Malang, PERSPEKTIF – Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) telah diresmikan sejak tahun 2020 oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbud Ristekdikti), Nadiem Anwar Makarim. Program MBKM sendiri memiliki beberapa program turunan, misalnya Kampus Mengajar, Magang Merdeka, Pertukaran Mahasiswa Merdeka, Pejuang Muda, Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik, Studi Independen, serta Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA).
Namun, dalam pelaksanaannya Program MBKM memiliki berbagai permasalahan. Dalam tahun pertamanya, berbagai masalah muncul terhadap mahasiswa yang berpartisipasi dalam program tersebut. Misalnya tentang permasalahan konversi SKS, alokasi uang saku bulanan, akomodasi, fasilitas, serta sistem pengawasan dari kampus maupun kementerian terkait.
Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM)
PMM merupakan salah satu program naungan MBKM yang memiliki bentuk pertukaran mahasiswa antar kampus di Indonesia. Secara teknis, mahasiswa yang mengikuti PMM akan ditempatkan di kampus penerima secara acak, namun tetap memperhatikan preferensi jurusan pilihan mereka. Pemilihan acak kampus penerima mahasiswa yang mengikuti PMM bertujuan untuk melakukan pemerataan pendidikan tinggi di Indonesia.
Mahasiswa Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Brawijaya (UB), Miranda Nurul Anisa, menceritakan pengalamannya ketika mengikuti PMM. Ia diterima di Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT). Selain memenuhi mata kuliah pilihannya di sana, ia memiliki mata kuliah wajib yang bernama Modul Nusantara. Mata kuliah tersebut memiliki kegiatan berupa kunjungan ke tempat-tempat bersejarah di Kalimantan Timur. Namun, ia dan rekan-rekannya yang lain harus mengikuti agenda Modul Nusantara secara daring karena pandemi.
“Aku ikut program 50-50 dengan kampus asal. Jadi di sana (UMKT, red) aku mengambil dua mata kuliah dan mata kuliah wajib yaitu Modul Nusantara. Namun karena pandemi, harus diikuti secara online,” tutur mahasiswa Angkatan 2019 tersebut.
Konversi Sistem Kredit Semester (SKS) masih menjadi isu utama dalam program PMM. Miranda mengalami kendala dalam konversi SKS di UB. Kampus penerima Miranda merupakan kampus swasta yang memiliki perbedaan poin dan bobot penilaian dengan UB. Selain itu, adanya perbedaan jurusan juga memengaruhi konversi SKS di UB. Akibatnya, jumlah mata kuliah bebas yang ia ambil harus dipotong menjadi 3 SKS dari total 6 SKS.
“Kampus penerimaku itu kampus swasta. Jadi, ada kesulitan konversi SKS di UB. Setelah aku diskusi dengan dosenku, akhirnya mata kuliahku yang semula 6 SKS dipotong jadi 3 SKS,” tuturnya (13/12).
Dari awal pelaksanaan PMM, Miranda dan kawan-kawannya di UMKT belum menerima uang saku dari Kemendikbud. Seharusnya, Miranda memperoleh Rp 700.000 perbulan dan diberikan selama empat bulan. Ketika Miranda menanyakan kepada penanggung jawab PMM UMKT, tetap belum ada jawaban terkait jatuh tempo pencairan dana uang saku tersebut.
Pejuang Muda
Pejuang Muda merupakan salah satu program MBKM dengan fokus pengabdian kepada masyarakat. Pengabdian tersebut dilakukan oleh mahasiswa seluruh Indonesia di berbagai daerah, terutama di pedesaan. Konsep kegiatan ini merupakan bentuk kerja sama pemberdayaan masyarakat oleh mahasiswa dengan pemerintah daerah, tokoh adat dan agama, serta seluruh lapisan penggerak pembangunan masyarakat di setiap daerah. Peserta Pejuang Muda dapat mengonversikan sebanyak 20 SKS di suatu semester. Program ini juga melakukan kolaborasi dengan Kementerian Sosial (Kemensos).
Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UB, Jessica Ari Ayu, menceritakan kesempatannya bergabung di Pejuang Muda. Ia mendapatkan daerah pengabdian di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, dengan akses yang menurutnya cukup sulit.
