Lompat ke konten

Perebutan Lahan, Corak Pembangunan Indonesia Yang Mengarah pada Kapitalisme

Sesi diskusi bersama pemateri dalam kegiatan Makar

Malang, PERSPEKTIF Maraknya kasus perebutan tanah milik warga oleh pemerintah, menggerakkan Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) Himpunan Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) untuk melaksanakan kegiatan Makar (Manifestasi Kritis, Analitis, dan Responsif). Kegiatan Makar hadir dengan tema “Land Grabbing: Ironi Perebutan Lahan atas Nama Pembangunan dan Kepentingan Umum” yang dilaksanakan secara virtual pada Kamis (24/3). 

Kegiatan diskusi ini menghadirkan pemateri dari dua sudut pandang yaitu Lutfi Amiruddin selaku dosen Sosiologi UB dan Satrio Manggala sebagai Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

Lutfi Amiruddin menjelaskan tentang akar muara dari perampasan tanah yang sering terjadi. Menurutnya kebijakan pemerintah yang kurang tegas dan cenderung proaktif terhadap para korporasi yang sering mengeksploitasi sumber daya alam menjadi akar dari masalah yang seharusnya tidak dilakukan ini. 

“Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah memberi ruang dan mendukung untuk praktik-praktik perampasan lahan yang sering terjadi,” papar Lutfi. 

Selain itu, perspektif pembangunan bangsa cenderung mengarah kepada kapitalisme dan kadang kala tidak memperhatikan aspek kehidupan dan lingkungan yang berkelanjutan. Sehingga menurutnya ide pembangunan nasional lebih mengarah kepada penghancuran terencana. 

Senada dengan pernyataan Lufti, Satrio Manggala juga menyatakan bahwa corak produksi di Indonesia lebih mengarah kepada kapitalisme, dan hal ini diperparah dengan legitimasi yang dilakukan dalam berbagai aspek.

“Pada rezim kapitalisme kita harus bertarung dengan mekanisme produksi, dan hal ini dilegitimasi dengan struktur pendidikan, hukum, kepemimpinan, tokoh agama yang mendukung agenda ekonomi politik,” jelas Satrio.  

Terakhir, moderator acara memberikan kesimpulan diskusi bahwa kebijakan pembangunan di Indonesia tidak berpihak kepada lingkungan dan bersifat double standar. Di satu sisi bertujuan untuk membangun ekonomi maupun infrastruktur, akan tetapi disisi lain menjadi penghancur atau bencana. Pembangunan yang terus menerus tanpa diiringi dengan kepekaan terhadap lingkungan lambat laun hanya akan menghasilkan rentetan bencana alam dan krisis iklim yang tak berkesudahan sehingga pada akhirnya tidak akan menjanjikan apa apa bagi masa depan manusia. (fy/yn/nva/uaep)

(Visited 243 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?