Lompat ke konten

Di Ambang Mati

Ilustrator : Nur Chandra Ulfayah

Oleh: Sara Salim*

Kuseruput teh yang baru saja diberikan mama. Ia membawakan potongan buah-buahan juga. Kami menghadap ke matahari sore, duduk di teras rumah, bercerita, sebagaimana biasa. “Mama ingat tidak waktu lalu saat Sara tenggelam di sungai?” tanyaku. Ia langsung menentang mataku. “Mama tidak mau ingat-ingat lagi,” jawabnya kemudian. Aku tertawa melihat kepanikannya. “Adek!” ia menegurku. Tawaku makin keras untuk menggodanya.

Sembilan tahun lalu. Aku pernah berada di ambang kematian. Bukan karena siapa-siapa tapi aku sendiri yang menantangnya, tanpa kesengajaan. Tiap detail dan detik hari itu menjadi kenangan panjang bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Traumanya pun masih membekas. Aku bergidik tiap kali kupikirkan bahwa aku pernah bersua dekat sekali dengan ajal.

Tangis mama yang sayup, tante dan sepupuku yang seolah terpaku di tempatnya. Semua masih terlalu nyata hari ini. “Mama! Ma…,” begitulah suaraku timbul tenggelam meminta pertolongan. Air sungai memang berat. Kudapati tangan dan kakiku mulai lelah, tapi aku dengan sekuat upaya terus berenang ke tepian. Andai aku menyerah satu detik saja, mungkin badanku telah ditelan pusaran air yang menghilangkan aku di gelap dalamnya.

“Mama! Ma…,” air memasuki mulut dan tubuhku ditarik air yang semakin berat. Dengan buram kulihat wajah mama memerah karena tangisnya. Ia berdiri di tengah sungai yang dangkal, menyaksikan aku tenggelam di hulu sungai yang sangat dalam. “Aku pasti mati! Aku akan mati!” hanya kalimat itu yang bisa kupikirkan. Dalam kepasrahan, di relung sanubari aku meminta pertolongan Tuhan. Mulut, mata, pikiran, dan semua yang ada pada diriku saat itu ditakut-takuti oleh air dan kematian yang menjelang.

Tiba-tiba seseorang menarik lenganku. Perih terasa kakiku yang bergesekan dengan batu sungai kasar. Aku terbaring dalam keadaan setengah sadar. “Adek?” ucap mama dengan penuh cemas, suaranya hampir tak terdengar. “Mama,” balasku lemah. Ia langsung memeluk, kini kepalaku yang tenggelam dalam dekapnya. Ia menangis penuh haru. Rasa-rasanya ia telah menang dari pertaruhan nyawa anak semata wayangnya.

Itulah hari dimana aku tenggelam di sungai yang baru pertama kali kudatangi. Aku ingin berkenalan tapi sungai mungkin tak seramah kubayangkan. Aku terpeleset di sebuah batu licin yang membuatku jatuh ke hulu sungai yang berpusaran. Sebelumnya, tante yang tinggal tak jauh dari sungai itu sudah memperingatkan, “Jangan main ke hulu sungai. Beberapa hari lalu baru saja ada orang tenggelam dan meninggal di sana,” ia menunjuk hulu yang dia maksud, hanya berjarak lima meter di hadapan kami.

Tapi aku hanyalah anak kecil berusia 10 tahun yang kurang mengerti makna nasihat. Aku mengiyakan tapi tidak mengindahkan. Makanya kusebut diriku sebagai seseorang yang hampir mendatangi mautnya sendiri.

“Jangan diingat-ingat lagi,” kata mama mengulangi. Ia memelukku erat sekali. Aku berhenti tertawa. “Sara masih hidup, Ma, semoga membanggakan mama,” ujarku. Di bawah jingga senja sore kami berpelukan penuh syukur, kami masih diberi masa dapat saling menatap dan berucap sampai hari ini.

 

*)Penulis merupakan mahasiswi Ilmu Komunikasi angkatan 2018 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Saat ini aktif sebagai Pimpinan Divisi Sastra LPM Perspektif.

(Visited 439 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?