Kehadiran Lucien Goldmann setidak-tidaknya telah mengingatkan masyarakat akademik bahwa sastra bukan hanya struktur. Adalah benar bahwa karya sastra merupakan struktur, yang terbentuk dari unsur-unsur yang berjalinan dan berkelindan satu sama lain. Namun, dengan teorinya yang disebut strukturalisme genetik, Goldmann mengajukan sebuah perspektif bahwa karya sastra, yang merupakan struktur, adalah gen, keturunan, “sperma” sosial dari masyarakat. Pandangan Goldmann berimplikasi terhadap sebuah hakikat bahwa karya sastra bukanlah produk statis, melainkan produk dinamis yang terbentuk sebagai hasil perjumpaan manusia dengan proses-proses sosial dan sejarah (Faruk, 2019:56). Berbagai proses berlangsung secara terus menerus, seiring dengan perjalanan hidup manusia yang memungkinkannya menciptakan karya sastra. Salah satu pandangan Goldmann yang membingungkan, tetapi juga mengguncang ialah subjek kolektif. Menurutnya, subjek kolektif adalah subjek yang mampu menghasilkan fakta sosial, bukan fakta individual yang hanya memenuhi hasrat libidinal semata-mata.
Persoalannya, kemudian, bukankah karya sastra adalah karya seni berbahasa yang diciptakan oleh seorang pengarang? Bukankah status perseorangan tersebut mengimplikasikan bahwa pengarang ialah subjek individual, bukan subjek kolektif? Persoalan inilah yang saya sebut dengan “membingungkan, tetapi juga mengguncang”. Situasi yang bertolak belakang ini menyiratkan bahwa kendati karya sastra dilahirkan dari “rahim” perseorangan, objek yang ditulisnya berkaitan dengan alam semesta dan segala persoalan manusia (Faruk, 2021:t.h.). Hal ini dapat ditarik pada konteks pembicaraan perihal kehilangan. Kehilangan mengimplikasikan dua hal yang selalu ada, yang kehadirannya menjadi landasan ontologis bagi kehilangan itu sendiri, yaitu subjek yang kehilangan dan sesuatu yang hilang. Sementara itu, strukturalisme genetik di atas menjadi suatu paham untuk membongkar persoalan bagaimana status masalah kehilangan? Apakah kehilangan hanyalah persoalan personal atau di dalamnya memuat pula persoalan sosial?
Terdapat banyak manifestasi dari kehilangan: kehilangan sesuatu yang dimiliki, baik yang morel maupun materiel, keterpisahan jarak dengan seseorang, kepergian, bahkan kematian. Dengan demikian, kehilangan dapat berlangsung, baik secara temporer maupun permanen. Kehilangan itu, selanjutnya, akan menghasilkan respons, yaitu berduka dan berkabung. Tentu, kedua hal itu tidak dapat didefinisikan secara literal dan reduktif sebagai respons ketika terjadi kematian. Namun, bagi Freud, berduka dan berkabung adalah proses ketika seseorang yang berduka menyesuaikan diri dengan segala kenyataan kehilangannya karena hanya dengan cara itu, mereka mampu melepaskan diri (Thompson, 2016:6). Melepaskan diri bukan berarti menciptakan garis terakhir antara subjek yang kehilangan dengan sesuatu yang hilang. Karena kehilangan dapat dimaknai sebagai sebuah perubahan dan peralihan, mencari jalan untuk terus mempertahankan ingatan dengan sesuatu yang hilang adalah cara yang dapat ditempuh (Rogel Cancer Center, 2019:27). Dengan menarik benang merah pembahasan di atas, di sinilah karya sastra—yang dihasilkan dari suatu penulisan— muncul sebagai penyesuaian diri dan pemertahanan ingatan.
