Oleh: Kumba P. Dewa*
Acap kali kita mendengar beberapa kelompok mahasiswa akhir yang saling mendiskusikan nasib mereka selanjutnya setelah Wisuda. Masing-masing mahasiswa tentu memiliki persiapan dan rencana mereka sendiri dalam melewati gerbang metamorfosa kehidupan mereka selanjutnya. Ada banyak pilihan yang mereka pikirkan. Pekerjaan, berwirausaha, atau melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, selalu menjadi pilihan utama. Bahkan di generasi ekonomi 4.0—the new era of economy—dapat membuat sebuah aktivitas yang sekadar menjadi hobi atau selingan, sebagai sumber kekayaan mereka, menjadikan banyak lagi pilihan jalan hidup mahasiswa pasca-wisuda.
Wisuda sejatinya adalah rangkaian tahap akhir dari proses metamorfosa kehidupan mahasiswa. Adapaun tahapan ini dimaksudkan bahwa mahasiswa akan melalui sebuah kehidupan baru pasca mereka meninggalkan pengabdian mereka atas ilmu pengetahuan. Maka, metamorfosa tersebut kebanyakan tidak terlepas dari pencapaian yang telah dilakukan oleh setiap mahasiswa selama mengabdikan diri di perguruan tinggi. Metamorfosa yang membentuk mereka untuk menjadi manusia yang siap dilepas ke lautan luas masyarakat. Wejangan-wejangan yang dihaturkan oleh guru besar di salah satu bagian prosesi wisuda, mewanti-wanti setiap mahasiswa yang akan melewati gerbang ‘wisuda’ ini, terhadap kompleksitas yang berada di masyarakat.
Namun, bukan berarti perjalanan pasca-wisuda akan mulus-mulus saja seperti jalan tol. Kehidupan mahasiswa ketika telah melewati gerbang wisuda akan sepenuhnya lain. Mereka akan langsung hidup di tengah-tengah kompleksitas masyarakat dengan segala masalah, segala pemikiran, dan segala aturan yang terbingkai dalam satu kehidupan kelompok masyarakat atau warga negara.
Kita akan dikenai aturan penuh sebagai warga negara. Kita dituntut oleh keluarga untuk menjadi penerus selanjutnya dalam mencari sumber penghasilan. Kita akan bertemu dengan berbagai macam orang dengan segala pandangan, pemikiran, kebiasaan, dan tingkah laku mereka yang berbeda untuk setiap individu. Kita akan dihadapkan kepada hajatan-hajatan yang diselenggarakan oleh komunitas masyarakat. Budaya yang harus dikenal dan dipahami, serta ditaati di mana para mahasiswa menginjakkan kaki. Politik yang terkadang menguasai carut-marut dan menjadi konsumsi penting setiap individu di setiap kelompok masyarakat. Serta sistem yang mengatur kehidupan individu itu sendiri dalam sebuah negara.
Pandangan masyarakat mengenai fresh graduate pun kini semakin disorot. Mereka berlomba-lomba untuk saling berkompetisi dan menjadi yang terbaik dalam melamar pekerjaan yang tampaknya semakin sulit karena kompleksitas masyarakat modern tadi. Masyarakat menilai bahwa sudah selayaknya lulusan baru memiliki ‘status’ pekerjaan baru di kolom KTP dan kartu keluarga. Bahkan masyarakat berlomba-lomba menetapkan target kepada para lulusan baru ini, seberapa cepat mereka akan mendapatkan pekerjaan segera setelah mereka selesai mengikuti prosesi wisuda.
Ada pun, pola kebiasaan orang tua seringkali memberikan ‘mandat’, kepada anak-anak mereka yang telah lulus kuliah, agar mereka segera mendapatkan pekerjaan yang layak dan lebih tinggi dari mereka. Dalam titik ekstrem, terkadang orang tua yang memiliki pola pengasuhan anak secara authoritarian, menetapkan pekerjaan-pekerjaan yang mereka rekomendasikan dengan sang anak dan menetapkan standar yang tinggi, sehingga terkadang anak akan mengalami konflik batin dengan keinginannya dan berakhir menetap di perusahaan ber-‘gengsi’, digaji orang, terikat dengan masalah kesehatan mental, dan idealisme mahasiswa mereka lenyap diterkam realitas pekerja. Wajarkanlah saja (mungkin), karena semua itu hanya agar orang tua tidak ingin anaknya bernasib sama dengan mereka. Hanya saja, anak seharusnya mendapatkan kesempatan untuk berkompromi memilih ‘jalan hidup’ mereka pasca-wisuda.
