Lompat ke konten

Mengurai Ketakutan, Menyulam Cerita: Bedah Buku Budidaya Hantu

Acara Bedah Buku Budidaya Hantu di Kafe Pustaka pada Minggu (27/04) (PERSPEKTIF/Fazlur)

Malang, PERSPEKTIF — Kelas Mengarang bersama Pelangi Sastra Malang menggelar diskusi dan bedah buku antologi cerpen Budidaya Hantu di Kafe Pustaka, Kota Malang, pada Minggu (27/4). Acara berdurasi sekitar 90 menit ini menghadirkan empat pemantik: Dyah Ayu Setyorini (penulis dan aktor), Rio Eka (penulis dan sutradara film), Rici Swanjaya (penulis dan penerjemah), serta Kevin Alfirdaus (penulis dan pegiat literasi), dengan Nia Puspita Sari sebagai moderator. Buku Budidaya Hantu ini merupakan karya kolektif dari 12 penulis angkatan keenam Kelas Mengarang.

Acara dibuka dengan pembacaan Curriculum Vitae (CV) para pemantik, lalu dilanjutkan dengan sesi diskusi yang dipandu moderator. Diskusi ini berkisar seputar pemilihan tema, tantangan penulisan, dan proses kreatif yang dirasakan dalam penyusunan antologi. 

Tema hantu dalam antologi ini digunakan untuk merefleksikan persoalan sosial yang menjelma dalam keseharian. Dalam menulis antologi ini, langkah kreatif pertama adalah memberikan motivasi untuk secara bersamaan menyalakan ide tentang lokakarya menulis untuk memperkaya konsep penggambaran sosial. Tantangan utama bukan terletak pada menghadirkan hantu sebagai unsur supranatural, melainkan bagaimana menghadapi ketakutan internal masing-masing dan mengurai kompleksitas pengalaman hidup ke dalam cerita.

“Kita mengejar penulisan cerita yang dekat dengan kehidupan kita agar semua kondisi dan kebutuhan dari para penulis kami bisa terwadahi,” ujar Dyah Ayu Setyorini, yang kerap dipanggil Ading, sebagai salah seorang penggerak Kelas Mengarang (27/04).

Di dalam kelas ini, para penulis menginterpretasikan hantu sebagai metafora dari ketakutan dan kecemasan yang muncul akibat struktur sosial yang ada. Setiap peserta diharapkan untuk menyelesaikan trauma serta ketidakpastian hidupnya dengan menulis jujur. Pengalaman tersebut disertai dengan keyakinan bahwa menulis bukan hanya sekedar teknik, tetapi bisa jadi tantangan menakutkan berhadapan dengan diri sendiri. Semua proses itu membuat setiap cerita dalam antologi terasa otentik dan beragam, karena setiap peserta membawa latar belakang yang beragam.

“Bercerita yang dilakukan oleh teman-teman di Kelas Mengarang ini merupakan media yang kita pilih untuk mengurai hal-hal detil, transenden dalam hidup mungkin ya, yang kemudian bisa kita bagikan,” ucap Rio Eka, salah seorang pemantik (27/04).

Semua narasumber mengangkat tema perayaan bercerita dalam rangka menuju kemanusiaan. Inisiatif seperti Budidaya Hantu menjadi bukti bahwa siapa pun, terlepas dari latar belakang apa pun, bisa menulis dan menyuarakan kisahnya sendiri. (est/cvl/pa/rnz)

(Visited 15 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?