Merekam yang Tinggal, lalu Tanggal: dari Sastra Melayu Klasik hingga Sastra Indonesia Modern
Saya tidak akan membicarakan secara mendalam perihal sastra Melayu klasik atau lama. Akan tetapi, gambaran ini dapat menjadi tinjuan preliminer yang memperlihatkan bahwa konsep kehilangan telah ada, bahkan sebelum terbentuk karya sastra modern. Hal ini tergambar dalam, misalnya, Hikayat Malim Deman (transliterasi oleh Ana dan Yahya, 1970). Sebagai gambaran umum, hikayat tersebut menceritakan Malim Deman, anak seorang raja, yang kemudian ditahbiskan sebagai raja untuk menggantikan ayahnya, yang menikah dengan seorang bidadari kayangan, yaitu Putri Bungsu. Dalam hal relasi intertekstual, hikayat ini memang menyerupai sastra lisan Jaka Tarub. Dalam hikayat tersebut, Malim Deman, yang merasa kehilangan, begitu menyesal atas segala tindakannya yang membuat sang putri harus pergi dari bumi—kembali ke kayangan. Meskipun berduka dan berkabung sementara waktu, ia pun lantas mengumpulkan niat dan tekad untuk menemui istrinya di kayangan, meminta maaf, dan membawanya kembali ke bumi. Pada akhir cerita, kehilangan itu dapat diatasi yang dengan demikian, kehilangan itu hanya berlangsung secara temporer.
Dengan mengoperasikan strukturalisme genetik, dapat dikatakan pula bahwa kehilangan ialah apa yang disebut Goldmaan sebagai fakta kemanusian. Fakta ini mengacu pada keinginan subjek untuk membangun keseimbangan antara diri dan lingkungannya (Faruk, 2019: 61). Dalam hikayat tersebut, Malim Deman adalah seorang raja. Sebagai raja, ia menguasai kerajaan, tercukupi segala kebutuhan, dilayani semua keperluan, dan berbagai kenikmatan lainnya. Akan tetapi, baginya, semua hal tersebut bukanlah keseimbangan. Keseimbangannya tidak akan lengkap jika masih diliputi oleh kekurangan, yaitu perasaan kehilangan atas istrinya. Dengan demikian, ia menyempurnakan keseimbangan tersebut dengan menemui sang istri di kayangan meskipun harus melalui berbagai rintangan. Selaras pula dengan pandangan Freud dan Rogel Cancer Center di atas, kehilangan dalam hikayat ini dimaknai bukan sebagai keterputusan abadi antara subjek yang kehilangan dan sesuatu yang hilang, melainkan upaya penemuan kembali untuk terus mencari keseimbangan yang purna.
Dalam pembabakan sastra Melayu klasik, Hikayat Malim Deman termasuk kesusastraan rakyat, yaitu cerita pelipur lara. Hal itu merujuk pada cerita yang dipakai untuk melipur hati yang lara, yang duka nestapa, yang diceritakan secara lisan oleh tukang cerita kepada masyarakat (Fang, 2016:33). Dengan kata lain, cerita ini disebarluaskan secara oral yang berlangsung secara generatif atau turun temurun. Tidak seperti karya sastra modern, karya sastra pada Melayu klasik bersifat anonim atau tidak diketahui siapa pengarangnya. Anonimitas tersebut mengimplikasikan bahwa karya sastra terus hidup di tengah-tengah masyarakat; milik setiap anggota masyarakat. Oleh karena itu pula, dapat ditemukan sebuah formulasi bahwa paling tidak, masyarakat saat itu telah mengenal konsep kehilangan, yang kemudian konsep itu diformulasikan dalam karya sastra. Pada lanjutannya, kalau dicermati kembali gambaran umum dari hikayat ini, terlihat bahwa kehilangan menjadi suatu medan konflik yang mengaitkan peristiwa-peristiwa dalam hikayat. Dengan demikian pula, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa meskipun memuat pengalaman individual, melalui karya sastra, kehilangan juga menjadi pengalaman kolektif.
