Malang, PERSPEKTIF – Magang atau internship merupakan suatu kegiatan yang umum bagi mahasiswa. Mayoritas mahasiswa sudah paham dengan istilah ini, pun dengan keberadaannya yang cukup esensial bagi kehidupan perkuliahan mahasiswa. Motivasinya pun beragam. Ada yang murni karena ingin memperlancar jalan karirnya dengan menyusun persiapan sedini mungkin, ada yang hanya melakukan magang demi tuntutan kampus. Apa pun motivasinya, yang jelas, magang tetap menjadi momen penuh warna bagi mahasiswa. Perubahan regulasi, persaingan sengit, ketidakjelasan upah, hingga fenomena hustle culture yang menuntut mahasiswa untuk terus produktif dan progresif, menjadikan bahasan tentang magang seolah tidak ada habisnya.
Ika Widyarini, Dosen Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) menjelaskan terkait esensi magang bagi mahasiswa. Menurutnya, magang untuk program Praktik Kerja Nyata (PKN) lebih diperuntukan bagi mahasiswa dalam mencari pengalaman kerja dan berjejaring.
“PKN sebagai syarat tugas akhir memang tidak didesain untuk mahasiswa menerima imbalan. Jadi, mindset-nya itu belajar, bukan untuk mencari imbalan. Titik berangkatnya pada mencari pengalaman, networking, dan belajar sebanyak mungkin. Seandainya diberi imbalan, alhamdulillah,” jelas Ika (21/12).
Ika juga menjelaskan terkait kebutuhan pemberian upah kepada mahasiswa magang yang selalu disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan mahasiswa. Dilihat dari sudut pandang praktisi Human Resource Development (HRD), Ika mengatakan sulit memberikan upah jika tidak dibarengi dengan kontribusi dari mahasiswa magang.
“Sebagai seorang praktisi HRD, jika saya ingin hire karyawan, maka harus seleksi dengan sangat ketat. Banyak orang yang membutuhkan, sehingga kita perlu memilih yang terbaik. Dan untuk perusahaan yang punya skema imbalan untuk magang, mereka pasti punya batasan waktu (bekerja) minimal tiga bulan. Karena mereka (instansi penerima magang, red) enggak mau rugi juga karena sudah membayar,” tambah Ika.
Polemik Uji Coba Magang Merdeka MBKM
Tahun 2021 menjadi tahun pertama dijalankannya program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB), bagian dari Kampus Merdeka, yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Program pemerintah yang masih seumur jagung ini juga diwarnai dengan berbagai kendala dan kritikan dari peserta MSIB. Salah satunya terkait pencairan upah bulanan.
Yatsabita Nabila Andriana, mahasiswa peserta Magang Merdeka yang diterima di salah satu tech company berbasis di Jakarta ini membenarkan adanya keterlambatan pencairan upah magang. Magang yang berjalan selama enam bulan tersebut seharusnya memberikan upah secara rutin tiap akhir bulan. Namun kenyataannya, keterlambatan sering kali terjadi, bahkan hingga menginjak tiga bulan ia magang di perusahaan tersebut.
“Iya, betul. Ada keterlambatan sekitar 15-20 harian dari akhir bulan. Dan untuk bulan November ini, sudah hampir 20 hari lebih aku belum dapat upah,” terang Yatsabita (18/12).
Keterlambatan upah tersebut tentu sangat berpengaruh baginya. Tidak hanya urusan akomodasi selama magang yang harus ditanggung sendiri, melainkan juga reimbursement atas biaya transportasinya dari domisili awal menuju basis perusahaan yang juga tak kunjung dibayarkan.
“Sangat membebani anak magang, ya. Terutama yang WFO (Work From Office) kayak aku. Mengganggu mobilisasi aku yang perlu memenuhi biaya hidup seperti biaya indekos di sini, karena domisili di Malang,” jelas mahasiswa Hubungan Internasional UB 2018 tersebut.
Serupa tapi tak sama, Alit Bagas Wijayanto, mahasiswa Ilmu Politik UB 2018 yang juga mengikuti Magang Merdeka di startup edutech ini merasakan pula keterlambatan pencairan upah magangnya. Untung saja, regulasi WFH (Work From Home) di tempat magangnya, menjadikan keterlambatan pencairan upah ini tidak begitu berpengaruh secara signifikan.
“Karena aku kerjanya WFH, jadi tidak begitu terasa impact-nya. Tapi teman-temanku yang mereka kerjanya luring itu kerasa banget karena yang dijanjiin dari pemerintah seperti uang transport dan lain sebagainya itu telat,” kata Alit (21/12).
