Lompat ke konten

Saksi Transformasi Media Informasi

Koran yang kian lama terlupakan (PERSPEKTIF/Febry)

Malang, PERSPEKTIF – Revolusi Industri 4.0 merasuki dan mengintervensi banyak sektor kehidupan manusia. Sebut saja kesehatan, ekonomi, pendidikan, hingga sektor informasi-komunikasi. Lebih jauh, sektor informasi bahkan sudah terdampak sejak revolusi Industri 3.0 dengan ditemukan inovasi komputer dan semakin pesat pada era 4.0 seperti saat ini. Dengan bermunculan inovasi lanjutan seperti media sosial dan internet membuat sektor informasi komunikasi menjadi lebih cepat distribusinya dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. 

Manusia dengan usapan ibu jari mampu mendapat informasi dari belahan dunia lain dengan cepat yang bisa diakses kapanpun dan dimanapun. Potensi luar biasa ini mendorong media-media berita di Indonesia dan dunia untuk berpindah medium fisik seperti koran dan majalah menjadi medium online seperti website dan media sosial. 

Namun, dibalik kemajuan peradaban dan rentetan manusia yang menikmati perkembangan zaman, terdapat pihak yang harus gigit jari dengan adanya perkembangan teknologi. Persis seperti apa yang dialami Agus, seorang penjual koran yang mengandalkan lembar-lembar beritanya untuk  mengais rezeki. Bertahun-tahun ia memperoleh pendapatan dari menjual lembaran berita. Apalagi di zaman sekarang, penghasilan dari menjual koran yang sudah sedikit masih harus dikongsikan kepada bosnya sebagai pemilik koran. 

“Yang punya itu orang lain. Ini satu korannya ngambilnya (komisi, red) empat ribu,” jelas Agus dengan tatapan lelah di kedua matanya. 

Konsisten Berjualan

Jejeran koran untuk rezeki (Sumber: Kompasiana)
Jejeran koran untuk rezeki (Sumber: Kompasiana)

Sejak tahun 1992, Agus mulai menjajakan korannya di sekitar kampus. Untuk mencari 

pembeli yang lebih banyak, ia bahkan rela berpindah-pindah tempat dalam sehari.

“Iya, mulai dari ITN, UMM, kampus di Sumbersari itu. Tembus Gajayana. Terus kampus 1 UNMU, Jalan Bandung,” jawabnya.

Namun, saat ini Agus memilih untuk berjualan di satu tempat saja, yaitu di sekitaran Universitas Brawijaya (UB) dengan rute mulai dari Fakultas Teknik (FT, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), Fakultas Pertanian (FP), Fakultas Hukum (FH), dan berhenti di Fakultas Peternakan (Fapet).

Seiring dengan majunya teknologi terutama penggunaan sosial media di kalangan anak muda, Agus semakin kesulitan untuk menjual lembar demi lembar koran. Tak jarang koran yang ia bawa mengelilingi kampus tidak habis dan  meninggalkan banyak lembar  tidak terjual. Jika sudah begini, Agus terpaksa mengembalikan koran sisa kepada bosnya untuk dijual ke pengepul.

“Ini kan jualnya kembali, jadi saya enggak tambal resiko. Saya cuma jualin aja. Kalau enggak laku, ya kembali. Kalau korannya masih ada harga jualnya, mas. Kalau nggak anu kan bisa dijual kiloan, atau kuintal. Biasa orang cari untuk gorengan gitu, untuk kliping, ” ujar Agus. 

Ditinggalkan Media

Penjual koran mengais rezeki (Sumber: Kompasiana)

Jika dibandingkan dengan di saat Agus pertama kali menjejakkan koran milik bos nya, maka terlihat perbedaan yang kontras. Dahulu, masyarakat dan mahasiswa masih sering membeli koran darinya, berbeda dengan sekarang dimana orang-orang memilih untuk tetap terbarui dengan berita-berita zaman sekarang melalui benda kotak kecil yang bercahaya. Ini membuat Agus dan koran-korannya lebih sering ditolak. 

“Kalau di sini agak sulit ya, soalnya kan orang-orang pada baca hp (red, handphone), keluh Agus.

Tak hanya ditinggalkan pelanggan, Agus saat ini juga mulai kesulitan mendapatkan koran dengan jenis yang beragam, tidak seperti di pada tahun-tahun awal dia memulai usaha kecil-kecilannya ini. Jika dulu ia bisa mendapatkan bahkan lebih dari tiga jenis media dengan isi yang bermacam-macam, sekarang opsinya tidak lagi banyak karena berbagai media mulai menutup produksi fisik. 
“Bola itu udah nggak terbit. Terus majalah anak-anak, Bona, itu nggak terbit. Dulu banyak olahraga, mas. Ada Tribun, Bola, terus Gema Olahraga. Terus hariannya, Surabaya Pos dulu ada. Jakarta Pos masih ada, mas. Terus Suara Indonesia itu. Sekarang adanya Jawa Pos sama Kompas,” jawab Agus. (feb/aql/az/uaep)

(Visited 143 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?