Menurut Naskah Akademik Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendefinisikan arti dari kekerasan seksual sebagai setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang atau tindakan lainnya yang terkait dengan nafsu perkelaminan atau hasrat seksual seseorang yang dilakukan secara paksa atau bertentangan dengan kehendak seseorang tersebut. Komnas Perempuan membagi kekerasan seksual ke dalam 15 bentuk yakni: pelecehan seksual, pemaksaan kawinan, kontrol seksual, pemaksaan aborsi, prostitusi paksa, pemaksaan kontrasepsi, praktik tradisi, pemaksaan kehamilan, pemerkosaan, penyiksaan seksual, penghukuman bernuasa seksual, intimidasi seksual, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual.
Korban dari Kekerasan seksual tidak hanya perempuan tapi pria dan anak-anak juga bisa menjadi korban dari kekerasan seksual. Namun perempuan menjadi mayoritas korban dari kekerasan seksual, dengan jumlah pelaporan sebanyak 431.471 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi sepanjang 2019. Angka tersebut mungkin saja bisa lebih sebab banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan oleh korban dengan berbagai alasan. Hal tersebut terjadi salah satunya karena masih ada stigma buruk yang diberikan oleh masyarakat terhadap korban dari kekerasan seksual.
Pelaku dari kekerasan seksual sendiri umumnya berasal dari keluarga, pacar, sahabat sendiri atau bisa dikatakan orang-orang terdekat korban dan sering melakukan interaksi dengan korban. Tetapi kekerasan seksual bisa juga dilakukan oleh orang asing yang belum dikenal sebelumnya. Kekerasan seksual bisa saja dilakukan oleh siapapun tanpa memandangan latar belakang pelaku, baik itu dari tenaga pendidik, guru spiritual, bahkan orang tua sekalipun. Kekerasan seksual bisa terjadi dimanapun tidak peduli itu di tempat publik seperti kampus, halte dan bahkan di sarana peribadatan. Pelaku Kekerasan seksual menjadi “monster mengerikan” yang siap beraksi dimanapun dan kapanpun.
Masyarakat Indonesia masih memberi stigma buruk para korban kekerasan seksual ini, meskipun tidak semuanya begitu. Salah satu stigma di masyarakat terhadap korban kekerasan seksual adalah “wanita nakal atau wanita malam” yang menggunakan pakaian minim sehingga mengundang hasrat seksual orang lain. Selain itu, adanya stigma bahwa kekerasan seksual adalah aib yang harus dipendam dan tidak seharusnya diceritakan ke orang lain. Kedua stigma tersebut paling sering digunakan untuk “melabeli”para korban kekerasan seksual. Dari stigma-stigma tersebut, justru akhirnya korban kekerasan seksual yang dikucilkan dari masyarakat karena dianggap memalukan dan menjadi aib masyarakat. Keluarga korban kekerasan seksual juga mendapatkan dampaknya yakni dilabeli sebagai keluarga yang “gagal” atau bahkan keluarga “nakal” karena salah satu anggota keluarga mereka menjadi korban kekerasan seksual.
Kekekerasan seksual di masyarakat dianggap ke dalam ranah pribadi atau privasi terlebih lagi kekerasan seksual yang dilakukan di dalam keluarga atau dalam rumah tangga, sehingga banyak dari korban kekerasan seksual tidak mau melaporkan kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada pihak berwenang. Dalam banyak kasus, bahkan korban tidak mau menceritakan apa yang mereka alami ke orang-orang terdekat mereka. Korban akan lebih cenderung memendam dan mengurung diri karena mereka malu dengan beredarnya stigma bahwa mereka tidak bisa menjaga kehormatannya.
Stigma buruk dari masyarakat ini menjadi “tembok penghalang” untuk para korban berani berbicara dan melaporkan apa yang mereka alami kepada pihak berwenang. Efek domino karena tidak banyak yang berani melaporkan kekerasan seksual, maka akan timbul kasus-kasus kekerasan sekual lagi dan lagi. Para “monster seksual” merasa dirinya aman karena adanya perlindungan dari “stigma buruk masyarakat”.
Para korban kekerasan seksual akan mengalami berbagai dampak. Salah satu dampak yang langsung mereka alami adalah trauma terhadap kejadian yang dialami. Selain itu, mereka akan mendapatkan berbagai stigma buruk di masyarakat yang menyebabkan adanya gangguan psikologi, depresi, dan perubahan perilaku baik dari diri sendiri maupun lingkungan luar. Adanya dampak kesehatan seperti gangguan fungsi reproduksi, luka secara fisik, dan potensi penyakit menular seksual juga membayangi korban. Karena dampak yang begitu hebat tersebut tak jarang para korban kekerasan seksual lebih memilih untuk bunuh diri.
Stigma buruk bagi korban kekerasan seksual di masyarakat harus dihilangkan dengan memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa korban harus dilindungi dna tidak perlu dilabeli berbagai hal. Pemberian edukasi ini tidak bisa dilakukan oleh pihak-pihak terkait seperti Komnas Perempuan atau pihak kepolisian saja, tetapi semua elemen masyarakat harus turut serta melakukan revolusi ke arah positif dengan mewujudkan masyarakat ramah dan aman kepada korban kekerasan seksual. Pemberian edukasi bahwa mereka korban dari hasrat seksual pelaku bukan karena perilaku dan penampilan korban juga diperlukan akibat masih banyaknya asumsi-asumsi masyarakat yang menyalahkan korban karena pakaian yang dikenakan korban atau korban berpergian sendiri.
Berhenti menganggap bahwa kekerasan seksual adalah sebuah aib yang harus dispan. Hal ini akan semakin membuat pelaku kekerasan seksual menjadi-jadi karena mereka merasa aman. Memberikan motivasi moril kepada korban kekerasan seksual sangat penting supaya mereka berani melapor. Pada dasarnya, korban membutuhkan orang yang dapat dipercaya untuk mereka berlindung dan merasa aman untuk mengatakan kejadian yang dialaminya.