang yang bersuara indah, tangan yang lembut dan menenangkan Ratna. Apa dia malaikat Ratna? Pikirnya dalam hati.

“Apa anda om malaikat seperti yang Ibu ceritakan dulu?” Ia mengangguk, membenarkannya. “Kata Ibu, om malaikat bisa mengabulkan permintaan Ratna?” Terus Ratna.

Lagi-lagi ia mengangguk. “Om malaikat, kalau begitu apa bisa datangkan Ibu pada Ratna? Ratna kangen sekali dengan Ibu”

Malaikat itu terdiam, tidak bersuara, tidak juga mengganggukkan kepalanya. Diam begitu saja sambil terus menatap lurus ke arah Ratna. Lembut tangan malaikat ini membelai halus di puncak kepala Ratna.

Malaikat itu beranjak pergi, meninggalkan Ratna wajah penuh harapan akan jawaban “ya” ataupun anggukan kecil yang bisa melegakannya. Ratna beranjak duduk, berniat menanyakan lagi pada malaikatnya yang sudah lima langkah menjauhinya. Namun, kepala Ratna terasa berat, pandangannya kabur. Pandangan terakhirnya tertuju pada satu titik yang nyentrik dari sang malaikat itu, sepatu pantofel hitam yang dikenakan malaikat itu, dengan dua garis putih di bagian belakangnya. Sepersekian detik, Ratna kembali terlelap.

***

“Aku tau maksudmu baik, tapi biarkan dia sembuh dulu. Setelah itu kau bebas membawanya.” Ucap tante kristin pada laki-laki bersepatu pantofel bergaris itu.

Ratna menutup matanya kembali setelah melihat kain gorden digeser perlahan. Seseorang itu akan menghampiri Ratna. Ratna memejamkan mata dengan segera, tidak ingin mereka tau Ratna telah menguping pembicaraan mereka yang selama 10 menit lalu berkutik membahas Ratna. Namun, langkah itu berhenti begitu saja sebelum ia sempat mendekatinya.

“Tolong, Kristin. Jaga malaikat kecilku ini” katanya.

“Pasti”, jawab Tante Kristin.

Helaan pasrah sang malaikat terdengar begitu jelas di telinga Ratna. Tak pernah Ratna bayangkan. Itu Ayahnya. Ayah yang telah memberikan kenangan yang teramat buruk padanya. Entah berapa banyak tangis yang telah dikeluarkan Ibu. Berapa darah yang dikeluarkan Ibu karena pukulan Ayah. Juga bekas luka di tubuh Ibu yang menyakiti Ratna setiap kali Ratna mengingatnya. Semua itu karena Ayah. Ayah yang ketika ia begitu marah, selalu Ibu yang menjadi pelampiasannya.

Pikiran Ratna penuh akan segala pertanyaan itu. Bagaimana seseorang yang jahat, suaranya bisa begitu menenangkan? Bagaimana seseorang yang sudah menyakiti, tangannya bisa begitu halus?

Jauh dalam diri hati Ratna, ia menyadari, tidak pula bisa memungkiri. Ia selalu mendengar suara Ayah di dalam tidurnya. Tidak sebagai orang jahat.

Seperginya Ayahnya, Ratna memberanikan diri membuka mata. Berusaha mencerna kebenaran yang baru saja ia tau. Tante Kristin yang mengetahui itu menghela nafas sambari menatap lekat keponakannya ini.

“Kau harus tau Ratna, Ayahmu yg selalu mengunjungi setiap kali kamu di rumah sakit, hanya saja Ayahmu tidak menunjukkan dirinya. Dia selalu seperti itu, bermasker, bertopi dan kadang berkacamata hitam, menutupi dirinya dari pandanganmu Ratna”, ucap Tante Kristin “Jadi Ratna, Apa yang kamu takutkan dari Ayah kamu?” jelas Tante Kristin dengan penuh senyum hangat.

Bersambung…

(Visited 152 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi 2020 FISIP Universitas Brawijaya. Saat ini sedang aktif di divisi sastra LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?