Hustle Culture dan Realitas Magang sebagai Tuntutan Industri
Dewasa ini, fenomena hustle culture atau gila kerja tidak hanya ditemui dari para pekerja tetap di dunia industri saja, melainkan juga sudah mulai merambah di kalangan mahasiswa. Hustle culture sendiri dapat diartikan sebagai budaya yang percaya bahwa kesuksesan hanya dapat diraih jika bekerja keras serta menempatkan pekerjaan di atas segalanya. Bagi mahasiswa, bibit budaya ini dapat dilihat dari adanya tuntutan industri atau pasar kerja yang mengharuskan para pencari kerja untuk punya kompetensi yang mumpuni dan daftar riwayat hidup yang mentereng. Belum lagi bonus demografi di Indonesia saat ini yang menyebabkan persaingan kerja semakin sengit. Mahasiswa pun berlomba-lomba menjadi yang “terbaik dan tercepat” dengan semaksimal mungkin produktif di sela-sela rutinitas perkuliahan tiap harinya.
Alit mengakui adanya fenomena tersebut akhir-akhir ini. Menurutnya, budaya ini ada karena tuntutan industri.
“Itu tuntutan pekerjaan fulltime yang mana kita harus punya pengalaman kerja minimal setahun sampai tiga tahun. Dan itu didapat dari pengalaman magang atau dengan mencari pekerjaan fulltime namun dengan pengalaman yang nol. Dan itu susah sekali,” katanya.
Fenomena hustle culture di kalangan mahasiswa ini dapat pula dilihat dampaknya pada pelaksanaan magang. Karena tuntutan harus punya pengalaman sebelum terjun langsung di dunia kerja, para mahasiswa ini pun dengan sukarela menceburkan diri di sistem magang yang –di beberapa kasus— eksploitatif. Alit berpendapat adanya eksploitasi tenaga kerja magang ini juga merupakan dampak dari Undang-Undang “Sapu Jagat” Cipta Kerja.
“Karena memang sistemnya sudah eksploitatif setelah adanya undang-undang sapu jagat itu. Dan karena tuntutan kapitalisme juga, yang mana mahasiswa butuh pengalaman kerja, dan perusahaan butuh tenaga kerja murah. Jadi, titik tengahnya, ya, di magang. Tinggal kita sebagai mahasiswa saja yang perlu detail lagi mencari tempat magang yang proper,” jelas Alit.
Elisa Novie Azizah, mahasiswa Ilmu Politik UB 2018, termasuk salah satu yang sangat memperhitungkan produktivitas selama masih di bangku kuliah. Sejauh ini, ia sudah mengikuti kegiatan volunteer, kerja, dan magang hingga lebih dari tujuh kali. Menurutnya, nilai-nilai hustle culture tidak sepenuhnya negatif.
“Menurutku bagus bagi beberapa orang karena fenomena ini bisa membentuk karakter bangsa kita untuk tidak malas. Karena kalau dibandingkan dengan negara maju, orang negara kita itu masih tertinggal,” jelas Elisa (19/12).
Lebih lanjut, ia mengatakan, “Untuk orang yang tidak mau gila kerja dan mengikuti perkembangan zaman, ya, dia akan tertinggal.”
Normalisasi hustle culture atas dasar tuntutan dunia industri dan perkembangan zaman ini ditanggapi Ika sebagai dampak dari kecenderungan mahasiswa untuk berusaha relevan dengan standar di masyarakat.
“Tergantung pribadinya. Mahasiswa yang muda-muda ini suka takjub-takjub. Lihat ini keren, lihat itu keren. Segala-gala jadi goals. Tapi yang perlu juga menjadi goals adalah tentang mengenal diri sendiri,” terang Ika.
Meskipun budaya ini sering kali bermuara pada beban berlebih atas kesejahteraan fisik dan mental bagi yang merasakan, namun tidak bisa dipungkiri, hustle culture juga dimaknai sebagai suatu konsep yang mampu membentuk karakter dan membawa kemajuan bagi seseorang. Ika menambahkan, “Meskipun keteteran, semua harus mengalami. Mahasiswa juga harus mengalami keteteran supaya bisa mengukur diri sendiri. Demikian juga dengan memisahkan antara ekspektasi dan realita.” (da/ais)
========
Tulisan ini pertama kali diterbitkan dalam Buletin Redaksi Edisi 3 Tahun 2021 dengan judul “Diorama Kampus Merdeka” pada 28 Desember 2021.