“Akses dari rumah ke Lombok Barat enggak sulit karena pakai pesawat terbang, tapi kalau di Lombok Barat ada tiga kategori, ya. Karena dibagi ke tiga kecamatan dengan medan yang landau, sulit dan sulit banget,” jelasnya (12/12).
Masa pengabdian Pejuang Muda bersamaan dengan waktu kuliah Jessica di kampus asalnya. Ia masih bisa membagi waktu antara kuliah, pengabdian, dan waktu kerjanya, meski terkadang Jessica merasa kesulitan.
“Berbenturan, namun bisa teratasi meski sulit. Kerja sambil kuliah masih bisa karena kuliah masih online juga,” ungkap Jessica.
Selain itu, fasilitas yang tersedia di tempat pengabdian cenderung minim karena tidak ada akomodasi kendaraan dan rumah pengabdian untuk para mahasiswa yang ikut dalam Pejuang Muda. Jessica dan teman-teman membayar sendiri.
“Sewa rumah dan sewa motor semua bayar sendiri, fasilitas rumah dari pejuang muda tidak ada,” tuturnya.
Pembiayaan dari Pejuang Muda untuk output pengabdian menurut Jessica cukup untuk biaya hidupnya di tempat pengabdian dengan pemberian jangka waktu pembiayaan sekitar 15 hari sekali. Sayangnya, Jessica tidak bisa memberikan informasi tentang berapa pembiayaan Pejuang Muda secara rinci.
Indonesian International Student Mobility Award (IISMA)
IISMA dapat disebut sebagai program unggulan yang diselenggarakan oleh MBKM karena merupakan hasil kerja sama antara Kemendikbud Ristekdikti dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Melalui program ini, mahasiswa asal Indonesia dapat mengambil mata kuliah di berbagai perguruan tinggi luar negeri (PTLN) yang merupakan mitra dari MBKM dan LPDP. Mahasiswa asal Indonesia yang mengikuti program ini pun berkesempatan untuk mendapatkan mata kuliah hingga 20 SKS. Dengan periode pembelajaran selama satu semester, mahasiswa asal Indonesia dibekali beberapa fasilitas, seperti biaya registrasi, tes PCR, asuransi kesehatan, tunjangan hidup, tunjangan transportasi, dan pengurusan visa.
Mahasiswa Jurusan Sosiologi FISIP UB, Putra Satria, menceritakan pengalamannya sebagai salah satu penerima IISMA yang diberangkatkan ke Palacký University, Republik Ceko. Menurutnya, IISMA masih belum memiliki penugasan yang lengkap bagi para penerimanya.
“Jadi beberapa dari kita (penerima beasiswa) tersibukkan karena jalan-jalan, seperti Eurotrip. Itu bukan tujuan dari IISMA, walaupun IISMA tidak melarang kita Eurotrip,” ucapnya saat diwawancarai melalui Zoom pada Senin (13/12).
Menurutnya, IISMA seharusnya memiliki penugasan yang lengkap dan menerapkan pengawasan yang lebih detail kepada para penerima yang diberangkatkan mengingat pembiayaannya berasal dari pajak. Selain itu, Satria mengharapkan bahwa IISMA memiliki kegiatan wajib bagi para penerimanya agar waktu selama satu semester di negara tujuan bermanfaat bagi penerima, kampus, dan negara.
Satria juga merasakan pengawasan dari International Office (IO) UB kurang mencapai para penerima IISMA asal UB dengan baik, sehingga tidak seperti universitas lain yang memberikan tugas khusus bagi penerima IISMA, seperti jalin relasi ke lembaga di negara penerimanya.
Walaupun demikian, Satria juga merasakan hak istimewa yang didapatnya dari UB dan IISMA. Misalnya, fasilitas untuk mendapatkan nilai Test of English as a Foreign Language (TOEFL) yang hanya membutuhkan waktu dua hari, persyaratan administrasi yang mudah, dan skema pembiayaan akomodasi yang lancar.
“Hasilnya (TOEFL, red) keluar dua hari setelah tes untuk memenuhi persyaratan administrasi mendaftar IISMA di website Kampus Merdeka,” pungkasnya. (bel/bpn/mim)
========
Tulisan ini pertama kali diterbitkan dalam Buletin Redaksi Edisi 3 Tahun 2021 dengan judul “Diorama Kampus Merdeka” pada 28 Desember 2021.