Dari sastra Melayu klasik, kita dapat beralih ke sastra Indonesia modern. Terdapat dua karya sastra dalam bentuk prosa, yang representatif dalam pembahasan “sastra kehilangan” ini. Dua karya tersebut adalah Di Bawah Langit Tak Berbintang karya Utuy Tatang Sontani (2001) dan Jatisaba karya Ramayda Akmal (2017). Di Bawah Langit Tak Berbintang memang dipermasalahkan statusnya karena secara substansial dan templat, karya ini menyerupai memoar, autobiografi, dan novel. Tulisan ini tidak akan mempermasalahkan statusnya, terlebih jika ditinjau dari perspektif sastra perjalanan, karya Utuy merupakan karya bergenre sastra perjalanan. Hal itu dikarenakan substansi karya yang mengisahkan pengalamannya sebagai eksil Indonesia di Cina (saat itu kerap disebut Tiongkok). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa karya tersebut adalah karya sastra, yang dalam tulisan ini akan saya sebut novel. Terdapat cerita panjang yang melelahkan dan menyedihkan—untuk tidak mengatakannya ironis—di balik penulisan novel yang merupakan kumpulan memoar tersebut.
Utuy Tatang Sontani berangkat ke Tiongkok untuk perayaan 1 Oktober 1965 dengan rombongan ormas dan aktivis partai. Ia berangkat ke Negeri Tirai Bambu atas saran sahabat, politikus, ketua partai besar di Indonesia saat itu, dan orang yang dikaguminya, yaitu D.N. Aidit. Keberangkatannya ke negeri tersebut sejatinya dilatarbelakangi oleh satu faktor utama, yaitu berobat karena berbagai penyakit yang ia idap. Akan tetapi, saat itu di Indonesia terjadi “malapetaka politik”, peristiwa berdarah 1 Oktober 1965, yang secara hegemonik disebut G 30/S PKI. Meskipun secara struktural ia berafiliasi dengan PKI, secara ideologis ia— tampaknya—tidak berhaluan komunisme—suatu ideologi besar yang diharamkan di Indonesia, terutama sejak dan oleh Orde Baru. Karena tawaran D.N. Aidit lah, ia tidak bisa kembali ke tanah air, meninggalkan keluarga dengan seorang anak bungsu, yaitu bayi perempuan, bahkan ia menjadi eksil—individu tanpa status warga negara di Tiongkok (Supartono, 2001:2). Lebih dalam, Utuy meninggal jauh dari tanah kelahirannya, Cianjur—ia meninggal di Moskwa, 17 September 1979 dalam kesepian, kesendirian, kerinduan, dan yang lebih penting: kehilangan.
Utuy kehilangan segala kolektivitasnya. Ia berjarak jauh dari anak, istri, keluarga, masyarakat, sosial, bahkan tanah airnya—kota-kota yang pernah menjadi saksi perjumpaan hidup: dari Cianjur, Bandung, hingga Jakarta. Semasa hidup di Tiongkok itulah, ia menulis dua memoar. Dua memoar itu kini menjadi roh dalam jiwa Di Bawah Langit Tak Berbintang. Dalam novel tersebut, sama sekali Utuy tidak meluapkan emosi yang mendalam untuk menunjukkan betapa hancurnya rasa kehilangan. Meskipun demikian, tidak dapat dinafikan dan dipungkiri bahwa novel ini merupakan “situs” yang merekam dan mencatat perjalanannya sebagai seorang yang kehilangan segalanya. Oleh karena itu, dapatlah dilihat kutipan verbatim berikut.
Berita-berita radio dari tanah air yang kian lama kian santer menceritakan pengejaran dan pembunuhan terhadap orang-orang komunis dan orang-orang progresif—termasuk penganiayaan terhadap keluarga mereka sengaja kujauhi (Sontani, 2001:79).