Wisuda sendiri seringkali menjadi impian setiap mahasiswa, untuk berlomba-lomba siapa cepat, dia wisuda. Wisuda menjadi sebuah momen di mana mereka dapat mengakhiri kehidupan kampus dan segera mencicipi kehidupan masyarakat yang sangat kompleks—yang seringkali rasanya cukup pahit pada awal mencoba. Terkadang momentum wisuda menjadi ajang gengsi nan prestisius, hanya karena mereka telah menyelesaikan masa studi mereka.
Beberapa mahasiswa memaknai bahwa wisuda adalah akhir, bukanlah awal. Mereka belum melihat dari sudut pandang kehidupan bermasyarakat, Dapat dimaklumi, bahwa kemungkinan mereka masih lelah, sehingga mereka butuh untuk melepas penat selepas berjuang jungkir-balik dalam tugas akhir mereka. Mereka terkadang mengabaikan bahwa wisuda adalah sebuah prosesi yang sarat akan makna di sana. Sebuah prosesi untuk menyiapkan para mahasiswa agar menjadi manusia yang lebih cerdas, kritis, dan berakhlak luhur di masyarakat. Tahap akhir metamorfosa mahasiswa untuk selanjutnya bergabung bersama keras dan tanpa ampunnya kehidupan manusia, yang semakin hari masih saja tidak mau berhenti meluncur ke jurang kehancuran. Mereka dihadapkan pada banyak pilihan untuk menjalani berbagai macam kehidupan selanjutnya. Tentu saja, yang memilih dan menentukan adalah mahasiswa sendiri.
Pun dalam lingkungan pekerjaan, hanya segelintir ilmu yang didapat di ranah civitas akademica kampus, untuk kemudian teraplikasikan pada lingkungan pekerjaan yang bersangkutan. Para mahasiswa yang berjuang di kehidupan mereka yang baru ini harus kembali lagi belajar untuk beradaptasi pada sistem masyarakat yang baru, untuk belajar dari nol pada sistem kerja di pekerjaan yang mereka dapatkan. Bahkan terkadang, saking sulitnya kompetisi untuk mendapatkan lapangan pekerjaan. Banyak mahasiswa yang ‘rela’ mengubur ilmu mereka jauh di dalam otak mereka, terkubur oleh sekian banyak sistem kerja yang setiap hari harus diaplikasikan kepada rutinitas mereka. Banyak mahasiswa yang rela untuk membanting setir kehidupan mereka, memilih pekerjaan yang bahkan tidak pernah sesuai dengan apa yang mereka gali di kampus.
Satu-satunya yang masih—dan patut—untuk dipertahankan, kiranya adalah bagaimana kehidupan mahasiswa selama di kampus, dengan segala pemikiran kritis dan analis mereka, dapat membentuk ideologi dan pemikiran mereka yang unik, sebagai bekal untuk menjalani kehidupan baru mereka di masyarakat. Agaknya, mahasiswa yang masih bernostalgia sebentar selepas melewati proses wisuda, hendaknya ideologi dan pemikiran yang telah mereka bentuk untuk tetap dipertahankan sejauh yang mereka dapat lakukan. Karena kampus tidak hanya menyediakan ilmu saintifik untuk digali seluas-luasnya, tetapi juga membentuk mahasiswa untuk menciptakan gagasan, pemikiran, dan hal ideal mereka sendiri.
Mahasiswa, yang telah bermetamorfosa menjadi warga negara, hendaklah untuk tetap sadar penuh atas lingkungan mereka yang kian hari semakin ‘tercemar’ dan tetap memegang teguh gagasan dan pemikiran yang telah mereka bentuk.
Penulis merupakan lulusan Psikologi FISIP UB angkatan 2014, serta alumnus LPM Perspektif angkatan 8.
Jangan bicara kehidupan setelah wisuda, jika wisuda saja bagi sebagian besar lulusan belum dialami.. karena terhambat birokasi kampus UB.. yang membuat mahasiswa UB harus menunggu jadwal wisuda dan penyerahan ijazah mereka begitu lama…