Mainan kincir angin yang tengah berputar tak sengaja menyita perhatian, tak kuasa pula menancapkan kedua netra sendu dan memandang replika sederhana di tengah-tengah riuhnya pasar. Sekejap tanpa aba-aba, kincir angin pelangi itu tiba-tiba mengalikan ukurannya. Membesar. Meraksasa. Belum selesai bertanya-tanya, tubuh ini tidak lagi berada di pasar melainkan terbaring sebuah ruangan luas. Ah! Sebentar, sebentar. Apa ini? Di permukaan apa aku tergeletak? Ha? Ada yang bergerak. Suara mesin? Mendengung. Meringkik. Mengernyit. Menghimpit. Tanpa tau apa yang terjadi, sebuah benda panjang lembek dan berlendir menciprati wajah, menghalangi pandangan oleh mata kananku. Dekat dengan hidung. Amis. Ini darahku ya? Sepertinya usus deh, karena sekarang rasanya perutku bolong. Dinginnya besi baling-baling besar yang masih warna-warni menggilas lenganku hancur. Selanjutnya jari tanganku tergiling satu per satu.
Crot!
Oh, tidak. Mataku!
Tiba-tiba bunyi gawai menggema, mengalahkan teriakanku yang memutuskan tali suara. “Nak, sore ini jangan lupa kontrol. Kita ke psikiater baru, namanya Dr. Andy.”
Sudah puluhan kali adegan-adegan meresahkan melewati kepalanya sampai pukul dua siang hari ini. Terlalu banyak darah muncrat dan daging yang disayat di fantasinya, semua dibayangkan tanpa sedikitpun suara. Seakan-akan siapapun yang menjadi objek penyiksaan itu tidak lagi punya rasa, dikuasai oleh kekosongan yang pasrah. Tidak tahu caranya melawan, tidak tahu caranya berekspresi. Orang bilang itu adalah titik nestapa yang paling tinggi, tidak lagi peduli pada diri sendiri. Sehingga masuk akal bila objek yang dirusak di kepala Ratna, tak lain dan tak bukan adalah dirinya sendiri yang malang. Malang, tapi layak mendapat siksaan. Seluruh kekacauan yang terjadi di sekitarnya, sedikit banyak pasti ada kontribusi Ratna. Pernyataan tersebut seperti semboyan di kepala perempuan berkulit langsat itu.
“Mengapa tante repot-repot mencari psikiater lain?” pikir remaja 19 tahun, kedua netranya tak sengaja melirik bekas sayatan di kedua pergelangan tangan. Sekilas tapi membekas. Tapi tidak merasakan apa-apa. Ratna sama sekali menolak untuk mengakui bahwa dirinya sakit atau perlu untuk disembuhkan. “Bukannya hidup memang sudah sepantasnya seperti ini? Menyabotase diri sendiri.” Kurang lebih begitu lah kalimat yang ia lontarkan saat kontrol. Semenjak ibu Ratna dipukul sampai mati dan disaksikan dengan kedua mata sendiri, pikirannya tidak pernah luput dari adegan penyiksaan. Ia merasa apabila ia menggantikan posisi ibu saat dianiaya malam itu, mungkin ibu tidak akan mati. Mungkin ia yang akan mati. Mungkin itu adalah pilihan yang lebih baik daripada menghabiskan waktu untuk menjalani hari sebagai mayat hidup. Ibu adalah kontributor terbesar dalam hidup Ratna, tapi ia pergi. Ayah adalah kontributor terbesar dalam kematian ibu, sehingga ia perlu pergi juga. Meskipun begitu, membunuh orang lain selain diri sendiri tidak jadi hal yang menarik di mata Ratna. Kadang ia bangun dari kasur hanya untuk berharap semoga hari ia dilindas truk kemudian mati. Tapi hal tersebut lagi-lagi cuma jadi angan karena harinya berjalan seperti biasa. Tiada kendaraan yang mematahkan lengannya, memuncratkan organ dalamnya atau menewaskannya. Untuk mendekati hal itu, hampir secara tidak sadar ia mencoblos telapak tangan dengan jarum beberapa kali. Sampai akhirnya teriakan Tante Kristin terdengar, ia baru berhenti dan sadar hal bodoh apa yang baru saja ia lakukan.
Sore itu tiba-tiba Ratna sudah berada di depan ruang tunggu Rumah Sakit Jaya Abadi, persis di depan bilik psikiater pojok poli jiwa. Kelima jarinya digenggam erat oleh Tante Kristin, sadar bahwa sayatan di kedua lengannya tengah diperhatikan oleh perempuan berusia 35 tahun itu. Tapi tidak ada yang berbicara. Tante Kristin tidak terlalu vokal dalam menyuarakan simpati atau dukungan, tapi tindakannya cukup keras untuk didengar. Ini memudahkan Ratna karena ia tidak harus menceritakan atau memverbalisasi apa yang ia rasakan, terlalu menguras energi bahkan untuk sekedar memikirkannya.
“Ratna Salim.” Baik si pemilik nama dan tantenya sama-sama memperhatikan sumber suara.
“Silahkan masuk ke ruangan Dr. Andy.” Anggukan dan lirihan terima kasih diucapkan Kristin sebelum ia menggandeng keponakan satu-satunya menuju ruangan berpintu putih, seluruh warna di ruangan itu bernuansa putih. Tidak berwarna dan melambangkan keputusasaan. Tapi ia tidak putus asa, membantu Ratna adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa tidak dipenuhi. Kecuali memang dia ingin mati dalam rasa bersalah. Pintu itu terbuka pelan dan sosok lelaki dengan wajah kebapakan menampakkan dirinya di tengah ruangan. Kacamatanya bertengger rapi di atas hidung, rambut gundul dan tangannya sibuk berkutat dengan folder. Mungkin catatan Ratna juga ada disitu.
“Selamat sore, saya Dr. Andy!”
Lanjutan Cerpen Bersambung (https://lpmperspektif.com/2022/10/30/di-bawah-langit-abu-abu/)