Oleh: Faizal Ad Daraquthny*
Menjadi mahasiswa lekat dikaitkan dengan manusia yang beranjak dewasa, setidaknya dari usia. Walaupun kenyataanya, menjadi dewasa tidak berkolerasi dengan bertambahnya usia, namun terdiri dari banyak unsur; tingkat intelektualitas, emosi, sikap, dan spiritualitas. Sehingga kematangan diri akan tercapai.
Banyak jalan yang bisa digunakan untuk membangun kematangan diri, salah satunya dengan kritik. Kritik merupakan bentuk pertimbangan, masukan, ataupun pandangan akan suatu hal yang dirasa tidak tepat, sehingga diperlukan perbaikan. Namun kritikan tidak hanya bisa dilakukan kepada pihak lain, namun juga terhadap pihak sendiri, keolompok, golongan, organisasi, dan tidak menutup kemungkinan diri sendiri. Kritik terhadap diri itulah yang disebut Otokritik.
Mahasiswa yang seringkali disebut sebagai Agent of Change semestinya menggunakan Otokritik sebagai proses menuju pendewasasan. Walaupun respon normal yang biasa dilakukan orang ketika menghadapi kritik adalah self defense. Tapi ketika diri sendiri yang melakukannya, maka gambaran objektif terhadap sebuah masukan akan dirasakan.
Melakukan otokritik bisa dimulai dengan menganalisa masalah yang dihadapi. Namun menganalisa masalah tidak sebatas dari kulit luarnya, namun masuk hingga mengetahui akar permasalahan. Setelahnya mulai mempertanyakan terhadap diri sendiri lalu mengevaluasinya.
Dalam sebuah jurnal berjudul Investigating Aspects of Self-Criticism and Emotional Intelligence in University Students, digunakan istilah self-criticism sebagai bertuk kritik terhadap diri sendiri. Hal ini kerap dilakukan mahasiswa-mahasiswa untuk menentukan langkah mereka. Namun ketika self-criticism tidak diimbangi dengan kondisi emosional yang baik, maka hasilnya malah akan mengarah ke negatif: was-was untuk menentukan langkah, lebih jauh, depresi.
Otokritik yang baik perlu melakukan pertimbangan aspek sosial-lingkungan. Sehingga keputusan apa yang diambil akan relevan diterapkan di kendisi riil. Sehingga kepekaan terhadap lingkungan bisa tumbuh. Toh, mahasiswa yang terpisah dengan masyarakat adalah mahasiswa yang tidak benar-benar berpedoman pada Tri Dharma Perguruan Tinggi. Karena ilmu yang diperolehnya tidak digunakan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarkat.
Dalam sebuah tulisan di salah satu media nasional, melakukan kritik seharusnya menggunakan prinsip dari babasan Sunda: Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh. Jadi suatu kritik baiknya dilakukan dalam konteks saling berbagi dan saling membantu (silih asah dan silih asuh) serta saling menasihati yang didasarkan pada kasih sayang (silih asih) antar sesama. Sehingga ketika otokritik itu dilakukan, mungkin efek negatif bisa teratasi.
Penting bagi mahasiswa untuk menyadari hal ini. Mengingat cepat atau lambat, mereka akan terjun langsung di masyarakat, dan akan menjadi pemimpin, setidaknya untuk dirinya sendiri. Dengan begitu, menjadi dewasa dengan otokritik membuat seseorang benar-benar mempertimbangkan apa yang ia telah lakukan, sehingga ia menjadi tidak ragu-ragu dan berani mengambil sikap. Sehingga ketika ia berada pada posisi sentral, ia tidak menjadi seorang yang pengecut dan plin-plan.
Tentang Penulis : Penulis Merupakan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya 2013. Saat ini tercatat sebagai Pemimpin Umum LPM Perspektif.