Kutipan di atas berkaitan dengan konteks sosial politik yang terjadi di Indonesia. Pascatragedi malam 30 September atau hampir pagi 1 Oktober 1965 hingga Januari 1966, telah terjadi pembantaian terhadap tidak kurang dari setengah juta orang Indonesia yang ditengarai berhaluan kiri (Anderson, 1990:14). Alih-alih menunjukkan secara eksplisit betapa Utuy menggelisahkan dan merindukan keluarga di tanah air, ia memilih menghindari segala hal yang bernapaskan keindonesiaan, termasuk lagu-lagu Indonesia. Tentu saja, tidak bisa dikatakan dengan mudah dan serampangan bahwa ia menolak itu semua untuk meninggalkan hal-hal di Indonesia dengan sengaja. Sakit fisik dan mental yang harus ia tanggung dalam waktu bersamaan tentu akan semakin parah dengan mengingat berita-berita berdarah dari tanah airnya sendiri, apalagi ada nasib keluarga yang jauh dari jangkauannya. Maka, untuk menyembuhkan dirinya itulah, ia pun menulis Di Bawah Langit Tak Berbintang. Persoalannya, mengapa ia menulis kehilangannya tanpa sedikit pun mengungkapkan kehilangan? Begitu mujarabkah menulis itu? Mari beranjak dulu dengan menyusuri sisi etnografis dari Jatisaba karya Ramayda Akmal. Novel ini telah dibuka dengan sebuah gambaran mahasedih sekalipun di dalamnya tersimpan gambaran mahajahat.
Aku pulang, walau tidak punya rumah. Walau hasrat untuk pulang sama kuat dengan hasrat untuk mencegahnya. Aku sempat berjanji tidak akan kembali. Tetapi, kenangan akannya begitu mengutukku. Kutukan yang mendatangkan kerinduan. Kerinduan yang mengalahkan segalanya; rasa malu, keangkuhan, dan dendam. Sepanjang jalan aku gemetar, menyadari yang aku rindukan adalah masa lalu. Namun, aku sedang menuju kesana dan mungkin akan menghancurkannya … (Akmal, 2017:6).
Tokoh “Aku” dalam kutipan di atas adalah Mainah atau Mae, seorang perempuan yang telah lama meninggalkan kampung halamannya, Jatisaba. Ia kembali untuk dua sisi. Sisi pertama ialah mengenang segala hal yang telah ia tinggalkan, yang telah hilang darinya. Ia telah kehilangan masa lalu, keluarga, rumah di desa itu, kenangan-kenangan konyol, dan cinta-cinta lama yang mungkin akan mekar ketika ia kembali. Sisi kedua ialah kembali untuk menawarkan madu, tetapi memberikan tuba—menawarkan mimpi, tetapi menghadirkan rasa sakit. Bagaimana tidak, ia kembali untuk memikat para perempuan agar mau bekerja di luar negeri sebagai TKI. Terlepas dari kedua sisi itu, bagaimana pun tetap ada rasa kehilangan yang menggenangi dadanya. Tentu saja, hal itu bukanlah imajinasi kosong. Ia terbentuk dari respons pengarang terhadap masa lalunya yang tidak lain memang pernah tinggal di Jatisaba, lalu pergi dari desa tersebut. Dalam ucapan terima kasihnya, Ramayda Akmal, sang pengarang, mengatakan, “Jatisaba adalah keping-keping ingatan tentang bekas kampung halaman saya yang terjalin melalui penghayatan, pemakluman, pembelaan, dan hasrat untuk selalu melemparkan diri kembali ke masa lalu”. Persoalannya, mengapa ia menuliskan kehilangan itu dalam tulisan—novel?
