Malang, PERSPEKTIF – Tiga bulan setelah pengumuman Peraturan Rektor (Pertor) Universitas Brawijaya (UB) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dan Perundungan, dampak dari implementasi pertor ini belum signifikan. Saat diwawancarai secara daring, Sandrina Putri selaku anggota Badan Pengurus Harian (BPH) Pemberdayaan Perempuan Progresif (P3) UB mengatakan bahwa belum ada dampak penurunan maupun penambahan kasus yang signifikan sejak dikeluarkannya pertor.
“Karena untuk sekarang belum ada laporan kasus yang masuk lagi ke P3, tapi harapannya dengan adanya pertor ini bisa menekan angka kekerasan seksual dan perundungan di Universitas Brawijaya sendiri,” ujarnya (20/3).
Menurut Sandrina, fungsi pertor ini sangatlah penting dikarenakan sebelumnya belum ada ketentuan dan pengaturan yang jelas terkait pencegahan maupun penanganan kekerasan seksual di kampus UB. Keberadaan pertor ini menjadi salah satu harapan dalam menekan angka dan meningkatkan kesadaran akan kekerasan seksual.
Sebelumnya, data dari P3 UB mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual yang paling sering terjadi di masa pandemi ini adalah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang berjumlah 67% (8 kasus) dari total 12 kasus yang masuk selama periode April-Desember 2020.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Laura Uli selaku Direktur Lokal HopeHelps UB. Ia berpendapat bahwa efisiensi dari pertor ini terhadap kasus kekerasan seksual belum terlalu terlihat secara signifikan karena baru saja dibentuk Desember tahun lalu. Namun, untuk efisiensi fungsinya sendiri sangat penting.
“Menurut saya pertor ini sangat penting. Bukan untuk lembaga-lembaga seperti kita saja, tapi juga untuk seluruh sivitas akademika di Universitas Brawijaya,” tuturnya (24/03).
Untuk KGBO, Laura mengatakan bahwa bentuk kekerasan seksual yang paling sering terjadi selama pandemi adalah yang berbasis aplikasi pesan.
“Sepanjang laporan ke kami, selama masa pandemi, bentuk kekerasan seksualnya bisa melalui chatting dan jatuhnya ke cybercrime. Contohnya adalah chat sex atau meminta foto yang kurang senonoh dan balas dendam dengan konten seksual, apalagi kalau korbannya tidak mau,” ujarnya.
Laura juga menambahkan bahwa alangkah baiknya jika pertor ini bisa disebarluaskan dan disosialisasikan supaya sivitas akademika UB tahu tentang undang-undang tersebut dan pasal-pasal apa yang ada di dalamnya.
Berbicara soal sosialisasi, Sandrina berpendapat bahwa hambatan dari sosialisasi itu sendiri adalah karena BEM fakultas banyak yang belum aktif karena rangkaian kegiatan PEMILWA yang mundur, sehingga belum bisa melakukan sosialisasi dengan Dekanat dalam waktu dekat.
Kemudian dari mahasiswa sendiri, tampaknya beberapa masih belum mengetahui adanya pertor ini.
“Tidak tahu sih, justru aku baru tahu sekarang,” ujar Herdin Natalius (23/03), mahasiswa Psikologi 2017. Ia pun menambahkan, “Tapi semoga pertor ini bisa jadi solusi untuk permasalahan yang ada,” ujarnya.
Senada dengan Herdin, Almira Ravi Amanta, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2020 mengatakan bahwa ia belum mengetahui tentang pertor anti kekerasan seksual ini.
“Mungkin perlu adanya penyebaran informasi yang lebih masif lagi terkait adanya pertor ini, supaya seluruh elemen kampus dapat mengetahui dan meningkatkan pemahaman mereka terkait hal tersebut,” tuturnya. (aw/mga/ais)