Tahun 2021 lalu ramai terjadi penolakan dari berbagai lembaga perlindungan lingkungan dan mahasiswa terhadap Pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Dari 10 KSPN yang menjadi prioritas Pemerintah, Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) menjadi yang paling banyak mendulang penolakan.
Perencanaan proyek KSPN telah diatur pemerintah untuk melaksanakan pembangunan secara terpadu melalui Rencana Induk Pariwisata Terpadu (RIPT) atau Integrated Tourism Master Plan (ITMP). Proyek ini juga didukung oleh 4 Kementerian atau Lembaga lain yang salah satunya adalah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dengan harapan para wisatawan akan semakin banyak yang tertarik dan tentunya mempengaruhi pendapatan serta ekonomi. Walaupun begitu, proyek KSPN ini, khususnya di TNBTS mendapat banyak penolakan karena dianggap akan mengancam kelestarian lingkungan dan budaya masyarakat setempat.
Sekilas Tentang Program Pembangunan Pariwisata Nasional
Program Pengembangan Pariwisata Terpadu dan Berkelanjutan (P3TB) bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan akses pelayanan serta infrastruktur dasar pariwisata, meningkatkan perekonomian lokal/masyarakat dari pembangunan pariwisata, dan mendorong investasi swasta di Destinasi Prioritas Nasional. Sinkronisasi antar Kementerian dan Lembaga serta dukungan pemerintah daerah diperlukan untuk pengembangan KSPN sebagai destinasi wisata berkelas dunia dengan mengedepankan perlindungan dan penggunaan warisan geologi dan budaya secara berkelanjutan. Pengembangan pariwisata nasional memiliki dua fokus, yakni kuantitas yang berarti fokus pada peningkatan jumlah wisatawan mancanegara dan regional, serta fokus kualitas antara lain peningkatan devisa dan nilai tambah pariwisata, kesiapan destinasi, Industri dan masyarakat, dan citra pariwisata yang berdaya saing nusantara.
Wisata yang dikembangkan di Indonesia tentunya berfokus mengenai wisata alam, budaya, dan buatan. Dalam perencanaanya ini dilakukan setidaknya untuk mendapat gambaran mengenai progres dan tantangan pembangunan infrastruktur pariwisata di tanah air. Namun pandemi Covid-19 menjadi tantangan utama dalam program tersebut, serta memberikan dampak pada kondisi pariwisata. Bila saja benar benar terlaksana dengan baik, maka ekspektasi pembangunan pada bidang pariwisata akan kembali meningkatkan perekonomian nasional dengan makin banyak investasi yang menanamkan modalnya di tanah air.
Untuk program pembangunanya sendiri akan dilakukan pelebaran jalan menuju kawasan TNBTS dan pembangunan jalur baru di kawasan wisata Gunung Bromo, khusus akses dari Malang. Selain itu, ada upaya peningkatan kerja sama dan kolaborasi untuk mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan dan keunggulan wilayah destinasi. Selanjutnya ada BTS Plantae Eco-House and Homestay yang terdiri atas rumah rumah penangkaran flora endemik Taman Nasional BTS, serta homestay yang berfungsi sebagai penyedia akomodasi bagi pengunjung Taman Nasional BTS. BTS Plantae Eco-House and Homestay rencananya akan diletakkan di zona pemanfaatan tradisional. Dalam BTS Plantae Eco-House terdapat fasilitas wisata edukasi mengenai flora-flora di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Pengelola, termasuk pemandu wisata edukasi dari BTS Plantae Eco-House ini merupakan masyarakat setempat yang telah diberikan pelatihan mengenal Ekowisata sehingga dapat mendukung salah satu prinsip ekowisata yakni pemberdayaan masyarakat lokal.
Polemik Mengenai Eksistensi Alam dan Budaya Masyarakat
Mengingat Kembali kejadian yang telah berlalu pada saat pasca revolusi hijau dan pembukaan wisata Bromo oleh periode Orde Baru yang ada pada catatan Hefner dalam bukunya yang ditranslasi ke bahasa dengan judul “Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Gerakan-Gerakan Politik,” pembangunan yang mengikuti arah dunia bergerak atau ‘modernisasi’ juga telah mendorong aneka transformasi sosial, dan turut mengikis nilai tradisional, pemaknaan akan hidup dan alam serta kelestarian. Akhirnya alam tidak lagi dimaknai sebagai bagian setara dari manusia, tetapi berada di bawahnya karena melihat alam hanya sebatas “komoditas.”
Memang segala usaha untuk memanfaatkan alam adalah tindakan yang lumrah dilakukan kalau kebutuhan tidak lagi terpenuhi dalam ruang yang biasa dimanfaatkan. Akhirnya terjadi pergeseran pemanfaatan ke ruang lainnya yang dinilai akan memberikan penghidupan yang baru dan menguntungkan. Keselarasan dengan alam dan pergeseran terjadi karena pembangunan didasarkan pada perspektif teknokratik, sehingga alur perencanaan langsung dari pemerintah ke bawah tanpa melihat dan mendengarkan masyarakat yang tinggal di sana. Hal ini kemudian telah memicu problem yang pelik dan rumit seperti lunturnya pengetahuan lokal yang tidak lagi menganggap tanah dan hutan sakral serta orientasinya yang mulai mengarah ke profit di atas segalanya. Selain itu, perambahan hutan yang juga menyebabkan masalah sosial harus dilihat persoalannya secara mendasar. Bisa jadi perambahan hutan besar didorong oleh aktor-aktor pemodal yang memanfaatkan ketidakpahaman masyarakat.