Kehilangan sebagai Imajinasi: “Dari Jamur Panggang hingga Bahan Bacaan”
Karena keterbatasan, saya tidak akan mengarahkan perjalanan tulisan ini untuk membongkar ideologi pengarang yang menyajikan persoalan kehilangan. Namun, menjelajahi kognisi pengarang-pengarang, yang menyelesaikan kehilangannya dengan menulis, menjadi arah yang ingin dituju. Melalui pengalaman empiris tiga karya sastra di atas, secara kognitif, kehilangan dilahirkan dalam wujud karya sastra melalui imajinasi. Para pengarang tersebut menerima diri dan menyembuhkan rasa kehilangannya dengan tiga mekanisme sastra kognitif (Richardson, 2015:225—226). Pertama, kehilangan dipahami dalam pencitraan mental; kedua, kehilangan dipikirkan secara konseptual; ketiga, kehilangan dihidupkan dalam rangkaian yang lebih besar menyangkut memori dan masa depan. Menulis yang menghasilkan karya sastra dan karya sastra yang dihasilkan melalui penulisan menjadi sumber daya untuk mempertahankan homeostasis—keseimbangan—kognitif (Spolsky, 2015:34). Selanjutnya, karya sastra tersebut akan memberikan pengalaman yang kompleks, yang diberikan oleh pengarang kepada pembaca sehingga memunculkan respons-respons empatik (Hogan, 2015:275).
Berkenaan dengan peran seseorang sebagai pembaca, Erwin Schrödinger mengatakan bahwa kehidupan manusia selalu terstrukturasi dalam pola-pola budaya—seperti halnya membutuhkan jamur panggang hingga bahan bacaan (Spolsky, 2015:34). Bukan hanya pengarang yang menyembuhkan rasa kehilangannya dengan sastra, pembaca pun juga demikian adanya. Karya sastra sebagai bahan bacaan bukan hanya efektivitas emosional (Hogan, 2015:276). Akan tetapi, dengan meminjam ucapan metaforis dari Melanie Green (dalam Phillips, 2015:57), karya sastra adalah entitas yang dapat membuat kita kehilangan waktu, lalu menarik ke dasar lautan yang terbentang di hadapan, seraya melibatkan kita dalam percakapan naratif karya sastra itu sendiri. Dalam pada itulah, karya sastra bukan hanya menjadi objek libidinal atau pemuas hasrat individual pengarang semata-mata, melainkan juga hasrat kolektif yang terus menerus mencari keseimbangan ketika merasakan kehilangan. Oleh karena itu, selamat mengenang kehilangan melalui karya sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Akmal, Ramayda. 2017. Jatisaba. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Ana, Pawang dan Raja Haji Yahya. 1970. Hikayat Malim Deman. Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti SDN. BHD.
Anderson, Benedict R.O’C. 1990. Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Diterjemahkan oleh Revianto Budi Santosa. Yogyakarta: Mata Bangsa.
Fang, Liaw Yock. 2016. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Faruk. 2019. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hogan, Patrick Colm. 2015. What Literature Teaches Us about Emotion: Synthesizing Affective Science and Literary Study. Dalam L. Zunshine (ed.), The Oxford Handbook of Cognitive Literary Studies (pp. 273—290). Oxford: Oxford University Press.
Phillips, Natalie M. 2015. Literary Neuroscience and History of Mind: An Interdisciplinary fMRI Study of Attention and Jane Austen. Dalam L. Zunshine (ed.), The Oxford Handbook of Cognitive Literary Studies (pp. 55—84). Oxford: Oxford University Press.
Richardson, Alan. 2015. Imagination: Literary and Cognitive Intersections. Dalam L. Zunshine (ed.), The Oxford Handbook of Cognitive Literary Studies (pp. 225—245). Oxford: Oxford University Press.
Rogel Cancer Center. 2019. Grief and Loss: Coping with the Death of A Loved One. University of Michigan Rogel Cancer Center.
Sontani, Utuy Tatang. 2001. Di Bawah Langit Tak Berbintang. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Spolsky, Ellen. 2015. The Biology of Failure, the Forms of Rage, and the Equity of Revenge. Dalam L. Zunshine (ed.), The Oxford Handbook of Cognitive Literary Studies (pp. 34— 54). Oxford: Oxford University Press.
Supartono, Alex. 2001. Rajawali Berlumur Darah: Karya-Karya Eksil Utuy Tatang Sontani. Tulisan untuk Jurnal Kalam, Agustus 2001.
Thompson, Shirley. 2016. Theoris around Loss & Bereavement. Diakses dari https://www.sth.nhs.uk/clientfiles/File/Theory%20of%20Loss%20%20bereavement.p df.