Oleh: Christanti Yosefa*
Aku adalah seorang murid kelas 6 SD biasa yang hidup di kampung yang biasa-biasa saja. Rutinitas di kampungku juga biasa saja, seperti tidak ada sesuatu yang luar biasa terjadi di kampungku. Tidak pernah ada kejadian menegangkan, mengejutkan, mendebarkan, atau hal-hal seru lainnya. Kampungku hanya seperti kampung-kampung pada umumnya dimana segalanya seperti siklus yang berputar terus menerus, dan rutinitas bukan lagi sesuatu yang perlu dipertanyakan atau dicari jawabnya. Singkatnya, kampungku membosankan sekali.
Tapi, pada suatu hari, ketika April yang cerah dan semakin meningkatnya suhu ibukota, keadaan di kampungku mulai berubah.
Berbeda dari hari-hari biasa di kalangan ibu-ibu, hari itu tampaknya telah terjadi sesuatu yang luar biasa. Dari pagi hari sebelum berangkat sekolah, Ibu tampaknya khawatir sekali. Berkali-kali ia menggerutu sembari mencuci piring, bahkan menyiapkan bekal dan memberi salim padaku dilakukannya dengan tidak sepenuh hati. Raut wajahnya terlihat kesal, jengkel, tapi juga khawatir. Aku bertanya-tanya apa yang terjadi. Dalam perjalanan menuju sekolah yang hanya sepuluh menit ditempuh dengan jalan kaki, aku bertemu ibu-ibu lainnya juga terlihat sama dengan ibu. Gerobak tukang sayur jauh lebih ramai, bukan cuma semakin banyak ibu-ibu yang berkumpul, tapi juga ocehan kesana kemari yang seperti heboh sekali.
Aku menyapa Bu Pardi yang sedang memilih sayur. Ia hanya tersenyum sekilas lalu kembali bergunjing dengan ibu-ibu lainnya. Aku mendengarnya sedikit saja.
“Tidak mungkin ia kembali!” bisik Bu Har, seorang yang kaya dan suka memakai banyak perhiasan.
“Iya! Padahal kehidupan di kampung kita sudah baik dan tentram! Apa jadinya kalau ia kembali?” ucap Bu Jamila. Wajahnya jelas tampak begitu kesal. “Kita harus protes ke Pak RT! Apa-apaan itu kalau dia diterima kembali? Sudah menganggu ketentraman kampung kita! Kalau perlu kita ramai-ramai kesana dan usir dia!” Bu Jamila begitu berapi-api. Bu Pardi dan ibu-ibu lainnya mengangguk-angguk setuju. Ia seperti pemimpin demo yang jago menyulut semangat ibu-ibu. Apa ya itu namanya, oh iya, kalau tidak salah namanya orator.
Aku hanya bertanya-tanya dalam hati. Siapa yang akan datang? Siapa yang membuat mereka begitu khawatir? Siapa yang sedang mereka bicarakan? Aku sungguh penasaran karena keadaan di kampungku yang semula biasa saja sekarang terlihat menakutkan.
Sepanjang jalan, tidak hanya ibu-ibu, bapak-bapak pun juga ramai. Anehnya, mereka tidak terlihat ketakutan. Mereka lebih tenang dan meskipun sama-sama membicarakan tentang ‘kedatangannya’, mereka tidak terlihat sekhawatir ibu-ibu. Beberapa kali aku lihat mereka bergunjing tentangnya di pos ronda maupun di bengkel Pak Narto. Apa hanya aku yang tidak tahu apa yang sedang terjadi? Sepertinya tidak. Anak-anak kampung yang lain juga biasa saja dan juga tidak tahu menahu perihal ini.
***
Siang yang terik membuatku segera ingin sampai di rumah dan duduk dekat kipas angin. Aku sedang dalam perjalanan pulang sekolah saat bertemu dengan Mbak Ais, tetanggaku. Hari ini ia aneh sekali. Aku melihatnya memakai baju ketat dan rambut terurai dengan dandanan yang menor. Hari masih siang tapi Mbak Ais sama sekali tidak terlihat kepanasan.
“Mau kemana, Mbak?”sapaku. Mbak Ais menoleh dan tersenyum centil.
“Udah pulang, Ri? Mau ke warung Mbok Sri,” jawabnya dengan centil juga.
Aku tersenyum dengan tatapan heran. Ke warung Mbok Sri? Dengan pakaian seperti akan ke kondangan? Apa yang terjadi dengan orang-orang di kampungku?
Aku segera melanjutkan perjalananku menuju rumah. Aku berjalan lebih cepat karena ingin segera bertanya pada Ibu. Di rumah, Ibu tidak ada. Ia hanya meninggalkan secarik kertas berisi memo. Aku membacanya.
“Ibu pergi membeli beberapa barang. Makanan sudah di meja, seragammu jangan lupa digantung. Kalau Ayah pulang duluan jangan boleh pergi kemana-mana.”
