Malang, PERSPEKTIF – Sama seperti tahun lalu, mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) angkatan 2016 juga harus mengalami keterlambatan penerimaan seragam almamater. Mereka kemudian tidak memiliki kesempatan yang sama dengan mahasiswa baru universitas lain yang mengenakan jas almamater ketika upacara penerimaan mahasiswa baru. Keterlambatan ini tidak hanya untuk jas almamater, melainkan juga jaket dan kaos almamater UB.
Perkembangan terakhir yang Perspektif dapatkan, pada tanggal 29 September, pemendang tender seragam almamater UB, PT. Dailbana Prima, telah melakukan serah terima jas almamater dengan bagian pengadaan UB. Dan, pada 30 September lalu sudah memulai pendistribusian jas almamater ke beberapa fakultas setelah melakukan serah terima dengan bagian Kemahasiswaan Rektorat. Minggu ini, mahasiswa baru sudah mulai dapat menerima jas almamater.
Terkait permasalahan seragam almamater ini, Wakil Dekan III FISIP, Akhmad Muwafik Saleh mengungkapkan kekecewaannya. Menurutnya, almamater ini mestinya menjadi tanggung jawab universitas, bukan fakultas. Selain itu, sudah menjadi hak mahasiswa. Ia juga mengeluhkan pelimpahan masalah ini ke fakultas kemudian ke bagian kemahasiswaan.
“Nah kalau sudah seperti ini, tahun kemaren itu mahasiswa demo karena tidak diserahkan. Nah setelah ada demo dan protes mahasiswa, baru diserahkan pada fakultas, diberikan kepada bidang atau pihak kemahasiswaan,” keluhnya.
Mengenai hal tersebut, Muwafik kemudian mempertanyakan keseriusan pihak rektorat. Sebab, lanjutnya, seharusnya seragam almamater sudah dapat diterima oleh mahasiswa baru ketika mereka masuk. Ia mencatat, tiga tahun terakhir seragam almamater untuk mahasiswa baru dibagikan terlambat.
“Sudah selama tiga tahun ini mahasiswa baru menerima almamater setelah satu semester. Ini kan tidak becus pengelolaaannnya,” tegas Muwafik.
Terkait fasilitasi, ia menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan protes dan memberikan solusi supaya lelang pengadaan seragam almamater dilakukan satu tahun sebelumnya. Sehingga sebelum mahasiswa masuk pengadaan almamater sudah bisa selesai.
“Saya sudah menyampaikan kekecewaan dan solusi sudah saya sampaikan sejak tahun lalu namun tidak digubris,” katanya.
Ditemui di ruangannya, Kepala Sub Bagian Pengadaan UB, Siti Marpu’ah mengakui adanya keterlambatan. Namun, ia menolak anggapan itu dan menegaskan tidak ada kesengajaan terkait terlambatnya pengadaan seragam almamater ini.
“Tidak ada unsur kesengajaan segala macam. Kita bekerja transparan,” kata Marpu’ah.
Ia kemudian menjelaskan bahwa memang ada rencana untuk membagi jas almamater sebelum PKKMU sehingga bisa digunakan untuk upacara. Ketika itu, akunya, sebagian jas almamater sudah jadi. Namun, rencana itu batal untuk menghindari komplain karena pembagian yang tidak merata.
“Kemarin memang direncanakan kalau itu pada saat PKKMU serentak langsung pakai, Rencana itu kemudian tidak jadi dilaksanakan untuk menghindari komplain karena pembagian tidak merata,” tuturnya.
Di sisi lain, Wakil Rektor II UB, Sihabudin mengungkapkan keterlambatan yang terjadi sejak tahun 2014 itu disebabkan pendataan ukuran sebelum pengadaan. Pengukuran ini, lanjutnya, menyesuaikan dengan ukuran yang diajukan mahasiswa baru ketika daftar ulang.
“Keterlambatan itu karena sistem pengukuran terhadap ukuran yang diinginkan oleh mahasiswa. Itu kemudian menjadi lambat,” jelas Sihabudin saat ditemui di ruangannya di Lantai 7 Gedung Rektorat.
Sihabudin juga mengungkapkan bahwa tidak aturan penggunaan jas almamater harus digunakan di PKKMU. Ia melanjutkan, memang lebih baik jika menggunakan jas almamater secara serentak.
“Kesan saya, memang lebih keren dan gagah jika ketika upacara bisa bersama-sama menggunakan jas almamater,” katanya.
Senada dengan Sihabudin, Presiden Eksekutif Mahasiswa (EM) UB M. Zahid Abdurrahman juga mengungkapkan bahwa sistem pengukuran menjadi alasan keterlambatan pengadaan. Proses ini berbeda dengan, misalnya, pengadaan seragam almamater tahun 2013.
Zahid juga menyatakan, mengacu pada Surat Keputusan (SK) Rektor, yang wajib dikenakan mahasiswa baru ketika PKKMU adalah celana hitam, kemeja putih, dan sepatu hitam.
Bima Cahya, mahasiswa angkatan 2015, menyatakan, bagi mahasiswa, seragam almamater adalah bagian dari identitas. Tanpa itu, katanya, mahasiswa kehilangan sebagian identitasnya, dan tidak lengkap.
Tahun lalu, ia juga sempat merasakannya, dan mengaku sangat memerlukan jas almamater. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) itu menambahkan, bagaimanapun juga mahasiswa membutuhkan seragam almamater untuk kegiatan kampus.
”Perlu banget, karena selain identitas juga kita pakai untuk kegiatan kampus dan studi ekskursi,” jelas Bima.
Sedangkan, Safitri, mahasiswa baru Fakultas Pertanian, menyatakan sebenarnya ia tidak begitu mementingkan hal ini. Namun, kebanyakan temannya mengaku ingin segera memiliki almamater.
“Kebanyakan teman-teman saya sih mereka inginnya cepat punya seragam almamater. Katanya, iri melihat mahasiswa baru universitas lain sudah punya dan bisa dipakai waktu Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Universitas (PKKMU),” ujar Safitri, salah satu maba Fakultas Pertanian 2016. (ank/hen/rip)