Aku tertegun. Ibu tidak biasanya seperti ini. Ia selalu ada di rumah saat aku pulang sekolah. Barang apa yang dibelinya? Apa sepenting itu? Kenapa tidak mengajakku?
Aku tidak memikirkan memo dari Ibu lagi dan segera menggantung seragamku. Lalu aku menuju dapur dan mengambil sayur asem serta tempe bacem yang Ibu masak. Ah, rasanya tawar! Apa Ibu tidak fokus saat memasaknya? Mengapa segalanya berubah? Ibu ini kenapa? Apa yang terjadi di kampungku? Aku semakin heran dan bertanya-tanya.
Ibu baru pulang sore hari, sekitar jam 3. Disusul Ayah yang datang dari kantor jam 5. Dengan wajah cemberut dan gundah, Ibu langsung menuju dapur dan menyiapkan makan malam seadanya. Ia terlihat seperti tidak bersemangat dan bahkan tidak menyapa Ayah sama sekali. Di meja makan, aku tidak pernah melihat Ibu seperti itu.
“Mengapa Ibu beli banyak kosmetik dan baju? Bukankah dua bulan yang lalu kita sudah beli baju?”tanya Ayah tenang sembari mengunyah nasi.
“Loh? Memangnya tidak boleh? Aku kan’ ingin terlihat cantik,” jawab Ibu ketus. Ayah terkejut.
“Cantik? Kau sudah cantik. Tidak perlu menghabiskan uang untuk hal seperti itu. Tahun depan Riri masuk SMP,” jawab Ayah berusaha untuk tidak terpancing.
“Betulkah itu? Bagaimana kalau ia datang lagi dan kau terpikat padanya? Kau bilang ini tak perlu, hah? Aneh. Aku ingin lihat bagaimana reaksimu ketika ia datang,” tantang Ibu yang semakin memuncak emosinya.
“Kau bicara tentang siapa?”
“Siapa lagi? Jangan berlagak tidak tahu! Semua laki-laki di kampung ini ribut begitu dengar dia akan datang lagi! Kau juga senang kan? Bilang saja!” Ibu berteriak. Aku semakin diam dan ketakutan.
“Jangan berteriak! Ini sudah malam! Aku lelah pulang kerja dan malah kau ajak bertengkar!” Ayah mulai terpancing dan nada suaranya meninggi.
“Tuh, kan! Kau mengakuinya juga kan! Kau mengakui bahwa kau senang!” Ibu emosi dan matanya mulai memerah. “Mengapa dia harus datang lagi?! Dia sudah diusir dari kampung ini! Dasar! Wanita macam apa dia!” kemarahan Ibu mulai berubah menjadi tangisan.
“Ia tidak akan datang,”kata Ayah. “Sera tidak akan datang. Pak RT pasti sudah melarangnya datang. Lagipula Bu Dwi tidak akan menerima Sera di kos-kosannya lagi,”
“Tapi tetap saja! Wanita itu akan datang dan membuat kampung ini tidak lagi tenang!” Ibu membanting sendok ke atas piring dan beranjak dari kursi. Ia membanting pintu kamar dan aku tidak melihatnya keluar sampai besok pagi.
Siapa Sera? Kenapa Ibu terlihat begitu frustasi? Aku melihat ke arah Ayah.
“Apa yang Ibu bicarakan, Yah?” tanyaku.
Ayah menggeleng. “Bukan apa-apa. Habiskan makananmu.”
Aku ingin bicara tapi aku takut Ayah marah. Aku menghabiskan makananku dan masuk ke kamar untuk belajar.
***
Siang hari itu, sepulang sekolah, aku berniat membeli alat gambar di toko alat tulis. Aku melewati jalan lain ke kampung yang agak jauh. Di ujung gang, aku melihat seorang perempuan cantik yang mengenakan blus biru tua dan celana kain. Ia membawa tas besar dan map cokelat. Ia menyeka peluh di dahinya. Rambutnya panjang sebahu dan bibirnya merah muda. Kulitnya putih halus dan ia memang benar-benar cantik. Kakak perempuan itu memintaku berhenti dan tersenyum.
“Kau tahu kos-kosan dekat tempat ini?” tanyanya.
Aku berpikir sejenak. “Kurasa ada, Kak.”
“Dimana?”
“Di rumah Bu Dwi.”
Ia terlihat berpikir sebentar. “Dimana itu?”
“Masuk gang. Agak jauh kalau jalan kaki.”
“Kau mau mengantarku kesana?”
“Aku harus beli pensil dan buku. Kakak lurus saja lalu belok kanan. Dekat warung Mbok Sri.”
Wanita itu tiba-tiba terdiam dan raut wajahnya berubah. Ia tidak lagi tersenyum dan wajahnya seperti menyembunyikan sesuatu. Matanya seolah menyiratkan sesuatu yang sedih.
“Aku ada urusan. Sepertinya itu jauh. Aku cari kos-kosan lain saja. Terima kasih, ya.” ia pamit dan meninggalkanku.
***
Dalam perjalanan pulang, aku bertemu Mbak Ais. Ia memanggilku.
“Menurutmu baju apa yang bagus, merah atau kuning?”
“Merah,”jawabku. “Ada apa, Mbak?”
“Tidak apa… Eh, kau sudah dengar kabarnya belum?”
“Kabar apa?”
“Sera akan datang!”
“Sera siapa?”
“Cewek cantik sekali. Dulu dia warga kampung sini. Tapi dia pindah.”
“Mengapa pindah?”
“Katanya diusir.”
“Mengapa?”
“Katanya diusir Pak RT karena tindakan asusila dan bikin onar di kampung,”
“Apa itu asusila? Bikin onar apa?”
“Tidak tahu. Dia bikin ibu-ibu cemburu.”
“Cemburu kenapa?”
“Nggak tahu, pokoknya waktu itu heboh.”
“Mengapa ia kembali?”
“Entahlah. Tapi tidak ada yang menerimanya di kampung ini lagi,”
“Mbak pernah bertemu dengannya?”
“Belum. Tapi katanya cantik. Cantik dia atau aku, ya?”
Aku menahan tawa. Aku kembali meneruskan perjalanan setelah berpisah dengan Mbak Ais.
Oh, jadi Sera yang akan datang, pikirku. Bagaimana rupanya, ya? Sementara itu, ibu-ibu semakin gencar bergosip tentang Sera. Semakin hari selalu ada berita terbaru tentangnya. Ada yang bilang ia datang bersama suaminya, anaknya, bahkan ada yang bilang Sera dapat karma dan wajahnya tersiram air panas. Sera seakan menjadi bahan pembicaraan yang seru dimana-mana. Semakin gencar berita tentang Sera, semakin ibu-ibu berlomba-lomba mempercantik diri. Ini adalah fenomena baru di kampungku.
Cerita lama tentang Sera pun terbuka kembali. Kali ini simpang siur. Ada yang bilang Sera selalu membawa laki-laki tak dikenal di kos-kosannya. Ada yang bilang pekerjaannya tak benar. Ada pula yang bilang ia pakai susuk untuk memikat bapak-bapak di kampung. Yang paling heboh, ada yang bilang Sera hampir saja merusak rumah tangga orang lain di kampung kami. Hingga, pada suatu hari beberapa tahun yang lalu, seluruh ibu-ibu di kampung kami ramai-ramai mengunjungi kos-kosan Bu Dwi dan memaksa Sera pergi. Sera berkali-kali memohon ampun dan meminta penjelasan. Kata Mbak Ais, ia sampai diseret-seret di depan kos-kosan Bu Dwi dan menangis. Ia bilang ia bukan wanita seperti itu. Pak RT tidak mau kehebohan ini terjadi lagi. Ia mengusir Sera dan tak memperbolehkannya tinggal di kos-kosan Bu Dwi. Betapapun, Sera menangis keras-keras karena inilah satu-satunya tempat tinggalnya. Tapi, tidak pernah ada yang benar-benar mengenal Sera dan mengapa ia begitu memohon untuk tetap tinggal. Tidak pernah juga ada yang benar-benar tahu versi cerita mana yang paling benar tentang Sera dan menyimpulkan segalanya menjadi satu hal: ia adalah perusak rumah tangga orang lain. Kehebohan bapak-bapak, kemarahan warga kampung, maupun murka ibu-ibu mengarahkannya menjadi penyebab dari semua kehebohan ini, dan satu-satunya jalan yang harus dilakukan adalah mengusirnya dari kampung. Dan Sera, ia tak pernah mendapat kesempatannya untuk bercerita yang sesungguhnya karena Pak RT keburu mengusirnya alih-alih berembug bersama. Aku mendengar cerita tentangnya yang simpang siur dimana-mana, di warnet, di bengkel, di toko, di jalan, di gang, di depan rumah, semua tentang Sera.
Tapi, Sera tidak kunjung datang. Baik Sera maupun perempuan cantik di ujung gang itu aku tidak pernah melihatnya lagi. Berita tentang Sera semakin lama semakin tenggelam. Pembicaraan ibu-ibu saat belanja di tukang sayur bukan lagi tentang Sera. Berita itu tampaknya hanya kebohongan belaka karena Sera tidak diketahui rimbanya dimana. Lama kelamaan pembicaraan tentang Sera tergantikan oleh harga cabai yang meningkat pesat. Aku tidak mengenal Sera, tidak pernah bertemu dengannya dan tidak tahu versi siapa yang benar tentangnya. Akan tetapi, Sera sudah menjadi fenomena di kampungku dan pernah benar-benar menghebohkan kaum ibu-ibu.
Aku penasaran apa jadinya jika suatu ketika aku terbangun dan tiba-tiba mendengar bisik-bisik itu lagi, “Sera akan datang ke kampung kita!”
***
*)Penulis merupakan mahasiswi Hubungan Internasional angkatan 2018 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Saat ini aktif di Divisi Sastra LPM Perspektif.